Terapkan Buka Tutup Tangkap Gurita, Lanjukang Masih Hadapi Sejumlah Tantangan

3 days ago 12
  • Nelayan di Pulau Lanjukang  dan Langkai, mulai melakukan praktik penangkapan gurita dengan sistem buka tutup. Nelayan sudah bisa menikmati hasilnya. Meskipun begitu, perairan ini masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu ada upaya antisipasi.
  • Untuk menjaga keberlanjutan laut dan pesisir, penguatan tidak hanya pada nelayan tetapi juga kepada generasi muda. Pembiasaan sejak dini menciptakan habit yang pada akhirnya menjadi kebudayaan baru bagi generasi yang akan datang.
  •  Buka tutup di Pulau Langkai dan Lanjukang telah membuat ekosistem terumbu karang mengalami pemulihan dengan tutupan  5 – 10 % karang hidup serta mengurangi ancaman terhadap 6 spesies yang terancam punah secara global, yaitu Whale Shark (Rhincodon typus), Thresher Shark (Alopias sp.), Shortfin Mako (Isurus oxyrinchus), Black Tip (Carcharhinus sp.), Hawksbill Sea Turtle (Eretmochelys imbricata) dan Green Sea Turtle (Chelonia mydas).
  • Pulau Lanjukang sedang diusulkan untuk kawasan konservasi laut daerah (KKD) di wilayah seluas 1.653,53 hektar. Terdiri dari zona inti seluas 70.26 hektar (10 %) zona pemanfaatan terbatas berupa perikanan tangkap seluas 222.44 hektar (73,93%) dan pariwisata seluas 11,43 hektar (0,69%), serta zona lainnya berupa zona buka tutup seluas 46,40 hektar(14,40%) dan zona rehabilitasi seluas 2,99 hektar (0,18%). 

Nelayan di Pulau Lanjukang  dan Langkai, mulai melakukan praktik penangkapan gurita keberlanjutan dengan sistem buka tutup. Mereka sudah merasakan hasilnya. Meskipun begitu, perairan ini masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu ada upaya antisipasi.

Begitu antara lain salah satu catatan saat kunjungan nelayan dari Forum Pengelola Sistem Buka Tutup Pulau Lanjukang dan Langkai (Pasibuntuluki) ke Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Hasanuddin, Makassar, Rabu (23/4/25). Pertemuan itu sekaligus bekal penting bagi nelayan dan lembaga pendamping dalam penerapan buka tutup kawasan di Pulau Langkai dan Lanjukang, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). 

Muhammad Neil, antropolog dari Universitas Hasanuddin, mengatakan, upaya konservasi Pulau Lanjukang dan Langkai sarat tantangan. Pertama, kawasan itu  banyak tereksploitasi karena menjadi area tangkap ikan utama (fishing ground) bagi nelayan dari berbagai penjuru. Tak jarang nelayan menggunakan bom dan bius, hingga kian menambah tekanan di sekitar kawasan itu.

“Ini akan sulit juga diawasi karena perairan yang cukup luas, apalagi di malam hari. Belum lagi ada anggapan nelayan-nelayan luar bahwa laut adalah kawasan bebas yang bisa diakses siapa saja dan menggunakan alat tangkap apa saja.”

Menurut Neil, kehadiran nelayan luar beraktivitas di wilayah konservasi karena ada pandangan ‘kawasan bebas’ hingga  perlu sosialisasi masif tidak hanya di lingkungan internal nelayan setempat, tetap juga di pulau-pulau sekitar.

“Sangat penting dipasang papan bicara di pulau-pulau lain bahwa di Lanjukang dan Langkai sedang dalam upaya konservasi dan akan ada pembatasan sementara, sehingga nelayan luar bisa menghindari kawasan tersebut untuk sementara waktu.”  

Tantangan lain, katanya, karena kedua pulau itu  menjadi jalur tol laut kapal hingga sulit menjaga terumbu karang dan kawasan dilindungi karena lalu lalang kapal-kapal besar berisiko berdampak pada kesehatan terumbu karang.

Tata kelola menjadi sulit karena wewenang pengelolaan laut sekian mil tidak lagi berada di pemerintah daera, tetapi Pelabuhan Indonesia (Pelindo) yang menjadi representasi pemerintah pusat. Dengan begitu, katanya, pemerintah daerah sulit terlibat dalam pengelolaan tanpa seizin Pelindo.

Dalam kunjungan itu, enam nelayan yang mewakili Forum Pasibuntuluki, memaparkan aktivitas mereka dalam dua tahun terakhir antara lain praktik buka tutup kawasan tangkap gurita.

“Sejauh ini kami sudah melakukan enam kali buka tutup dan hasilnya sangat bagus dan semakin meningkat. Pada buka tutup terakhir bulan ini, hasilnya jauh melampaui harapan, tidak hanya gurita, namun ikan-ikan lain juga semakin melimpah hasilnya,” kata Erwin, Ketua Forum Pasibuntuluki.

Seorang nelayan menunjukkan gurita hasil tangkapan yang masuk grade A karena memiliki bobot lebih dari 2 kilogram. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Tingkatkan ekonomi 

Berdasarkan analisis valuasi ekonomi YKL Indonesia, upaya tutup buka meningkatkan pendapatan nelayan hingga 56% dibanding sebelum ada praktik ini. Peningkatan ini tidak hanya dari produktivitas nelayan, juga aktivitas ibu-ibu rumah tangga yang mengolah gurita. Terutama untuk tangkapan kecil atau rusak yang jual dalam bentuk sambal gurita.

Buka tutup juga membuat ekosistem terumbu karang mengalami pemulihan dengan tutupan 5–10 % karang hidup serta mengurangi ancaman terhadap enam spesies terancam punah secara global, yaitu whaleshark (Rhincodon typus), thresher shark (Alopias sp.), shortfin mako (Isurus oxyrinchus), black tip (Carcharhinus sp.), hawksbill sea turtle (Eretmochelys imbricata) dan green sea turtle (Chelonia mydas).

Munsi Lampe, guru besar antropolog maritim Unhas, mengapresiasi upaya buka tutup ini sebagai upaya cerdas dan sangat penting bagi keberlangsungan laut dan pesisir. Dia membandingkan dengan upaya masyarakat Maluku dan Papua melalui sasi, Panglima Laot di Aceh dan Awik-awik dan Nusa Tenggara dan Bali.

“Perlindungan oleh masyarakat lokal penting untuk menjaga keberlangsungan ekosistem sistem yang selama ini dieksploitasi tanpa henti.”

Munsi bilang, selama ini kajian sosial budaya terhadap masyarakat di kedua pulau masih sangat terbatas. Dia menjanjikan kedua pulau itu sebagai laboratorium penelitian sosial budaya dengan melibatkan akademisi dan mahasiswa.

“Ini membuat saya tertantang bagaimana ke depan kita bisa berkolaborasi dalam penelitian sosial budaya sehingga bisa menangkap semua fenomena sosial budaya yang ada di kedua pulau ini.”

Agar pola ini bisa kontinu, keterlibatan generasi muda nelayan juga penting. Neil mengatakan, literasi terhadap generasi muda bisa tertanam melalui keterlibatan mereka dalam menangkap gurita. Mereka bisa membentuk kelompok sendiri yang mandiri secara finansial.

“Mereka bisa mengadopsi sistem bagi hasil dari tangkapan mereka, misal, setiap lima gurita yang ditangkap akan disisihkan ke lembaga satu untuk membiayai lembaga. Mereka juga dibiasakan bagaimana menangkap gurita secara ramah lingkungan serta bagaimana menjaga terumbu karang sebagai ekosistem pertumbuhan gurita,” katanya.

Pembiasaan sejak dini menciptakan kebiasaan yang pada akhirnya menjadi kebudayaan baru yang akan terus menerus berlanjut dari  generasi ke negerasi.

Nelayan memasang tanda batas penutupan area tangkap gurita di Pulau Lanjukang, Sulawesi Selatan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Jadi kawasan konservasi

Nirwan Dessibali, Direktur YKL Indonesia, menyatakan, saat ini usulkan Pulau Lanjukang jadi  Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKD) seluas 1.653,53 hektar. Terdiri dari zona inti seluas 70.26 hektar (10%), zona pemanfaatan terbatas berupa perikanan tangkap seluas 222.44 hektar (73,93%) dan pariwisata seluas 11,43 hektar (0,69%), serta zona lainnya berupa zona buka tutup seluas 46,40 hektar (14,40%) dan zona rehabilitasi seluas 2,99 hektar (0,18%). 

“Penetapan target konservasi biota prioritas di Pulau Lanjukang dan wilayah perairan di sekitarnya didasarkan pada nilai penting peran ekologis serta tingkat kerentanannya terhadap berbagai ancaman, baik yang berasal dari alam maupun aktivitas manusia,” katanya.

Tekanan tersebut dapat mempengaruhi kelangsungan populasi dan mengganggu fungsi ekologis dari biota yang ada. 

Berdasarkan survei lapangan, jenis biota prioritas perlindungan di KKD Pulau Lanjukang dan sekitar meliputi 71 spesies karang (coral reef), dua spesies padang lamun (seagrass), hiu paus (Rhincodon typus), penyu hijau (Chelonia mydas) dan juga penyu sisik (Eretmochelys imbricata).

*****

Cerita Nelayan Gurita dari Ujung Nias

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|