Tuntut Keadilan, Warga Pulau Obi Malah Terjerat Hukum

16 hours ago 4
  • Riski Jouronga, warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, kini berhadapan dengan hukum setelah bersama warga menggelar aksi menuntut keadilan kepada PT Harita Nickel. Dia dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik usai menyuarakan keresahan warga terhadap listrik yang tak kunjung tertangani.
  • Polisi sempat memediasi kasus ini. Namun, proses hukum tetap berjalan karena Riski menolak meminta maaf dan membayar kompensasi sebesar Rp100 juta kepada pelapor. Ia memilih menunggu proses hukum berjalan, meski statusnya sebagai terlapor membuatnya dalam tekanan dan kekhawatiran berlapis.
  • Ahmad, dari Koalisi Pengacara Peduli Lingkungan Maluku Utara, mengatakan aksi Riski untuk memperjuangkan lingkungan hidup dan menuntut pertanggungjawaban perusahaan, tak bisa dipidana atau digugat perdata, sebagaimana Pasal 66 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal itu menyebut bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
  • Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara mengatakan kriminalisasi terhadap Riski sebagai upaya sistematis untuk membungkam suara kritis dan menebarkan ketakutan kepada warga Kawasi. Dengan begitu, warga tidak berani bersuara karena bakal menghadapi konsekuensi hukum seperti halnya Riski.

Riski Jouronga, warga Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, kini berhadapan dengan hukum setelah bersama warga menggelar aksi menuntut keadilan kepada PT Harita Nickel. Dia dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik usai menyuarakan keresahan warga terhadap listrik yang tak kunjung tertangani.

Pada 14 April, penyidik Satuan Reserse Kriminal Polres Halmahera Selatan memeriksa Riski. Polisi minta keterangan atas unggahan video saat memimpin protes bertajuk “Harita Gemerlap, Kawasi Gelap,” 17 Maret 2025 di depanKkantor CSR Harita Group di Ecovillage.

Dalam video itu, Riski berdiri di atas mobil komando terdengar menyampaikan orasi lantang: “Baru kenal uang sedikit sudah gila. Daerah sendiri, desa sendiri saja mau dijual!” Kalimat itulah yang kemudian menjadi dasar pelaporan terhadap dirinya.

Pada 21 Maret, warga bernama Abiater Dowet Bagimana bersama kuasa hukumnya, Safri Nyong, melaporkan Riski ke polisi. Esok harinya, Riski menerima surat panggilan pertama, disusul panggilan kedua sembilan hari kemudian.

Polisi sempat memediasi kasus ini. Namun, proses hukum tetap berjalan karena Riski menolak meminta maaf dan membayar kompensasi sebesar Rp100 juta kepada pelapor. Dia memilih menunggu proses hukum berjalan, meski status sebagai terlapor membuatnya dalam tekanan dan kekhawatiran berlapis.

Ahmad, perwkailan Koalisi Pengacara Peduli Lingkungan Maluku Utara, mengatakan, Riski memperjuangkan lingkungan hidup, menuntut pertanggungjawaban perusahaan, serta mempertahankan kampung dari upaya relokasi paksa perusahaan dan pemerintah daerah. 

Apa yang Riski lakukan, katanya, seharusnya mendapat perlindungan, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 66 UU No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal itu menyebut, “setiap orang yang memperjuangkan hak atas memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.

Aksi warga Kawasi yang berujung kriminalisasi pada Riski. Foto: Dokumen warga.

Tak dapat dituntut

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 10 Tahun 2024 juga memberi perlindungan bagi individu, kelompok, organisasi, akademisi, masyarakat adat, dan badan usaha yang berjuang untuk lingkungan dari upaya hukum yang bertujuan membungkam aksi mereka.

“Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat adalah cara bagi warga Desa Kawasi, termasuk Riski Jouronga, sebagai pembela lingkungan untuk menuntut pemenuhan dan perlindungan hak mereka serta berjuang dari upaya relokasi paksa kampung mereka,” kata Ahmad.

Karena itu, pelaporan terhadap Rizki, adalah bentuk kriminalisasi untuk membungkam suara kritis pada perusahaan dan pemerintah. “Ini berpotensi memperparah pelanggaran HAM dan kritik yang disampaikan para pembela lingkungan serta warga yang dirampas ruang hidupnya.”

Mubalik Tomagola, dari Walhi Malut, menambahkan, aksi Riski merupakan puncak dari segala keresahan atas siasat pemerintah, perusahaan, dan  aparat  keamanan terhadap warga Desa Kawasi.

Menurut Mubalik, selain UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), aksi ini dijamin hukum internasional seperti Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi  melalui UU Nomor 12/ 2005. Untuk itu, negara seharusnya melindungi Riski dan warga Kawasi dari ancaman kriminalisasi.

“Proses hukum ini bukan hanya mencederai kebebasan berpendapat, namun juga mengancam seluruh pembela HAM yang berada di Pulau Obi, terkhusus Desa Kawasi. Terlebih lagi, penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE seringkali menjadi alat untuk menekan kritik dan membungkam suara-suara yang melawan ketidakadilan,” terang Mubalik. 

Dalam siaran pers yang diterima Mongabay, mereka mencatat adanya pola intimidasi yang sistematis terhadap warga dan tokoh masyarakat sejak aksi protes berlangsung. Keterlibatan anggota TNI dan Polri dalam pengamanan perusahaan sebagai faktor yang memperburuk situasi. Sejumlah warga juga mengaku didatangi aparat, dimintai keterangan, bahkan diancam agar tidak lagi ikut aksi. 

“Sejak aksi demonstrasi pertama pada 17 Maret 2025 hingga aksi lanjutan dengan tema “Menuntut Keadilan atas Lingkungan yang Sehat dan Bersih Tanpa Polusi” pada 15 April 2025, tokoh masyarakat, tokoh agama, pejuang lingkungan hidup, dan warga masyarakat lainnya mendapat sejumlah bentuk intimidasi dari anggota TNI-Polri yang bertugas mengamankan perusahaan,” kata  Mubalik.

Petugas keamanan berjaga saat aksi warga Kawasi menuntut perusahaan. Foto: Dokumen warga.

Koalisi masyarakat sipil ini mendesak pemerintah, pertama, menertibkan anggota Polri-TNI di Pulau Obi. Kedua, menghentikan proses hukum terhadap Riski agar dapat melanjutkan perjuangan untuk mempertahankan Desa Kawasi dari upaya relokasi, serta menuntut lingkungan hidup sehat dan berkelanjutan.

Ketiga, menjamin pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE tidak disalahgunakan untuk mengkriminalisasi warga Desa Kawasi. Keempat, penegak hukum harus melindungi hak setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka terkait isu lingkungan dan HAM sesuai dengan amanat konstitusi.

Safri Nyong, penasihat hukum pelapor mengatakan, laporan itu  tidak memiliki keterkaitan dengan aksi demonstrasi warga Kawasi yang menuntut penerangan listrik ke Harita Group. Menurut Safri, laporan itu murni terkait ucapan Riski dalam video yang disebutnya “menyerang martabat seseorang secara langsung.”

“Kebebasan berekspresi tidak berarti bebas menghina dan merendahkan harga dan martabat manusia lain,” katanya, dikutip dari media lokal.

Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara mengatakan, kriminalisasi terhadap Riski tidak terlepas dari masalah struktural yang terjadi di Desa Kawasi sejak industri nikel Harita Group beroperasi. Sebab, pelaporan itu  bermula dari aksi warga Kawasi menuntut keadilan atas hak-hak kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi perusahaan selama ini.

Dia menyebut, pelaporan itu sebagai upaya sistematis  membungkam suara kritis warga Kawasi yang dianggap mengganggu kepentingan operasional Harita Group.

“Kriminalisasi terhadap warga Kawasi sekadar jadi alat pengalihan isu. Ketika korporasi tambang menghadapi tekanan publik karena tidak ketidakmampuannya menangani isu-isu krusial seperti kerusakan lingkungan, hak kebutuhan dasar yang diabaikan–seperti listrik, air bersih, udara bersih–akses pendidikan, layanan kesehatan, dan upaya pengusiran paksa warga dari tempat tinggalnya.”

Julfikar melihat kriminalisasi itu sebagai siasat untuk menebarkan ketakutan kepada warga Kawasi. Dengan begitu, warga tidak berani bersuara karena bakal menghadapi konsekuensi hukum seperti Riski.

“Dengan begitu, kasus ini harus dihentikan oleh aparat kepolisian. Apa yang dilakukan Riski itu merupakan hak berekspresi dalam demokrasi yang dijamin oleh Undang-undang.”

Aksi warga Desa Kawasi untuk menuntut perusahaan. Foto: Dokumen warga.

Apa kata perusahaan?

Klaus Oberbauer, Manajer Keberlanjutan Harita Nickel, mengatakan, perusahaan menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat secara damai, dan mendorong dialog terbuka mengenai isu-isu publik. 

“Perusahaan telah mendengar informasi mengenai sengketa hukum pribadi antara dua individu–masing-masing dari Kawasi Lama dan Kawasi Baru. Perusahaan memahami bahwa kasus tersebut saat ini sedang ditangani oleh  kepolisian,” katanya kepada Mongabay. 

 Harita Nickel, katanya, mengelola aset yang mendapatkan status proyek strategis nasional (PSN) dan objek vital nasional, menjalankan kegiatan operasional dalam koridor hukum berlaku.

“Seluruh personel keamanan yang bertugas mengikuti pelatihan hak asasi manusia yang dirancang untuk menjunjung tinggi martabat manusia, mengurangi potensi konflik, dan memastikan perlindungan bagi seluruh pihak,” ujar Klaus.

*****

Hilirisasi Nikel di Malut: Ekonomi Tumbuh tetapi Kemiskinan Melonjak

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|