Founder’s Briefs: Sebuah seri yang terbit secara berkala, menampilkan analisis, sudut pandang, dan ringkasan cerita dari pendiri Mongabay, Rhett Ayers Butler.
Aktivitas manusia tengah mengubah wajah kehidupan di Bumi secara signifikan dan memprihatinkan. Dalam sebuah studi penting yang dimuat dalam jurnal Nature disajikan sintesis paling komprehensif mengenai dampak dari lima tekanan antropogenik utama sejauh ini, yaitu: perubahan habitat, polusi, perubahan iklim, eksploitasi sumber daya, dan ancaman spesies invasif, terhadap keanekaragaman hayati di berbagai ekosistem dan kelompok taksonomi utama.
Dengan mengkaji data dari 2.133 penelitian yang mencakup hampir 100.000 lokasi di seluruh dunia, para peneliti dari Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology serta University of Zurich mengungkapkan gambaran yang mengkhawatirkan bahwa: Dampak manusia tidak hanya mengurangi jumlah spesies, tetapi juga mengubah struktur komunitas biologis secara mendasar.
Temuan yang paling konsisten adalah penurunan keanekaragaman spesies lokal. Rata-rata, lokasi yang terdampak menampung hampir 20% lebih sedikit spesies dibandingkan dengan lokasi yang tidak terdampak.
Adapun kehilangan ini paling nyata pada kelompok vertebrata seperti mamalia, amfibi, dan reptil yang merupakan jenis-jenis yang cenderung memiliki populasi kecil, laju reproduksi rendah, dan lebih rentan terhadap kepunahan secara lokal.
Namun, kehilangan keanekaragaman hayati bukan hanya soal jumlah spesies. Komposisi komunitas ekologis juga berubah secara drastis, sebuah fenomena yang oleh para penulis disebut sebagai “compositional turnover” atau “pergantian komposisional.”
Kelima tekanan akibat aktivitas manusia secara signifikan mengubah susunan spesies, dengan polusi dan perubahan habitat memberikan dampak paling besar. Pergeseran ini dapat mengganggu ekosistem, bahkan jika jumlah spesiesnya tidak berubah.
Sebagai contoh, tergantikannya jenis-jenis vegetasi asli oleh spesies generalis dapat mengurangi kestabilan tanah dan kemampuan tanah dalam menyimpan air, sehingga merusak fungsi ekosistem.
Yang cukup mengejutkan, studi ini tidak menemukan pola yang konsisten terkait “homogenisasi biotik”, sebuah gagasan bahwa gangguan manusia bakal menyebabkan komunitas spesies menjadi semakin seragam di berbagai wilayah.
Sebaliknya, data menunjukkan kecenderungan menuju diferensiasi biotik, terutama pada skala lokal. Ini kemungkinan berasal dari efek acak dan pergeseran ekologis di lingkungan yang sangat terdampak. Di mana spesies sensitif menghilang dan pembentukan komunitas menjadi lebih acak.

Respons terhadap tekanan manusia juga sangat bervariasi antar kelompok organisme. Mikroba dan jamur, yang memiliki siklus hidup pendek dan kemampuan penyebaran tinggi, menunjukkan perubahan paling mencolok dalam komposisi komunitas.
Sebaliknya, spesies yang lebih besar dan berumur panjang mengalami penurunan keanekaragaman lokal yang paling tajam.
Yang paling penting, studi ini menetapkan hubungan antara berbagai dimensi perubahan keanekaragaman hayati. Ketika keanekaragaman lokal menurun, pergantian komposisional cenderung meningkat dan makin memperkuat ketidakstabilan ekosistem.
“Temuan kami memberikan indikasi yang jelas tentang pengaruh manusia mana yang paling berdampak terhadap keanekaragaman hayati,” tulis para peneliti.
Dengan mengukur besar dan mekanisme kehilangan keanekaragaman hayati, studi ini memberikan tolok ukur penting bagi strategi konservasi yang sekaligus menjadi peringatan keras tentang biaya kerusakan ekologis dari perilaku manusia.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 31 Maret 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
***
Foto utama: Badak sumatera. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.
Mengkhawatirkan: Seperempat Spesies Hewan Air Tawar Berada dalam Ancaman Kepunahan