Studi: Seperti Manusia, Ternyata Burung Kicau Memiliki Selera Lagu yang Berbeda

15 hours ago 3
  • Sebuah studi baru mengonfirmasi bahwa kicauan burung berkembang karena usia, dinamika populasi, dan pergerakan burung.
  • Para peneliti mengumpulkan ribuan jam rekaman audio burung gelatik-batu kelabu (Parus major) dan menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis lagu-lagu kicauan dalam data tersebut.
  • Hasil studi ini menemukan bahwa burung yang sering berpindah-pindah tempat cenderung mengenal lagu-lagu yang populer, sementara burung yang tidak banyak berpindah kelompok memiliki lagu-lagu yang unik.
  • Burung-burung yang lebih tua lebiih senang menyanyikan lagu-lagu lama, sedangkan komunitas burung dengan berbagai rentang usia memiliki keragaman lagu yang lebih tinggi.

Apakah Anda termasuk orang yang lebih suka mendengarkan lagu-lagu lama? Atau tetap mengikuti perkembangan genre lagu-lagu pop terkini? Sebuah studi baru menyimpulkan bahwa tidak hanya manusia, ternyata burung-burung kicau juga memiliki selera musik yang berbeda, baik dikarenakan wilayah maupun usianya.

Sebuah studi baru yang diterbitkan di jurnal Current Biology menemukan bahwa usia, dinamika populasi, dan migrasi menjadi faktor kunci yang menentukan bagaimana kicauan burung berevolusi dari waktu ke waktu.

Para peneliti sudah lama menduga bahwa migrasi dan dinamika populasi membentuk repertoar (stok lagu-lagu) musik jenis-jenis burung kicau. Kini, mereka telah memiliki bukti empiris untuk mendukung hipotesis ini.

Dengan bantuan model kecerdasan buatan (Artificial Intelegence), tim peneliti mengidentifikasi bahwa “variasi demografis memengaruhi budaya vokal” pada burung gelatik-batu kelabu (Parus major) di Oxfordshire, Inggris.

“Tujuan utama kami adalah untuk melihat apakah pergerakan burung dan siapa yang ada di sekitar mereka saat belajar benar-benar mempengaruhi lagu-lagu itu,” kata penulis utama studi ini, Nilo Merino Recalde, seorang peneliti postdoktoral biologi di University of Oxford, dalam wawancara video dengan Mongabay.

“Inti temuan kami adalah kami dapat mendeteksi perubahan ini, sesuai dengan prediksi teori yang sudah ada sejak lama.”

Recalde menggunakan deep metric learning, sebuah disiplin AI yang mempelajari cara mengukur kemiripan antar data. Tim melatih model tersebut agar mampu membedakan berbagai jenis lagu dan repertoar.

Mendengarkan kicauan burung dan memahami bagaimana kicauan itu berkembang dapat membantu para peneliti memahami kondisi populasi burung. Misalnya, para ilmuwan mungkin dapat menghubungkan pola lagu dengan penurunan atau fragmentasi populasi.

Jenis-jenis lagu ini juga bisa memberikan gambaran tentang seberapa banyak burung-burung tersebut berpindah tempat.

“Meski temuan ini masih bersifat spekulatif dalam penerapannya, tetapi semua proses ini menjadi perhatian kita dalam upaya konservasi yang tercermin melalui lagu-lagu kicauan burung,” kata Recalde.

“Kita seharusnya bisa menyimpulkan kondisi populasi berdasarkan suara dan lagu yang mereka hasilkan.”

Para peneliti telah memasang perekam akustik di dekat sarang burung di hutan. Adapun populasi burung di lokasi tersebut telah dipelajari dan dipantau selama lebih dari 77 tahun, sebelumnya tim pun sudah memiliki akses ke sejumlah besar data untuk memulai penelitian ini.

“Kami sudah tahu tentang pergerakan burung-burung, siapa yang lahir di mana, dan berapa usia mereka,” sebutnya. “Kami membangun lapisan rekaman lagu di atas semua data tersebut.”

Para peneliti telah menggunakan rekaman akustik dan kecerdasan buatan untuk mengonfirmasi kepercayaan lama bahwa kicauan burung berevolusi akibat usia, dinamika populasi, dan pergerakan burung. Foto: David López Idiáquez

Burung Menyesuaikan Lagu di Tempatnya Berada

Selama tiga tahun, para peneliti mengumpulkan sebanyak 21.000 jam data audio. Setelah itu, mereka menghadapi tugas untuk mengidentifikasi lagu-lagu dari rekaman tersebut dan memilah berbagai nada yang membentuk lagu-lagu tersebut.

Pada proses akhir, tim berhasil mengumpulkan lebih dari 1 juta nada yang berasal dari sekitar 100.000 kicauan burung yang berbeda.

Setelah data diklasifikasikan, tim mempersempit fokus pada dua pertanyaan utama: Seberapa mirip dua lagu dalam kumpulan data tersebut? Lalu dapatkah mereka mengidentifikasi burung berdasarkan lagunya?

Dengan metode ini, mereka dapat memahami berapa banyak jenis lagu yang ada di wilayah tersebut dan seberapa cepat lagu-lagu itu berubah berdasarkan dinamika populasi. Mereka juga mampu mengidentifikasi burung berdasarkan lagu yang dinyanyikannya dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Secara khusus, tim menemukan bahwa ketika seekor burung sering berpindah-pindah, lagu-lagu yang dinyanyikannya cenderung merupakan lagu-lagu populer yang banyak ditemukan dalam populasi.

“Ini artinya adalah bahwa pergerakan burung membantu menyeragamkan budaya lagu dan kumpulan lagu,” kata Recalde.

Sebaliknya, burung-burung yang tidak banyak bergerak justru membentuk kantong-kantong kecil dengan lagu-lagu unik yang tidak ditemukan di tempat lain dalam populasi. Tim peneliti juga menemukan bahwa burung yang baru datang ke suatu daerah tidak membawa lagu-lagu baru dari tempat asalnya.

Sebaliknya, mereka memperluas repertoar mereka dengan mempelajari lagu-lagu yang sudah umum di populasi tersebut.

“Pada dasarnya, yang terjadi adalah secara rata-rata lagu-lagu mereka tidak berbeda dari lagu burung lokal, tetapi mereka cenderung memiliki repertoar yang lebih besar,” kata Recalde.

Pitohui waigeo (P. cerviniventris), burung kicau endemik dari Papua. Belum ada spesies pitohui yang terdaftar sebagai spesies yang dilindungi di Indonesia. Foto: marcthibault via iNaturalist (CC-BY-NC 4.0).

Lalu bagaimana dengan burung-burung tua?

Penuaan juga dapat memperlambat proses pembelajaran. Burung-burung yang lebih tua diketahui berhenti mempelajari lagu-lagu baru. Mirip dengan manusia, burung-burung ini lebih suka menyanyikan lagu-lagu lama.

“Mereka mengetahui lagu-lagu kuno, beberapa di antaranya yang sudah tidak populer lagi,” kata Recalde.

Lingkungan dengan campuran usia yang beragam di daerah tersebut memiliki lebih banyak keragaman lagu, dengan burung-burung muda yang memimpin adopsi lagu-lagu baru.

Singkatnya, penelitian ini mengonfirmasi teori-teori lama bahwa keragaman kicauan burung berkembang sebagai hasil dari berbagai faktor.

“Proses akuisisi lagu bergantung pada siapa yang mereka dengar, pergerakan individu, dan usia individu-individu tersebut dalam populasi,” kata

“Ini menghasilkan berbagai dinamika menarik yang sangat mirip dengan apa yang terjadi pada bahasa dan musik manusia,” sebutnya

Recalde dan timnya kini sedang berupaya memahami bagaimana perubahan lagu kicauan burung didorong pada tingkat komunitas di berbagai ruang dan waktu.

Data yang telah mereka kumpulkan sejauh ini juga tersedia secara publik untuk digunakan dan dianalisis oleh para ilmuwan di mana saja untuk keperluan penelitian mereka sendiri.

“Sangat menggembirakan melihat bahwa data ini bisa membuka pintu untuk banyak penelitian baru di berbagai bidang,” tutupnya.

Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 17 April 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.

Burung Kicau Asal Papua ini Beracun, Tapi Mengapa Dicari di Pasar Burung?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|