- Sebuah studi baru menyimpulkan, bahwa secara global, penyebab paling umum dari gangguan terhadap habitat kera besar adalah alih fungsi lahan.
- Cara paling umum bagi kera besar untuk beradaptasi terhadap perubahan habitat, adalah dengan mencari makan di ladang pertanian manusia, mengubah pola bersarang, dan menggunakan jalur buatan manusia untuk berpindah tempat.
- Perubahan ini dapat membantu kera bertahan dalam jangka pendek, namun berpotensi meningkatkan risiko dalam jangka panjang, terutama ketika perilaku seperti mengambil hasil panen pertanian yang memicu konflik dengan manusia.
- Meskipun pola tertentu terlihat secara global, respon manusia terhadap perilaku kera besar yang mencari makan di ladang pertanian sangat bervariasi, menegaskan pentingnya konteks prioritas strategi lokalitas dalam perencanaan konservasi.
Aktivitas manusia seperti pertambangan, pertanian, urbanisasi, pembangunan bendungan, dan penebangan hutan telah menjadi ancaman bagi habitat kera besar di Afrika dan Asia. Namun, menurut studi baru, kera besar juga mampu mempertahankan diri terhadap gangguan ini dengan menyesuaikan perilaku mereka dalam berbagai cara, termasuk mengambil hasil panen manusia dan mengubah lokasi bersarang.
Tetapi, meski penyesuaian ini tampak membantu mereka bertahan dalam jangka pendek, hal tersebut justru bisa meningkatkan kerentanan mereka terhadap bahaya dalam jangka panjang.
“Dalam banyak konteks, perubahan perilaku kera besar menimbulkan ketegangan dalam hubungan antara manusia dan kera, yang berujung pada cedera, perundungan, bahkan pembunuhan terhadap kera,” demikian isi studi tersebut, yang merupakan tinjauan global terhadap penelitian tentang adaptasi kera besar terhadap gangguan akibat ulah manusia.
Disebutkan, jika kera besar memiliki fleksibilitas perilaku yang tinggi tetapi sebalinya juga menjadi spesies yang paling terancam punah. Para peneliti telah mengidentifikasi bahwa pola respons mereka terhadap gangguan dari manusia dapat membantu mengkategorikan permasalahan umum dan memiliki potensi dampak dalam jangka panjang.
Miranda Gilbert, salah satu penulis studi dari Great Ape Behaviour (GAB) Laboratory di University of Victoria, Kanada, kepada Mongabay menyebutkan aktivitas manusia yang semakin memengaruhi ekosistem memerlukan studi untuk mengetahui bagaimana satwa liar dapat menghadapi perubahan yang terjadi. Semua informasi ini sebutnya berguna dalam merumuskan strategi konservasi yang efektif.

Konversi Lahan Jadi Gangguan Utama Kera Besar
Dari hampir 2.500 studi yang ditinjau oleh Gilbert dan rekan penelitinya Ammie Kalan—Kepala GAB Lab, mereka mengerucutkannya menjadi 96 studi yang secara spesifik membahas respons perilaku dari tujuh spesies kera besar non-manusia yang masih ada, yaitu: simpanse (Pan troglodytes), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis), gorila timur (Gorilla beringei), gorila barat (Gorilla gorilla), dan bonobo (Pan paniscus).
Simpulannya, secara global penelitian ini menemukan bahwa konversi lahan skala besar untuk pertanian dan penebangan hutan merupakan gangguan paling sering terhadap habitat kera.
Hal ini lalu menyebabkan respons perilaku yang paling umum dari kera seperti mengambil hasil panen manusia (foraging), memilih lokasi sarang yang berbeda, mengubah frekuensi penggunaan ulang sarang, hingga “menyeberangi jalan” yaitu menggunakan jalur buatan manusia untuk berpindah tempat dengan lebih mudah.

Perubahan pola bersarang, yang dapat membantu kera menghindari interaksi dengan manusia, tidak ditemukan berdampak negatif. Para peneliti menyebut ini adalah “demonstrasi fleksibilitas yang menggembirakan tentang betapa cepatnya adaptasi dari kera besar”.
Namun, adaptasi lainnya justru menyebabkan dampak negatif, termasuk tanda-tanda stres, cedera, bahkan kematian. Hal ini terutama berasal dari perilaku seperti memakan tanaman pertanian manusia atau berjalan di jalur buatan manusia, yang meningkatkan risiko konflik terbuka antara kera besar dengan manusia.
Sebagai tambahan, para peneliti menemukan bahwa perilaku dan konsekuensi yang ditimbulkan pun berbeda-beda tergantung pada spesies dan lokasi, ungkap Gilbert melalui surel kepada Mongabay.
Misalnya, dalam beberapa kasus, gorila hampir selalu menghindari hutan yang telah ditebang; namun di tempat lain, mereka justru datang ke area tersebut untuk memanfaatkan vegetasi baru yang tumbuh pasca penebangan.
Orangutan yang mencari makan di lahan pertanian cenderung menghadapi reaksi minimal dari para petani di wilayah dibandingkan satwa lain dianggap sebagai ancaman utama bagi hasil panen. Namun, ukuran tubuh orangutan yang besar tetap dapat menimbulkan ketakutan pada masyarakat.

Sementara itu pada simpanse, di beberapa wilayah mereka mencari makan di lahan yang ditanami tanaman yang tidak bernilai komersial, oleh karenanya mereka tidak dianggap sebagai hama. Tetapi di wilayah lain, mereka dianggap berbahaya—bahkan dikejar, dipasang perangkap, atau dibunuh.
“Pola-pola ini menekankan pentingnya penyesuaian tujuan konservasi agar sesuai dengan konteks lokal,” kata Gilbert.
“Perubahan perilaku yang ditunjukkan kera besar tampaknya bisa menjadi alat untuk bertahan hidup menghadapi perubahan lingkungan yang mendadak, atau justru menempatkan mereka dalam situasi yang lebih berisiko.”
Strategi penggunaan lahan sebutnya harus mempertimbangkan keberagaman hubungan antara manusia dan satwa liar. Ia juga merekomendasikan agar pola pergerakan, koridor ekologis, dan pemanfaatan sumberdaya dapat dimasukkan dalam perencanaan konservasi.

Rencana Konservasi Lewat Pelestarian Habitat
Rachel Ikemeh, wakil ketua wilayah region Afrika di Primate Specialist Group IUCN—otoritas konservasi satwa liar global—mengatakan bahwa dengan mendokumentasikan respons perilaku spesifik kera besar terhadap konversi lahan industri, studi ini memberikan wawasan penting mengenai konsekuensi langsung dan tidak langsung dari gangguan habitat.
“Memahami perilaku adaptif ini sangat penting dalam menyusun rencana konservasi yang efektif untuk mengurangi risiko akibat tekanan antropogenik,” ujarnya.
Ikemeh, yang tidak terlibat langsung dalam studi tersebut, menegaskan tidak mungkin mewujudkan konservasi primata secara jangka panjang bersamaan jika terdapat aktivitas industri berskala besar di dalam satu lanskap yang sama.
“Meski ada cara untuk mengintegrasikan upaya konservasi dengan pertumbuhan ekonomi, konversi lahan skala industri bukan salah satunya,” kata Ikemeh, yang juga merupakan pendiri dan Direktur Eksekutif South West Niger Delta Forest Project, sebuah inisiatif konservasi di Nigeria.
“Memprioritaskan konservasi kera besar melalui pelestarian habitat akan memberikan manfaat nilai tambah yang dapat diukur, seperti mitigasi perubahan iklim, keberlanjutan mata pencaharian lokal, serta pelestarian norma-norma sosial dan budaya,” tutupnya.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 24 Maret 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Referensi:
Gilbert, M. A., & Kalan, A. K. (2025). A review of great ape behavioural responses and their outcomes to anthropogenic landscapes. Primates, 66(2), 163-181. doi:10.1007/s10329-025-01180-w
***
Foto utama: wajah anak orangutan sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.
Mengapa Hanya Sebagian Orangutan Jantan Memiliki Pipi Besar?