- Konflik lahan antara warga Pundenrejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng) dengan perusahaan perkebunan tebu, PT Laju Perdana Indah (LPI) kian memuncak. Rumah seorang warga Pundenrejo, Kasimin, dihancurkan oleh sekelompok orang tak dikenal. Aksi tersebut diduga berkaitan dengan konflik lahan antara petani dan LPI.
- Organisasi Gerakan Masyarakat Tani Pundenrejo (Germapun) aktif mendampingi petani menghadapi konflik ini mencatat di periode Maret hingga April 2025, petani Pundenrejo terus menghadapi aksi premanisme dan intimidasi.
- Pertemuan antara petani, DPRD Pati, dan LPI pada Februari 2025 gagal mencapai kesepakatan. LPI mengklaim memiliki hak legal atas lahan seluas 7,3 hektar berdasarkan HGB, sementara petani meminta tanah itu dikembalikan sebagai bagian dari reforma agraria.
- Germapun mendesak pemerintah dan lembaga terkait menolak permohonan LPI, dan memasukkan tanah tersebut ke dalam program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Lambannya penyelesaian konflik oleh instansi terkait menimbulkan ketidakpastian hukum dan meningkatkan kekhawatiran petani akan berlanjutnya kekerasan.
Konflik lahan antara warga Pundenrejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Jateng) dengan perusahaan perkebunan tebu, PT Laju Perdana Indah (LPI) kian memuncak. Sekelompok orang tak dikenal mendatangi rumah seorang warga dan merusaknya Rabu pagi (24/3/25).
Kasimin, tak berkutik saat segerombolan orang tak dikenal turun dari truk penuh mengaitkan tali ke tiang utama rumah dan menariknya. Hanya dalam hitungan detik, rumah non permanen itu ambruk, rata dengan tanah.
Lelaki lansia ini ketakutan dan hanya bisa terdiam, menyaksikan rumahnya rata dengan tanah. Puas meluluhlantakkan rumah Kasimin, bak di negeri antah berantah, sekelompok orang itu pergi dengan angkuh, tanpa penjelasan apapun atas aksi yang baru saja mereka lakukan.
Mongabay mencoba mewawancarai Kasimin tetapi tak banyak cerita karena merasa trauma dan diliputi ketakutan.
“Masih merasa takut atau trauma,” kata Zainuddin, anggota Gerakan Masyarakat Petani Pundenrejo (Germapun), pengadvokasi petani Pundenrejo yang memperjuangkan hak atas kepemilikan lahan mereka.
Germapun bersama Kasimin melaporkan aksi perusakan rumah ke Polres Pati di hari yang sama. “Polisi (yang menerima laporan) sempat bilang gini, ‘nanti nunggu panggilan, nanti akan dipanggil ke kantor lagi,’” kata Zainuddin. Dia menduga perusak rumah Kasimin ada kaitan dengan orang-orang perusahaan.

Sehari sebelumnya, puluhan orang g diduga buruh LPI mendatangi rumah Kasimin. Kedatangan mereka hendak membongkar paksa rumah yang berdiri selama puluhan tahun itu. Mereka bahkan sempat melepas atap rumah Kasimin tetapi rencana urung setelah para petani Germapun tiba di lokasi.
Germapun mencatat, upaya intimidasi dan premanisema kepada petani di Pundenrejo terjadi selama Maret-April ini. Bahkan, aksi tak patut itu juga melibatkan oknum militer.
Medio Maret lalu, sekitar 100-an orang tak dikenal merobohkan bangunan Joglo Juang yang warga bangun untuk beribadah selama Ramadhan, juga sebagai ruang berkumpul dan berdiskusi kaum tani.
Menurut Udin, aksi-aksi premanisme dan intimidasi merupakan buntut lambannya Kementerian ATR/BPN dan Gugus Tugas Reforma Agraria dari tingkat pusat hingga daerah menyelesaikan konflik agraria di Pundenrejo yang sudah berlangsung puluhan tahun. Situasi itu, akhirnya melanggengkan cara-cara kekerasan, premanisme, dalam penyelesaian. Buntutnya, rakyat kecil yang jadi korban.
Untuk mencegah tindakan premanisme dan intimidasi terhadap petani, Germapun mendesakkan beberapa hal.
- Mengutuk tindakan upaya penggusuran rumah petani Pundenrejo dan aksi premanisme yang dilakukan LPI.
- Menuntut kepada Bupati Kabupaten Pati sekaligus Ketua Tim Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Pati segera memasukkan tanah perjuangan petani Pundenrejo sebagai usulan tanah obyek reforma agraria (TORA).
- Menuntut Menteri ATR/BPN menolak permohonan hak baru LPI dalam bentuk apapun di atas tanah perjuangan petani Pundenrejo.
- Menuntut Komnas HAM dan Komnas Perempuan segera mendesak LPI dan aparat untuk menghentikan tindakan premanisme dan intimidatif.
Udin bilang, LPI tak memiliki hak apapun di atas lahas seluas 7,3 hektar, ditambah lagi sejak 27 September 2024, masa berlaku HGB perusahaan juga sudah habis.
Mongabay berupaya mengkonfirmasi kasus ini kepada Siswanto, selaku humas LPI. Namun, atas permintaan pihak manajemen, ia tidak bersedia dikutip.
Berdasar keterangan LBH Semarang, sebelumnya, lahan masyarakat tersebut dalam penguasaan Belanda. Setelah Belanda kalah perang, pada 1973, PT Bapipundip di bawah naungan Kodam IV Diponegoro mengklaim lahan itu dan mengubah status menjadi hak guna bangunan (HGB) sampai 2024.
Pada 1999, Bapipundip bangkrut. Lahan terlantar. Warga kembali memanfaatkan lahan sampai terakhir berpindah ke LPI berizin HGB dengan peruntukan mendirikan perumahan karyawan. Nyatanya, izin HGB itu tak pernah digunakan sebagaimana hak peruntukan, baik oleh Bapipundip maupun LPI.
Alih-alih membangun perumahan karyawan, lahan itu justru menjadi tanaman tebu. Padahal, dalam Pasal 86, Permen ATR/BPN No.18/2021 sudah jelas, HGB hanya untuk sektor non pertanian.
Mongabay berupaya meminta penjelasan terkait upaya penyelesaian konflik agraria tersebut ke Wakil Bupati Pati, Risma Ardhi Chandra, dan Ketua Komisi A DPRD Pati, Narso Juwana. Chandra tidak merespon. Nasro hanya menjawab, “maaf, saya sedang ada acara di DPP PKS.”

Mediasi tanpa hasil
Pada Februari 2025, puluhan petani yang tergabung dalam Germapun mendatangi Kantor DPRD Pati untuk audiensi. Pertemuan ini dihadiri Komisi A dan Komisi B DPRD Pati serta beberapa organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, guna membahas tuntutan warga soal pengembalian tanah peninggalan nenek moyang mereka.
Dalam pertemuan itu, Sarmin, Ketua Germapun, menuntut, tanah kembali masyarakat kelola dan menolak perpanjangan HGB LPI. Bagi para petani seperti mereka, sepetak tanah itu sangat berharga karena jadi sumber penghidupan untuk anak cucu mereka.
Menanggapi tuntutan itu, Trisno, perwakilan LPI, menyatakan, perusahaan memiliki hak legal atas tanah seluas 7,3 hektar, sebagaimana sertifikat HGB yang BPN Pati terbitkan. Trisno mengatakan, ini bukan sengketa melainkan kepastian hukum.
Muslihan, Ketua Komisi B DPRD Pati, mendukung perjuangan petani. Namun keputusan akhir terkait status tanah bukan menjadi kewenangannya. Ia berharap ada titik temu terkait permasalahan itu.
Dalam kesempatan itu, Muslihan meminta BPN Pati memberi penjelasan lebih rinci terkait status lahan tersebut agar permasalahan ini dapat dipahami dengan jelas.
Jaka Purnama, Kepala BPN Pati, menjelaskan, berdasarkan catatan sejarah, tanah itu merupakan eigendom sejak zaman kolonial Belanda. Setelah kemerdekaan, pengajuan HGB oleh PT Bapipundip, yang kemudian beralih ke LPI. BPN mengaku tidak bisa memproses lebih lanjut permohonan perpanjangan HGB sebelum persoalan tersebut terselesaikan.
Narso, Ketua Komisi A DPRD Pati menegaskan bahwa DPRD Pati hanya bertindak sebagai fasilitator dalam pertemuan ini, bukan sebagai pihak yang mengambil keputusan atau mengadili sengketa tersebut.
Udin menggambarkan ketidakpastian penyelesaian konflik agraria ini menyebabkan petani mengalami rasa takut. Tindakan premanisme dan intimidasi akan terus berlanjut hingga berujung pada jatuhnya korban jiwa. “Mereka merasa waswas, tetap siaga. Jangan sampai ada korban lagi.”

Negara tak adil
Eko Cahyono, Peneliti Agraria Sayogjo Institute, menjelaskan, konflik agraria di Pundenrejo merupakan konsekuensi masa lalu yang tidak dapat terpisahkan dari sejarah. Masyarakat Pundenrejo menanam dan mengelola tanah sejak lama , namun pada 1965 mereka kena stigmatisasi PKI dan terusir oleh perusahaan milik militer Kodam Diponegoro.
Karena itu, tidak adil jika pemerintah hanya melihat konflik ini dari perspektif 10 tahun terakhir. Sebab, masyarakat sudah ada di sana jauh sebelum perusahaan mendapatkan hak pakai. Sementara dalam UU Pokok Agraria No. 5/1960 yang menyatakan, masyarakat yang tinggal di suatu wilayah selama 20 tahun berturut-turut memiliki hak atas tanah itu.
Dia mengkritik sikap pemerintah yang cenderung berpihak pada perusahaan dan menggunakan hukum positif tanpa melihat konteks historis. “Nggak bisa melihat hak kepemilikan atas penguasaan atas tanah semata pada secarik kertas yang positif itu tanpa melihat sejarah dan konteks masa lalunya,” katanya.
“Kalau dikatakan sekarang masyarakat menyerobot tanah yang memiliki hak pakai itu harus ditanya dulu. Emang duluan mana hak pakai sama masyarakat yang ada di situ?”
Eko juga mempertanyakan, peran aparat keamanan yang cenderung melindungi perusahaan daripada rakyat. “Jargon polisi melayani dan melindungi rakyat, tapi dia enggak melindungi rakyat. Melindungi perusahaan.”
Menurut dia, pemerintah harus turun tangan. Kegagalan pemerintah mengatasi masalah ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan, negara menguasai sumber daya alam negara, termasuk tanah, untuk kepentingan rakyat.
Kelambanan pemerintah bertindak dalam kasus ini dan memprioritaskan kepentingan perusahaan di atas kebutuhan rakyat, katanya, adalah contoh nyata dari “demokrasi korporasi.”
“Tanah 7,3 hektar itu kan nggak luaslah. Masa’ sih perusahaan itu masih serakah itu masih meminta. Itu kan hanya untuk makan sehari-hari mereka (petani).”
*****
Berkonflik dengan Perusahaan, Petani Pati Kehilangan Lahan Tani