Karhutla Satu Dekade 7,7 juta Hektar, Jaga Lahan Gambut

1 day ago 8
  • Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bak jadi langganan ketika kemarau tiba. Selama satu dekade, 2015-2024,  luas karhutla 7.792.484,14 hektar. Berdasarkan data Sipongi, situs sistem pemantauan karhutla Kementerian Kehutanan, luasan karhutla dari tahun ke tahun selama satu dekade ini fluktuatif.
  • Merujuk data Pantau Gambut, Indonesia dengan luasan gambut tropis 13,43 juta hektar jadi negara dengan ekosistem gambut tropis terluas di dunia. Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera dengan luas 5,8 juta hektar, Kalimantan 4,5 juta hektar dan Papua 3 juta hektar.
  • Sekar Banjaran Aji Surowijoyo, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, kerusakan lahan gambut menjadi salah satu penyebab tingginya laju karhutla. Catatan Greenpeace, dari luas karhutla pada 2024,  yakni 376.805,05 hektar, 123.000 hektar berada di Kalimantan dan Sumatera.
  • Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Eksekutif Nasional Walhi menyoroti,  pembukaan lahan hutan dan gambut perusahaan. Catatan Walhi, setidaknya ada 800 perusahaan beroperasi di kawasan hutan dan gambut. Hal ini menyebabkan kerusakan ekosistem dan membuat kerentanan karhutla. Begitu pula gambut. Gambut atau lahan basah, sebenarnya berperan menyerap dan menyimpan air dengan volume besar hingga dapat mengurangi rsiko karhutla kalau tak rusak.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bak jadi langganan ketika kemarau tiba. Selama satu dekade, 2015-2024,  luas karhutla 7.792.484,14 hektar. Berdasarkan data Sipongi, situs sistem pemantauan karhutla Kementerian Kehutanan, luasan karhutla dari tahun ke tahun selama satu dekade ini fluktuatif.

Karhutla tertinggi terjadi pada 2015, seluas 2,611 juta hektar. Dua tahun kemudian, tren mengalami penurunan signifikan, pada 2016, karhutla turun jadi 438.363  hektar, lalu 2017 jadi 165.483 hektar, terendah dalam satu dekade.

Namun, tren karhutla meningkat pada 2018, seluas 529.266 hektar dan meroket pada 2019 jadi 1.649.258  hektar. Pemerintah berhasil menekan luas karhutla pada 2020 menjadi 296.942 hektar, naik lagi pada 2021, seluas 358.867  hektar, dan turun pada 2022 menjadi 204.894 hektar.

Karhutla pada 2023 meningkat lima kali lipat dari 2022 menjadi 1,161 juta hektar dan 2024 seluas 376.805 hektar.

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup  mengatakan, dari luasan itu, 62,8% terjadi di kawasan hutan.

“Diperlukan langkah-langkah konsolidasi lapangan. Paling tidak untuk Pulau Sumatera ada dua atau tiga titik konsolidasi kita karena yang saling berjauhan. Kalimantan paling tidak ada tiga titik, kemudian Papua dan Sulawesi,” katanya di Jakarta, Kamis, (17/4/25).

Berdasarkan data karhutla selama satu dekade, hasil analisis komprehensif, baik mengenai frekuensi titik panas maupun lokasi dan luasan juga menunjukkan kerentanan di beberapa daerah di Indonesia. Daerah-daerah seperti Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Riau, Kalimantan Selatan, Aceh, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Lampung Jawa Tengah, Jawa Timur Nusa Tenggara hingga Papua.

Dari analisis itu, kata Hanif, ada beberapa penyebab karhutla, antara lain, terjadi berkaitan dengan pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan.

“Beberapa lokasi pada kami kunjungan ke lapangan telah landfilling atau persiapan lapangan oleh sebagian besar masyarakat di daerah-daerah yang memiliki hutan. Ini tentu menunggu panas untuk dibakar, sehingga perlu kehati-hatian kita semua.”

Penyebab lain, katanya, karena konflik. Karhutla terus berulang, dominan terjadi pada lahan yang berkonflik, seperti di Sumatera Selatan dan Jambi. Kemudian, idle land atau lahan terlantar seperti di Kalimantan.

“Dan absentee, itu pemilik lahan tidak berada di lokasi. Kemudian ada aktivitas ilegal di lokasi open access serta penyebaran kebakaran dari lokasi lain,” katanya.

KLH, kata Hanif,  juga menyoroti kondisi lahan gambut kering dan mudah terbakar pada saat musim kemarau seperti di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sumatera.

Kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat soal bahaya pembakaran lahan juga jadi penyebab meningkatnya karhutla.

“Bahkan, sebagian pembakaran lahan ini menjadi budaya kita,” katanya.

Made with Flourish

 

Gambut kering, rawan terbakar

Sekar Banjaran Aji Surowijoyo, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, kerusakan lahan gambut menjadi salah satu penyebab tingginya laju karhutla. Catatan Greenpeace, dari luas karhutla pada 2024,  yakni 376.805,05 hektar, 123.000 hektar berada di Kalimantan dan Sumatera.

“Lahan gambut mayoritas di kedua pulau itu. Bahwa tahun 2024 itu tahun kebakaran hutan di saat La Nina itu paling gede sepanjang sejarah, sejak 2015,” katanya kepada Mongabay, Senin (28/4/25).

Merujuk data Pantau Gambut, Indonesia dengan luasan gambut tropis 13,43 juta hektar jadi negara dengan ekosistem gambut tropis terluas di dunia. Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera dengan luas 5,8 juta hektar, Kalimantan 4,5 juta hektar dan Papua 3 juta hektar.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan, kemarau 2025 akan lebih pendek karena ada La Nina. Padahal, faktanya krisis iklim justru membuat fenomena alam kian tak bisa diprediksi.

Menurut Sekar, kebakaran di gambut terjadi karena lahan yang seharusnya basah itu justru kering. Kerusakan ekosistem gambut ini, katanya, karena berbagai faktor, salah satunya karena aktivitas manusia untuk pembukaan lahan. Biasanya, kanalisasi perusahaan menyebabkan lahan gambut rusak hingga kekeringan saat kemarau.

“Dalam sejarah gambut, gambut yang natural harusnya tidak terbakar. Jadi kalau ini terbakar berarti ada pihak ketiga dalam hal ini manusia yang berusaha membakar area  itu..”

Data dari Pantau Gambut, dari 24,2 juta hektar luas kesatuan hidrologi gambut (KHG) di Indonesia, sekitar 16,4 juta hektar berada pada kerentanan tinggi dan sedang.

“Mayoritas kalau sudah seluas ini ya pasti perusahaan (penyebab kebakaran di KHG). Permasalahannya adalah bagaimana pemerintah memonitoring perusahaan ?” katanya.

Pemerintah, kata Sekar,  seharusnya melakukan pemulihan dengan memastikan tinggi muka air tanah 40 centimeter di kanal gambut untuk mencegah karhutla. Pengawasan terhadap perusahaan juga harus dilakukan, mengingat banyak perusahaan beroperasi di area gambut.

Untuk tanggulangi karhutla, pemerintah kadang lancarkan metode modifikasi cuaca. Sekar bilang, cara ini kurang efektif dan cenderung menghambur-hamburkan anggaran, karena biaya besar.

“Itu tidak benar-benar menyelesaikan masalah (modifikasi cuaca). Masalah utamanya adalah gambut yang kering. Gambut kering itu kan pasti ada penyebabnya,” katanya.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Eksekutif Nasional Walhi menyoroti,  pembukaan lahan hutan dan gambut perusahaan. Catatan Walhi, setidaknya ada 800 perusahaan beroperasi di kawasan hutan dan gambut.

Hal ini menyebabkan kerusakan ekosistem dan membuat kerentanan karhutla. Begitu pula gambut. Gambut atau lahan basah, katanya,  sebenarnya berperan menyerap dan menyimpan air dengan volume besar hingga dapat mengurangi rsiko karhutla kalau tak rusak.

“Dari kondisi itu sebenarnya Walhi bilang, bahwa karhutla ini akan terus berulang setiap tahun kalau pemerintah tidak melakukan aksi koreksi untuk kondisi itu.”

Uli bilang, bukannya melakukan evaluasi terhadap perusahaan, pemerintah justru membubarkan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Hal ini pun menimbulkan keraguan terhadap komitmen pemerintah dalam hal konservasi gambut dan mangrove.

“Jadi ini akan makin mempersulit aksi-aksi perlindungan terhadap gambut sekaligus juga melemahkan aksi korektif untuk menjawab problem kebakaran hutan dan lahan. Kan kalau dilihat dari karhutla salah satunya oleh perusahaan untuk pembukaan lahan itu.”

Petugas berupaya memadamkan api kebakaran di lahan gambut di Dumai, Riau. Foto: BPBD Riau

 

Penegakan hukum lemah

Uli bilang, saat ini 33 juta hektar lahan hutan sudha terbebani izin sektor kehutanan. Seluas 4,5 juta hektar konsesi tambang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, dan 7,3 juta hektar hutan sudah lepas, 70% untuk perkebunan sawit.

Sedangkan, data Auriga Nusantara mendapatkan angka luas deforestasi atau kehilangan hutan alam di Indonesia, pada 2024, sebesar 261.575 hektar. Dari angka itu, sekitar 58,7% atau 153.498 hektar, berada di areal izin usaha atau konsesi perusahaan.

Rinciannya, 36.068 hektar di konsesi penebangan hutan alam, 41.332 hektar di konsesi kebun kayu, 38.615 hektar di konsesi pertambangan, dan sekitar 37.483 hektar untuk sawit.

Uli pun meminta, pemerintah mengevaluasi izin-izin perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan dan gambut, kemudian pemulihan lingkungan. Menurut dia, masalah utama tidak akan teratasi tanpa evaluasi, meskipun pemerintah rutin melakukan jambore di daerah-daerah rawan karhutla.

“Tapi sampai sekarang kan tidak ada tindakan korektif dari pemerintah untuk melakukan evaluasi keseluruh izin yang ada di kawasan gambut dan kawasan hutan.”

Dia menyoroti lemahnya penegakan hukum pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan penyebab karhutla. Pemerintah justru seperti memberikan fasilitas perusahaan yang kedapatan membakar hutan untuk membuka lahan, seringkali membiarkan perusahaan lepas tanggung jawab pemulihannya.

“Biayanya itu nggak sedikit, itu gede banget. Jadi , seolah-olah negara yang mengambil tanggung jawab untuk memperkecil laju kebakaran hutan. Yang seharusnya sebenarnya tanggung jawabnya itu bisa ditagihkan kepada perusahaan,” katanya.

Uli menyebutkan, catatan Walhi, terdapat 14 kasus karhutla yang telah inkrah.  Kasus-kasus itu melibatkan perusahaan dan individu, termasuk petani dan pemilik lahan. Walhi juga menyoroti dominasi karhutla di konsesi perusahaan, dengan sebagian besar kasus kebakaran terjadi di lahan gambut.

Perusahaan yang terbukti membakar hutan justru dibiarkan beroperasi kembali. “Tidak sampai pada pengevaluasi yang terhadap izin gitu. Lagi-lagi ya perusahaan tetap saja beroperasi. Atau sekalipun misal sudah ada putusan pengadilan ya terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti membakar,” kata Uli.

Sebelumnya, Hanif Faisol menuturkan tagihan kepada perusahaan yang merusak hutan mencapai triliunan dari berbagai perusahaan. Namun, katanya, pemerintah mengalami hambatan dalam menagih denda, ganti rugi materil karena kerusakan ekosistem dan biaya pemulihan fungsi ekologis lahan yang rusak.

Pailit jadi dalih perusahaan penyebab karhutla untuk lepas tanggung-jawab. Perusahaan yang terbukti bersalah mengajukan pailit justru pengadilan kabulkan. Salah satunya, PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) kena denda Rp16,2 triliun atas kasus pembalakan kayu hutan secara pembohong di Riau.

Catatan Mongabay , PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) juga melakukan hal serupa. Perusahaan perkebunan sawit ini wajib membayar denda kepada negara untuk biaya pemulihan fungsi ekologis Rp191,803 miliar atas kebakaran hutan dan lahan seluas 591 hektar pada tahun 2015 di Desa Puding, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Jambi. Namun, Pengadilan Negeri Niaga Medan memutuskan pailit pada RKK.

Uli bilang, perusahaan memang memiliki modus terstruktur untuk lepas tanggung pemulihan lingkungan. Misal, setelah pailit, perusahaan diambil alih oleh perusahaan lain.

“Jangan-jangan kemudian perusahaan yang mengakuisisi itu adalah perusahaan yang sama. Maksudnya penerima manfaatnya sama, tapi kemudian mereka bikin entitas perusahaan baru,” katanya.

“Agar seolah-olah perusahaan yang lama yang ditagihkan itu dia pailit, sehingga dia tidak tertahankan, tapi dia tetap bisa berusaha mengelola hanya dengan entitas perusahaan baru,” kata Uli.

Pemerintah, seharusnya benar-benar mengidentifikasi perusahaan sebelum memberikan izin.

“Harusnya Itu memeriksa benar-benar sebenarnya keterkaitan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain itu seperti apa. Apakah dia manajemen yang sama, apakah dia penerima manfaat yang sama dan lain sebagainya.”Walhi, kata Uli merekomendasikan pemerintah menerapkan kebijakan ‘blacklist’ terhadap perusahaan grup yang terbukti melakukan pelanggaran berat yang berulang di sektor lingkungan.

“Karena shadow-shadow perusahaan dalam bisnis sawit ini banyak banget ya. Banyak perusahaan bayangan, tapi sebenarnya penerima manfaatnya itu cuma itu-itu saja. Manajerial bisnisnya itu sama saja.”

Kondisi itu, katanya, menyebabkan terjadi banyak praktik bisnis buruk di banyak tempat. “Karena memang mereka itu kayak berjaring,  manajemennya sama. Nah, memang kita butuh kebijakan yang lebih progresif lagi.”

Pelaporan sekaligus aksi di KLHK terkait karhutla yang terjadi di konsesi perusahaan. Foto: Walhi

*******

Pemantik Kebakaran Hutan dan Lahan itu Bernama Regulasi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|