- Koalisi organisasi nonpemerintah yang tergabung dalam Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), meminta pemerintah pensiunkan PLTU batubara, menghentikan pembangunan PLTU batubara baru, serta mempercepat transisi energi bersih.
- Selama dua tahun terakhir, STuEB menemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup pada sembilan PLTU batubara di Sumatera; PLTU Nagan Raya Aceh, PLTU Pangkalan Susu Sumut, PLTU Ombilin Sumbar, PLTU Tenayan Raya Riau, PLTU Keban Agung Lahat, PLTU Sumsel 1, PLTU Teluk Sepang Bengkulu, PLTU Semaran Jambi, PLTU Sebalang dan Tarahan Lampung.
- Berbagai penyakit menyerang masyarakat yang hidup di sekitar PLTU batubara. Misalnya, penyakit ISPA, kulit, paru hitam dan tiroid.
- Berdasarkan kajian IESR (Institute for Essential Services Reform) untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 PLTU batubara dengan total kapasitas 43,4 GW perlu dipensiunkan periode 2022–2045.
Sumatera, pulau yang kaya keanekaragaman hayati hutan tropis, perlahan tergerus aktivitas energi kotor. Salah satu penyebab, hadirnya puluhan PLTU batubara yang berdampak pada lingkungan, sosial, dan budaya masyarakat lokal, serta mempercepat krisis iklim secara global.
“Agar Pulau Sumatera tidak cepat punah, maka segera pensiunkan PLTU batubara di Sumatera yang jumlahnya mencapai 33 unit. Hentikan pembangunan PLTU batubara baru, serta percepat transisi energi bersih,” kata Boni Bangun, Direktur Perkumpulan Sumsel Bersih, saat aksi “Sumatera Menolak Punah” dalam peringatan Hari Bumi di Plasa Benteng Kuto Besak, Palembang, yang digelar Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), Selasa (22/4/2025).
Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) adalah koalisi sejumlah organisasi nonpemerintah di Sumatera yang bekerja untuk transisi energi bersih. Mereka adalah Apel Green Aceh, P2LH Aceh, Srikandi Lestari, LBH Pekanbaru, LBH Padang, Lembaga Tiga Beradik Jambi, Yayasan Anak Padi, Perkumpulan Sumsel Bersih, HaKI, PUPA Bengkulu, Pinus Sumsel, LBH Lampung, JMPEB Lampung, dan Fitra Riau.
Dua tahun terakhir, STuEB melakukan pemantauan terhadap sembilan PLTU di Sumatera; PLTU Nagan Raya Aceh, PLTU Pangkalan Susu Sumut, PLTU Ombilin Sumbar, PLTU Tenayan Raya Riau, PLTU Keban Agung Lahat, PLTU Sumsel 1, PLTU Teluk Sepang Bengkulu, PLTU Semaran Jambi, PLTU Sebalang dan Tarahan Lampung.
“Hasilnya kami menemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup yang 12 pelanggaran telah kami laporkan ke penegak hukum di Kementerian Lingkungan Hidup,” kata Ali Akbar, Konsolidator STuEB.
Di era pemerintahan Prabowo, kata Ali, belum ada pergerakan signifikan negara untuk menjalankan agenda transisi energi. Yang muncul justru co-firing, gasifikasi batubara dan biomas, yang sebenarnya bertujuan melanggengkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik di Sumatera.
Baca: Konsorsium Energi Bersih Laporkan Tiga PLTU di Sumatera ke PBB, Mengapa?

Muncul berbagai penyakit di sekitar PLTU
Berdasarkan pemantauan STuEB selama dua tahun, dampak yang sangat dirasakan masyarakat di sekitar PLTU adalah penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), gangguan kulit, paru hitam, dan tiroid.
Ribuan warga yang hidup di sekitar PLTU Nagan Raya, terserang penyakit ISPA dan kulit. Tahun 2022 tercatat 809 jiwa, 2023 (526 jiwa), dan pada 2024 (512 jiwa) serta 174 jiwa terkena penyakit kulit.
Pada 2023-2024, masyarakat di sekitar PLTU Teluk Sepang, yang terkena ISPA sebanyak 42 jiwa dan penyakit kulit 39 jiwa.
Masyarakat di sekitar PLTU Pangkalan Susu, sekitar 243 jiwa terserang penyakit kulit, 24 jiwa ISPA, juga 4 jiwa mengalami paru hitam, 4 jiwa terkena tiroid, serta 39 jiwa hipertensi.
Sementara, warga di sekitar PLTU Tenayan Raya, sebanyak 2.061 jiwa terserang ISPA. Di PLTU Keban Agung, tercatat 472 jiwa terserang ISPA, serta aktivitas PLTU Semaran, selama dua tahun menyebabkan 133 jiwa terserang ISPA dan kulit.
Selain terserang penyakit, aktivitas penambangan batu bara juga menimbulkan bencana banjir. “Sepanjang tahun 2024-2025 di berbagai daerah di Sumsel diterpa bencana alam seperti banjir. Sejak hadirnya aktifitas batu bara, wilayah sekitar Sungai Lematang, hampir setiap tahun mengalami bencana banjir,” jelas Boni.
Dia berharap, Pemerintah Sumatera Selatan turut mengurangi atau menekan bencana lingkungan tersebut. Caranya, hentikan dan evaluasi pembangunan PLTU baru karena setiap pembangunan PLTU dan tambang berbanding lurus dengan hilangnya hutan, lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.
“Apalagi, bauran energi Sumsel sebesar 24,14% melebihi target bauran energi nasional dengan energi terbarukan yang terpasang sebesar 989,12 MW. Harusnya, Sumsel berani mengajukan pengurangan PLTU sebesar pembangkit energi terbarukan yang terpasang.”
Baca juga: IESR: Target Energi Bersih Indonesia di COP29 Harus Selaras Perjanjian Paris

72 PLTU batubara dipensiunkan
Berdasarkan kajian IESR (Institute for Essential Services Reform) untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sebanyak 72 PLTU batubara dengan total kapasitas 43,4 GW perlu dipensiunkan periode 2022–2045.
Pada 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional 18 PLTU berkapasitas total 9,2 GW, terdiri 8 PLTU milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU milik pembangkit swasta (4,2 GW).
Kajian IESR telah mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan yang tercantum dalam Permen No.10/2025 Tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, guna mempercepat pengakhiran operasional batubara. Sebut saja, usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca.

IESR memperkirakan, biaya pensiun dini PLTU mencapai US$4,6 miliar hingga 2030 dan US$27,5 miliar hingga 2050. Sekitar US$18,3 miliar berasal dari PLTU swasta, dan US$9,2 miliar dari PLTU milik PLN. Meski biaya awal pensiun tergolong besar, manfaat jangka panjangnya dari penurunan biaya kesehatan dan subsidi PLTU mencapai US$96 miliar pada 2050.
“Dukungan pendanaan untuk pensiun dini yang tidak efisien, mahal, dan menyebabkan polusi udara akut milik PLN, bisa berasal dari APBN. Namun, dana yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus dipakai untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik,” jelas Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, dalam keterangan tertulis, Rabu (23/4/2025).
Menurut Fabby, sambil menunggu pensiun, pengoperasian PLTU secara fleksibel dapat dilakukan untuk mendukung integrasi energi terbarukan, khususnya surya dan angin. Pendekatan ini akan mengubah sistem operasi tenaga listrik, yaitu PLTU beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten, dalam batas teknis yang aman bagi sistem. Dengan cara ini, penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan dapat meningkat signifikan.