- Ahmad Luthfi, Gubernur Jawa Tengah (Jateng), mengatakan bahwa rencana menjadikan Gunung Slamet sebagai Taman Nasional telah disampaikan ke pemerintah pusat. Pernyataan itu, disampaikan Luthfi pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Wilayah (Musrenbangwil) Eks Karesidenan Pekalongan di Pendopo Kabupaten Batang, Kamis (24/4/2025).
- Widi Hartanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jateng, menjelaskan bahwa kajian sudah dilakukan. Kawasan Taman Nasional Gunung Slamet, nantinya meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Banyumas.
- Masyarakat yang memiliki hak pengelolaan hutan selama 35 tahun dalam Program Perhutanan Sosial (PS), khawatir akan rencana tersebut. Terutama, tumpang tindih pengelolaan.
- Ada enam desa di Banyumas, yakni Kalisalak, Melung, Ketenger, Karangmangu, Kemutug Lor, dan Karangsalam Lor, yang telah menerima Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial untuk mengelola Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023. Luasnya sekitar 2.700 hektar, yang mayoritas berada di kawasan hutan lindung.
Ahmad Luthfi, Gubernur Jawa Tengah (Jateng), mengatakan bahwa rencana menjadikan Gunung Slamet sebagai Taman Nasional telah disampaikan ke pemerintah pusat. Pernyataan itu, disampaikan Luthfi pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan Wilayah (Musrenbangwil) Eks Karesidenan Pekalongan di Pendopo Kabupaten Batang, Kamis (24/4/2025).
Widi Hartanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Jateng, menjelaskan bahwa kajian sudah dilakukan. Dalam pernyataan resmi tersebut, Widi mengatakan kawasan Taman Nasional Gunung Slamet, nantinya meliputi Kabupaten Brebes, Tegal, Pemalang, Purbalingga, dan Banyumas.
“Agar konservasi atau perlindungan Gunung Slamet optimal,” jelasnya.
Masyarakat yang memiliki hak pengelolaan hutan dalam Program Perhutanan Sosial (PS), khawatir akan rencana tersebut. Terutama, tumpang tindih pengelolaan.
Ada enam desa di Banyumas, yakni Kalisalak, Melung, Ketenger, Karangmangu, Kemutug Lor, dan Karangsalam Lor, yang telah menerima Surat Keputusan (SK) Perhutanan Sosial untuk mengelola Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2023. Luasnya sekitar 2.700 hektar, yang mayoritas berada di kawasan hutan lindung.
Baca: Menjaga Hutan Gunung Slamet Agar Tak Jadi Silent Forest

Sungging Septivianto, Pendamping Program PS wilayah Banyumas, mengungkapkan keenam desa sudah melakukan pemetaan.
“Penandaan batas areal izin dan penyusunan rencana kerja perhutanan sosial (RKPS) serius dilakukan,” jelasnya, Minggu (27/4/2025).
Terdapat enam lembaga pengelola hutan desa (LPHD) yang aktif menjaga kelestarian kawasan hutan lindung. Selain itu, masyarakat juga mulai mengembangkan potensi wisata berbasis alam, seperti air terjun dan birdwatching, serta mendata sumber daya hayati.
Rencana penerbitan SK Taman Nasional, dikhawatirkan memicu konflik hukum.
“Kalau taman nasional berada di areal PS, bisa berujung gugatan ke PTUN.”
Pendekatan PS jauh lebih tepat mengatasi persoalan degradasi hutan di Gunung Slamet.
“Pendekatan ini memungkinkan masyarakat setempat menjaga, memulihkan, sekaligus memanfaatkan hutan secara lestari melalui gotong royong. Sedangkan pendekatan taman nasional cenderung terpusat dan eksklusif.”
Saat ini yang dibutuhkan bukan kebijakan baru, melainkan mengoptimalkan program yang sudah ada seperti PS atau rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).
“Kami kerja keras di lapangan, menjalankan kewajiban, sekaligus mengawal hak masyarakat.”
Baca: Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet

Potensi tumpang tindih pengelolaan perhutanan sosial
Agung Budi Satrio, tokoh masyarakat Desa Melung, yang juga pengelola PS khawatir potensi tumpang tindih kebijakan.
“Kami sudah dapat hak kelola PS selama 35 tahun di kawasan hutan lindung. Bila berubah menjadi taman nasional, tidak bisa dibayangkan.”
Seharusnya, Pemerintah Jateng fokus menyelesaikan persoalan kerusakan hutan di sisi utara dan timur Gunung Slamet. “Jangan semua disamaratakan.”
Di lereng selatan hutannya bagus. Masyarakat mengelola dengan menjaga kelestarian hutan dan mendapatkan manfaat ekonomi.
“Dengan menjaga ekologi, ekonomi masyarakat tetap bergerak. Ini yang seharusnya menjadi model, bukan diganggu dengan perubahan status kawasan. Di Melung, perlindungan hutan tidak hanya difungsikan menjaga mata air, tetapi juga sebagai tujuan wisata khusus seperti birdwatching.”
Purnomo, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Desa Ketenger, mengatakan masyarakat belum siap adanya perubahan tersebut.
“Sepengetahuan kami, kalau sudah jadi taman nasional, masyarakat tidak bisa mengakses. Padahal, hutan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kami.”
Masyarakat Ketenger telah mendapatkan KHDPK dengan luasan 275 ha di hutan produksi dan 493 ha di hutan lindung.
“Ada 100 warga yang terlibat program ini. Mereka ikut mengelola air terjun atau Curug Jenggala dan tidak tergoda merambah hutan. Program ini sangat bermanfaat.”
Baca juga: Ini Kawasan Wisata Alam di Lereng Selatan Gunung Slamet

Masyarakat terlibat pengelolaan hutan
Barid Hardiyanto, akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Prof KH Saifuddin Zuhri (Saizu), yang juga Manajer Program Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) Purwokerto, mendukung masyarakat untuk mendapatkan akses pengelolaan hutan.
“Hal paling utama adalah pengelolaan hutan harus berbasis masyarakat. Ini paradigma baru, masyarakat sekitar hutan harus terlibat pengelolaan.”
Jangan sampai usulan taman nasional ini menambah persoalan. Ini dikarenakan, di sejumlah taman nasional ada permasalahan, tambang, deforestasi, bahkan ada ladang ganja.
“Kebijakan ini perlu ditinjau ulang.”
Barid yang juga penulis buku “Jalan Menuju Hutan Subur Rakyat Makmur” menegaskan bahwa di kalangan masyarakat sipil, wacana pengelolaan hutan berbasis masyarakat harus terus diperkuat.
“Masyarakat harus terus dilibatkan,” paparnya.
Perhutanan Sosial dan Utang Pemerintahan Jokowi pada Masyarakat Sekitar Hutan