- Aktivitas menangkap ikan menggunakan bahan peledak atau bom rakitan masih terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
- Personil KP. Sukur XXII – 3007 bersama personil Sat Polair Polres Sikka, mengamankan dua pelaku tindak pidana menggunakan bom untuk menangkap ikan, di perairan Pulau Besar, Dusun Nele, Desa Koja Gete, Kabupaten Sikka, Selasa (22/4/2025).
- Terdapat enam kabupaten/kota di NTT yang rawan pengeboman ikan yakni Kabupaten Flores Timur, Sikka, Ende, Manggarai Barat, Kupang, dan Rote Ndao.
- Secara ekologis, penggunaan bahan peledak menyebabkan kerusakan serius terhadap ekosistem terumbu karang yang berfungsi sebagai habitat alami ikan, lokasi pemijahan, dan tempat hidup berbagai organisme laut.
Aktivitas menangkap ikan menggunakan bahan peledak atau bom rakitan masih terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Personil KP. Sukur XXII – 3007 bersama personil Sat Polair Polres Sikka, mengamankan dua pelaku tindak pidana menggunakan bom untuk menangkap ikan, Selasa (22/4/2025).
AKBP Moh. Mukhson, Kapolres Sikka, mengatakan kegiatan terlarang itu terjadi di perairan Pulau Besar, Dusun Nele, Desa Koja Gete, Kabupaten Sikka.
“Para pelaku dan barang bukti dibawa ke Pos Polairud di Pelabuhan Laurens Say, untuk proses lebih lanjut,” ungkapnya, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/4/2025).
Kedua pelaku, T (64) dan A (38), merupakan nelayan asal Desa Parumaan, Kecamatan Alok Timur, Sikka. Barang bukti yang diamankan berupa 1 unit perahu motor, 1 unit sampan, 1 unit kompresor dan selang, korek api gas dan 4 potongan obat nyamuk, 134 ekor ikan hasil pengeboman. Juga, 2 kacamata selam, 2 dayung, 1 ember, 1 jeriken cokelat yang dipotong, dan sepasang sepatu selam.
Mereka dikenakan Pasal 84 ayat (1) Jo Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana diubah pada Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca: Mereka yang Peduli Pelestarian Penyu di Flores Timur

Kombes Pol. Irwan Deffi Nasution, Direktur Polairud Polda NTT, Dikutip dari Suaraindo.id mengatakan bahwa sejak 2023 hingga April 2025, pihaknya telah menangani 17 kasus bom ikan di perairan NTT. Tahun 2023 ada 6 kasus, 2024 (7 kasus), dan 2025 (4 kasus).
Terdapat enam kabupaten/kota yang rawan pengeboman ikan yakni Kabupaten Flores Timur, Sikka, Ende, Manggarai Barat, Kupang, dan Rote Ndao.
“Sebanyak 27 tersangka telah menjalani hukuman penjara dan beberapa pelaku sudah bebas. Polairud Polda NTT berupaya membentuk Babinkam Polair, yang bertugas menyampaikan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat pesisir,” terangnya, Jumat (25/4/2025).
Baca: Waspadai Perburuan Penyu di Solor Selatan

Laut sebagai aset ekologi dan sosial
Yohanes Don Bosco Ricardson Minggo, Mahasiswa Doktoral Teknologi Perikanan Laut IPB University yang juga Dosen Universitas Nusa Nipa Maumere, menegaskan praktik destruktif bukan saja melanggar norma hukum positif, tetapi juga menjadi ancaman sistemik jangka panjang keberlanjutan ekosistem laut.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang diperbarui melalui UU No. 45 Tahun 2009, menjelaskan secara eksplisit pada Pasal 85, setiap individu dilarang untuk memiliki, menguasai, membawa, atau menggunakan alat tangkap ikan yang bersifat merusak serta mengganggu keberlanjutan sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp1,2 miliar.
“Secara ekologis, penggunaan bahan peledak menyebabkan kerusakan serius terhadap ekosistem terumbu karang yang berfungsi sebagai habitat alami ikan, lokasi pemijahan, dan tempat hidup berbagai organisme laut,” terangnya, Jumat (25/4/2025).
Ledakan tidak hanya mematikan ikan target, tetapi juga berdampak fatal terhadap biota laut lain seperti larva, benih ikan, plankton, hingga merusak struktur dasar laut yang krusial bagi keberlangsungan siklus kehidupan akuatik.
“Proses pemulihannya berlangsung puluhan tahun. Bahkan, dalam kasus tertentu berpotensi tidak dapat pulih sama sekali.”
Dari perspektif sosial ekonomi, konsekuensinya sangat merugikan masyarakat yang menggantungkan hidup pada sumber daya perikanan. Dampaknya, menciptakan bentuk ketimpangan ekologis dan sosial mendalam.
“Prinsip keberlanjutan pengelolaan perikanan tidak hanya berorientasi pada konservasi stok ikan saat ini, melainkan juga memastikan akses dan ketersediaan sumber daya laut bagi generasi mendatang.”
Baca juga: Begini Cara Nelayan NTT Hadapi Dampak Perubahan Iklim

Ini sejalan dengan ketentuan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, yang menekankan pentingnya penerapan teknologi penangkapan ramah lingkungan, sebagai bagian dari kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan berkelanjutan.
Secara Internasional, kegiatan menggunakan bahan peledak bertentangan dengan prinsip-prinsip Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang dicanangkan Food and Agriculture Organization (FAO). Ketentuan ini mengharuskan setiap negara anggota melindungi ekosistem dari aktivitas merusak dan menjamin keberlanjutan sumber daya ikan.
“Upaya represif semata tidak cukup. Diperlukan pendekatan multidimensional yang mencakup edukasi dan penyadartahuan masyarakat, penguatan sistem pengawasan, serta penyediaan alternatif mata pencaharian berwawasan lingkungan.”
Laut bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi aset ekologis dan sosial bernilai strategis bagi kehidupan bangsa.
“Eksploitasi demi kepentingan sesaat merupakan bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab antargenerasi dan pengkhianatan terhadap masa depan kita bersama,” jelas Rikson.
Cerita Amir, Pengebom Ikan yang Jadi Pelestari Terumbu Karang