- Masyarakat Adat Wayamli memboikot aktivitas perusahaan tambang nikel, PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) buntut dari penyerobotan wilayah adat Wayamli di kawasan hutan tanpa izin.
- Ahmad Hi. Djaim, Kimalaha Wayamli, memimpin ritual sebelum melakukan pemboikotan di wilayah hutan adat yang kini telah dibongkar oleh perusahaan tambang nikel STS. Perusahaan ini merusak lahan adat seluas lebih dari 20 hektar dan beroperasi tanpa izin lingkungan. Perusahaan yang sama juga telah menyerobot kebun sagu di Dusun Memeli untuk pembangunan proyek jetty atau pelabuhan sekaligus penempatan penampungan ore nikel.
- M. Ruh, aktivis warga Maba Pura, mendesak agar izin STS dicabut. Sebab, aktivitas operasinya mengancam ruang hidup masyarakat adat di Kecamatan Maba dan Maba Tengah.
- Menurut Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Maluku Utara menyatakan penyerobotan lahan oleh STS tampaknya memang difasilitasi oleh pemerintah daerah, sebab, izinnya dikeluarkan oleh mantan bupati Haltim Welhelmus pada 2009 silam. Sehingga mustahil berharap pada pemerintah daerah. Warga harus terus mengawal sampai menang.
Puluhan warga Desa Wayamli, Maba Tengah, Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara (Malut), memblokade aktivitas tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS), pada 21 April lalu. Warga protes lantaran aktivitas perusahaan telah menyerobot wilayah adat Wayamli.
Protes dipimpin Ahmad Hi. Djaim, Gimalaha, Ketua Adat Wayamli. Usai menggelar ritual adat, warga lantas memboikot aktivitas STS dengan membentangkan spanduk “Boikot PT STS di wilayah adat Gimalaha Wayamli.” Warga membentangkan spanduk di konsesi STS dengan latar tumpukan tanah.
Dalam aksinya, warga menuntut perusahaan menghentikan operasi, mengganti rugi kerusakan lahan adat seluas lebih dari 25 hektar, menunjukkan dokumen izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Namun, tuntutan itu tak mendapat respons.
“Mereka (STS) mulai operasi di tanah adat tanpa sosialisasi sama sekali. Kami akan tetap disini [melawan] dan tidak akan mundur sampai tuntutan kami dijawab oleh perusahaan,” kata Ahmad, mengutip Halmaheranesia.
Protes terhadap STS ini merupakan kali kedua, namun hingga saat ini belum juga ada tanggapan dari perusahaan. Padahal, menurut Ahmad, hutan adat yang dijaga secara turun-temurun rusak parah akibat aktivitas perusahaan.
“Masuk wilayah adat tanpa izin sama saja dengan mencuri. Perusahaan harus bertanggung jawab, tidak hanya kepada masyarakat lingkar tambang, tapi juga kepada tanah adat yang telah dirusak,”katanya.
STS juga dituding menyerobot kebun-kebun warga di daerah pesisir Dusun Mameli, Desa Pekaulang, Kecamatan Maba. Hamparan tanaman kelapa warga terbabat habis. Pembongkaran lahan sekitar 3,6 hektar itu berlangsung pada 14 April 2025. Alat-alat berat milik perusahaan masuk melalui pesisir pantai.

Berdasar informasi yang Mongabay peroleh, area itu bakal jadi jetty atau pelabuhan, sekaligus tempat penampungan material ore nikel. Padahal, STS sebelumnya sudah memiliki jetty di Dusun Woisumo, Desa Baburino, tepat sisi timur Bandara Buli.
Belakangan, aktivitas STS di Dusun Memeli disetop Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Timur. Pasalnya, pembangunan jetty diduga tidak dilengkapi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Masalahnya, kebun warga telah tergusur.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Malut, menemukan ada warga diduga memanipulasi sertifikat tanah dan menjual kepada perusahaan. Aksi itu tanpa sepengetahuan ahli waris pemilik lahan.
“Pola perusahaan dalam menguasai lahan adalah mendatangi warga di setiap rumah untuk negosiasi. Tidak ada sosialisasi atau pembayaran yang dilakukan secara terbuka ke publik. Praktik tertutup itu melibatkan satu orang warga yang tercatat memiliki jabatan sebagai eksternal di STS,” catat Jatam Malut.
Selain itu, dalam proyek pembangunan jetty di lapangan, perusahaan diduga tidak memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), termasuk konsultasi publik yang diabaikan oleh perusahaan.
Dalam aplikasi Modi Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), STS tercatat memiliki konsesi seluas 4.480 hektar. Perusahaan peroleh izin dari Bupati Haltim Welhelmus Tahalele (2005-2010) pada 7 Desember 2009, dan berakhir pada 7 Desember 2029 atau tersisa empat tahun lagi.
Perusahaan memulai aktivitasnya sejak 2021. Dari citra satelit, konsesi STS membentang dari Kecamatan Maba hingga Maba Tengah. Dari Desa Baburino tepat dimana jetty perusahaan dibangun hingga Desa Wayamli.
Perusahaan asal Singapura, Esteel Enterprise PTE, Ltd menggenggam 70% saham STS. Sedangkan 30% psaham dikantongi PT Bahtera Mineral Nusantara (BMN). Pada 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan bahwa STS menunggak pajak ke Pemda Haltim senilai Rp2 miliar.
Dari informasi warga, perusahaan sempat beberapa kali terhenti saat mulai melakukan pembebasan lahan yang dianggap tidak pernah selesai. Lahan-lahan warga yang masuk konsesi tambang STS dipatok oleh perusahaan dengan harga Rp 10 juta yang disebut sebagai kompensasi, bukan ganti rugi bayar lahan.
Perusahaan klaim kebun masyarakat berada dalam kawasan hutan negara–yang berarti perusahaan tidak punya kewajiban membayar ganti rugi. Masalah ini memicu konflik yang tak kunjung padam hingga hari ini. Warga terus melakukan protes merespons ketidakadilan yang mereka alami.

Tuntut cabut izin
Pemkab Haltim merespons tuntutan Masyarakat Adat Wayamli. Ubaid Yakub dan Anjas Taher, Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Timur memediasi sengketa wilayah adat yang diserobot STS, pada 22 April.
“Kami minta pihak perusahaan untuk sementara waktu menghentikan aktivitas penambangan,” ujar Ubaid.
Sembari itu, dia meminta perusahaan agar segera menyelesaikan masalah dengan warga agar bisa beroperasi kembali. “Cepat selesaikan, sebab kalau tidak bisa timbul korban lebih banyak, itu yang kami tidak mau,” katanya.
Mediasi hari itu tak menemukan kesepakatan. Sebab, wakil perusahaan yang hadir tidak berwenang mengambil keputusan apapun. Mediasi kemudian keesokan harinya lagi, pada 23 April di Kantor Bupati. Hasilnya tetap sama: perusahaan berkilah tidak punya wewenang sebab mereka bukan pengambil kebijakan.
Anjas Taher, Wakil Bupati Haltim yang turut dalam pertemuan itu bahkan sempat menggebrak-gebrak meja. Dia kesal, menilai perusahaan tak menghargai pemerintah daerah dan melakukan operasi seenaknya tanpa menghargai hak-hak masyarakat adat.
“Masa’ kita banyak banyak bagini, berpangkat-pangkat bagini baru takut sama ini (STS). Saya kira itu bupati, harus kita hentikan itu,” tegas Anjas.
Ruh, aktivis warga Maba Pura, peserta aksi mengatakan, masyarakat hanya menuntut apa yang jadi haknya. Masalah makin rumit karena perusahaan tidak mau menandatangani berita acara untuk menyelesaikan sengketa lahan masyarakat adat yang telah diserobotnya.
“Jadi sepertinya perusahaan ini (STS) kepala batu. Mengabaikan kewenangan pemerintah dan masyarakat adat yang dikorbankan tanah adatnya,” kata M. Ruh kepada Mongabay.
Protes-protes warga selama sepekan terakhir adalah akumulasi kemarahan masyarakat adat yang ruang hidupnya terampas untuk tambang. Karena belum ada keputusan, warga akan kembali berunjuk rasa pada Senin, 28 April untuk meminta perusahaan angkat kaki dari tanah Malut, khususnya Haltim.
“Karena perusahaan tidak lagi menghargai hak-hak masyarakat adat dan mengakui wilayah masyarakat adat yang dibongkar, juga tidak berkontribusi sama sekali terhadap masyarakat adat selain merusak hutan dan tanaman, maka bagi saya cabut saja IUP-nya,” kata M. Ruh.

Julfikar Sangaji, Dinamisator Jatam Malut mengatakan, pesimis berharap kepada pemerintah daerah selesaikan sengketa lahan STS dengan Masyarakat Adat Wayamli. Pasalnya, penyerobotan lahan adat oleh STS itu terjadi karena fasilitasi pemerintah daerah melalui IUP STS yang terbit saat Bupati Welhelmus Tahalele (2005-2010).
“Perusahaan tidak berani mencaplok lahan masyarakat adat tanpa persetujuan atau pemberian izin konsesi dari pemerintah. Sementara, izin STS, seperti yang kita tahu, dikeluarkan Bupati Halmahera Timur Welhelmus pada 2009. Artinya, rezim politik daerah yang memfasilitasi perusakan dan pencaplokan tanah adat untuk tambang nikel,” katanya.
Menurut dia, apa yang STS lakukan sebagai pelanggaran serius hak asasi manusia (HAM) karena menghancurkan ruang hidup masyarakat adat di Maba. Wilayah perusahaan melakukan perusakan merupakan daerah keramat, tetapi dengan sekejap tergusur.
“Yang dilakukan STS bukan sekadar menggerakkan alat berat lalu menggusur hutan dan mengeruk tanah adat, tapi lebih dari itu, patut disebut sebagai ‘kejahatan terorganisir.”
Mongabay berusaha meminta penjelasan melalui email HRD perusahaan tetapi hingga naskah ini tayang, email yang terkirim tak mendapat respons.
Namun, saat hadir dalam pertemuan bersama pemerintah kabupaten, Rabu (23/4/25), Kukun, perwakilan perusahaan mengaku masih akan berkoordinasi dengan pimpinan perusahaan di Jakarta. “Kita belum mendapatkan informasi pimpinan kita, sehingga segala keputusan belum dapat diambil,” katanya, seperti dikutip media lokal.
*****