- Desakan pengesahan Undang-undang Masyarakat Adat terus menguat dari berbagai kalangan. Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat ini sudah belasan tahun masuk dalam bahasan ‘wakil rakyat’ tetapi belum juga ketok palu. Harapannya, UU Masyarakat Adat ini jadi payung hukum dalam mendorong pemenuhan hak dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Saat ini, kebijakan mengenai masyarakat adat masih tersebar di berbagai aturan.
- Erwin Dwi Kristianto, peneliti Perkumpulan HuMa Indonesia, menyatakan, penelitian HuMa tahun 2024 menunjukkan ada 12 hak masyarakat adat yang tersebar di berbagai undang-undang. Di antaranya, hak atas tanah, wilayah, sumber daya alam, hak menjalankan hukum dan peradilan adat, hak ulayat, hingga hak kolektif perempuan adat.
- Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sengketa lahan dengan korporasi maupun pemerintah mengintai masyarakat adat. “Setelah kehilangan lahan pertanian dan padang penggembalaan, banyak masyarakat adat terpaksa menjadi buruh harian di perusahaan. Ini menciptakan ketergantungan ekonomi dan memperparah kemiskinan struktural,” ujar Triawan Umbu Uli Mehakati dari Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Koppesda) Sumba Timur.
- Rina Mardiana, akademisi Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan, urgensi UU MA adalah pengakuan utuh atas eksistensi masyarakat adat sebagai entitas hukum, budaya, dan politik.
Desakan pengesahan Undang-undang Masyarakat Adat terus menguat dari berbagai kalangan. Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat ini sudah belasan tahun masuk dalam bahasan ‘wakil rakyat’ tetapi belum juga ketok palu. Harapannya, UU Masyarakat Adat ini jadi payung hukum dalam mendorong pemenuhan hak dan perlindungan terhadap masyarakat adat. Saat ini, kebijakan mengenai masyarakat adat masih tersebar di berbagai aturan.
Erwin Dwi Kristianto, peneliti Perkumpulan HuMa Indonesia, menyatakan, penelitian HuMa tahun 2024 menunjukkan ada 12 hak masyarakat adat yang tersebar di berbagai Undang-undang. Di antaranya, hak atas tanah, wilayah, sumber daya alam, hak menjalankan hukum dan peradilan adat, hak ulayat, hingga hak kolektif perempuan adat.
Tidak ada UU khusus yang mengatur masyarakat adat membuat semua hak itu masih bersyarat, berlapis dan sektoral. Dampaknya, justru menciptakan tumpang tindih peraturan, yang akhirnya memperbesar potensi konflik.
“Dengan mengesahkan UU Masyarakat Adat, pengakuan seperti ini bisa dipangkas, dan proses administrasinya dibuat lebih sederhana,” katanya, dalam diskusi daring, inisiasi Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, Rabu (16/4/25).
Undang-undang Dasar 1945, katanya, memberi mandat pada negara untuk melindungi dan mengakui masyarakat adat.
Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menyebut, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.” Sementara Pasal 28I Ayat (3) berbunyi “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dilindungi oleh negara.”
Berdasarkan dua pasal itu, negara perlu menyatukan makna dua istilah, masyarakat hukum adat dan masyarakat tradisional. Harus ada pertemuan secara yuridis dan konseptual antar keduanya, supaya dapat menjadi pondasi kokoh dalam pembentukan UU Masyarakat Adat.
Istilah “hak tradisional” yang kini tercantum dalam konstitusi merupakan hasil perubahan dari istilah “hak asal-usul,” yang pertama kali Soepomo usulkan dalam sidang BPUPKI tahun 1945. Amandemen UUD 1945 pada tahun 2000 mengganti jadi “hak tradisional”, tanpa mengubah esensi maknanya.
Mahkamah Konstitusi, melalui putusan Nomor 35/PUU-X/2012, menyatakan kedua istilah itu memiliki arti dan substansi setara. Artinya, baik “hak asal-usul” maupun “hak tradisional” merujuk pada bentuk hak-hak kolektif masyarakat adat.
“Maka negara pun tidak cukup hanya mengakui subjeknya. Harus juga ada pengakuan atas hak-haknya,” katanya.

Hilang ruang hidup
Meskipun demikian, tak semua hak tersebar dalam berbagai UU itu otomatis negara akui. Berbagai masalah masih menimpa masyarakat adat, terutama terkait hak atas tanah dan wilayah mereka.
Komunitas adat di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan, misal, justru terancam dengan rencana peningkatan status 119.000 hektar kawasan itu jadi taman nasional. Sementara, mereka tidak hanya memandang Meratus sebagai ruang hidup, juga pusat budaya, spiritual, dan jati diri.
“Kehidupan kami sangat lekat dengan alam, berladang, dan ritual. Semua proses berladang diiringi dengan upacara dan persembahan untuk alam. Tanpa ladang, tak ada ritual. Jika kami terusir, maka tradisi yang telah berlangsung ratusan tahun akan musnah,” kata Harnilis, tokoh adat Meratus, dalam diskusi itu.
Klaim hutan negara atas wilayah mereka mengancam eksistensi komunitas adat. Keputusan ini pun negara buat tanpa melibatkan mereka. Jika dilanjutkan, bukan hanya lahan yang hilang, tapi juga budaya, jati diri, dan hubungan sakral komunitas adat dengan alam.
“Kami jelas menolak rencana ini dan siap mempertahankan tanah ini agar tidak berubah menjadi kawasan konservasi yang hanya menguntungkan segelintir pihak,” katanya.
Kondisi serupa terjadi di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sengketa lahan dengan korporasi maupun pemerintah mengintai masyarakat adat.
Konflik yang terjadi selalu berujung penggusuran tanah ulayat. Termasuk sawah, padang penggembalaan ternak, hingga situs sakral tempat ibadah dan ritus kepercayaan lokal.
“Setelah kehilangan lahan pertanian dan padang penggembalaan, banyak masyarakat adat terpaksa menjadi buruh harian di perusahaan. Ini menciptakan ketergantungan ekonomi dan memperparah kemiskinan struktural,” ujar Triawan Umbu Uli Mehakati, dari Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Koppesda) Sumba Timur.
Padahal, katanya, selama ini masyarakat adat di Sumba Timur merupakan penjaga harmoni manusia dan alam. Mereka hidup selaras dengan lingkungan, berpegang teguh pada aturan adat yang nenek moyang turunkan.
“Alam bagi kami adalah ibu. Merampas tanah kami, sama saja dengan merampas ibu kami—harga diri kami.”
Mereka pun memiliki tata guna lahan yang unik. Seperti tanah paita, yaitu wilayah sakral yang tidak boleh dihuni atau diolah secara sembarangan karena diyakini memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan alam, serta tanah kaba yang boleh dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, lahan pertanian, atau kebun.
Lahan adat juga terbagi menurut struktur sosial. Terdapat tanah praing, yang dikelola secara kolektif oleh seluruh warga dalam satu kampung, dan tanah kabihu, yang menjadi hak serta tanggung jawab satu klan atau garis keturunan tertentu.
“Setiap aturan adat ini bersifat mengikat. Pelanggarannya dapat berujung pada sanksi adat,” katanya.
Tanpa perlindungan hukum kuat, nilai-nilai dan kearifan yang telah hidup selama ratusan tahun bisa saja hilang begitu saja. “Kami sudah menempuh berbagai upaya agar masyarakat adat diakui dan dilindungi sepenuhnya. Tapi tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya dianggap sebagai pengganggu pembangunan.”

Kunci keberlanjutan
Rina Mardiana, akademisi Pusat Studi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), menyatakan, urgensi UU Masyarakat Adat adalah pengakuan utuh atas eksistensi masyarakat adat sebagai entitas hukum, budaya, dan politik.
“Ini penting untuk menjamin keberlangsungan hidup dan praktik-praktik adat mereka yang lestari. Tanpa pengakuan ini, yang hilang bukan hanya mereka, tetapi juga keadilan agraria, kelestarian lingkungan, dan bahkan kedaulatan bangsa.”
Masyarakat adat, katanya, memiliki hak menentukan nasib sendiri sebagai bentuk kedaulatan warga negara. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak mereka, menurutnya, kunci membangun masyarakat dari tingkat tapak yang mandiri.
Langkah ini akan memicu kepastian hak atas tanah dan sumber daya (land-tenurial security), akan memperkuat keamanan manusia (human security).
“Human security inilah yang menjadi aset penting bagi pembangunan nasional, agar Indonesia dapat tumbuh menjadi negara yang maju, berdaulat, dan memiliki kekuatan dari dalam—bukan ditopang oleh investasi asing.”
Masyarakat adat juga memiliki kapasitas mengelola kekayaan agraria secara mandiri. Mereka mampu menjalankan pemerintahan serta menegakkan hukum berdasarkan kearifan lokal.
Pembangunan yang mereka lakukan pun cenderung tidak merusak lingkungan, karena masyarakat adat hidup dan bergantung pada wilayah yang sama secara turun-temurun.

*****