- Memasuki musim kemarau, pemerintah mulai mengantisipasi risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pekan lalu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adakan pertemuan dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk siaga hadapi masa kemarau ini.
- Letjen TNI Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, Riau salah satu wilayah prioritas penanganan karhutla. Saat ini, Riau sudah menetapkan status siaga darurat bencana karhutla.BNPB pun akan menempatkan satu helikopter patroli dan tiga helikopter water bombing untuk operasi di Riau.
- Pemerintah meminta GAPKI mengkonsolidasikan anggotanya mengantisipasi karhutla. Terutama, pada daerah-daerah rawan karhutla seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Juga, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Papua.
- Kondisi gambut makin memprihatinkan. Data Pantau Gambut, dari 24,2 juta hektar luas kesatuan hidrologis gambut (KHG) di Indonesia, sekitar 16,4 juta hektar rentan kelas tinggi dan sedang. Wahyu Perdana, Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut mengatakan, 54% dari 3,8 juta hektar risiko karhutla dengan kerentanan tinggi. Seluas 2,5 juta hektar dari 3,8 juta hektar atau 65,9% berada di KHG. Kondisi ini, katanya, makin parah dengan kebijakan pemutihan sawit ilegal trermasuk di area gambut.
Memasuki musim kemarau, pemerintah mulai mengantisipasi risiko kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pekan lalu, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) adakan pertemuan dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk siaga hadapi masa kemarau ini.
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup mengatakan, musim kemarau berlangsung sejak pertengahan April ini. Kementerian pun mewaspadai kerentanan karhutla dalam empat bulan ke depan.
“Ini rawan. Jadi akhir April, Mei, Juni, Juli, Agustus. Jadi ada empat bulan yang rawan,” katanya saat rapat koordinasi teknis pengendalian karhutla dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan pemerintah daerah di Jakarta Pusat, 17 April lalu.
Dia bilang, KLH telah mendeteksi 142 titik panas yang memicu karhutla pada periode Januari hingga pertengahan April 2025. Data itu mereka dapat berdasarkan pantauan satelit pengamatan bumi, Terra Aqua Aura milik NASA. Jumlah hotspot ini menurun bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Berkurang hampir 80,22% jika dibandingkan dengan periode bulan atau jumlah harian, pada 2024. Tahun 2024 ini kita hotspot-nya sudah menurun tajam dibandingkan tahun 2023. Tahun 2025 ini lebih turun lagi.”
Meski masih alami penurunan, kata Hanif, tetap harus mengantisipasi karhutla. Sebab, dari pengamatan satelit NASA, menunjukkan, kerawanan karhutla di Indonesia berada di level tinggi.
Setidaknya, 97 kejadian karhutla sudah melanda berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah pada 2025.
“Dengan persiapan matang tentu akan mampu menekan laju dari kebakaran hutan maupun lahan. Kebakaran hutan dan lahan ini nilai emisinya cukup tinggi. Tahun 2015, 2019, dan 2017, emisi kita lumayan tinggi saat kebakaran hutan dan lahan,” katanya.
Letjen TNI Suharyanto, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, Riau salah satu wilayah prioritas penanganan karhutla. Saat ini, Riau sudah menetapkan status siaga darurat bencana karhutla.
BNPB pun akan menempatkan satu helikopter patroli dan tiga helikopter water bombing untuk operasi di Riau.
Selain apel kesiapsiagaan, rencananya operasi modifikasi cuaca (OMC) akan dilakukan untuk mengisi embung dan pembasahan pada lahan gambut.=
“Pertumbuhan awan hujan di Riau masih ada pada April, sehingga OMC masih dapat dilakukan,” katanya.
Dia bilang, dalam beberapa penanganan bencana OMC ini cukup efektif, seperti banjir di Jabodetabek awal Maret lalu.
BNPB bersama pemerintah daerah terdampak bahu membahu lakukan OMC baik dari dana BNPB atau pemerintah daerah.
“Seperti OMC sebelumnya, pemerintah daerah OMC pada siang hari, BNPB memberikan penguatan malam hari sesuai kebutuhan saat itu. Sehingga 24 jam daerah-daerah yang dikhawatirkan akan terlindungi,” kata Suharyanto.

Ingatkan perusahaan sawit
Hanif mengatakan, berdasarkan data Kementerian Pertanian, hingga 2023 luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16,8 juta hektar. Dari luasan itu, katanya, pada periode 2015-2024, seluas 42.000 hektar lahan di konsesi perkebunan sawit 79 perusahaan terbakar.
“Dengan luasan kebakaran lahan bervariasi dari puluhan hingga ribuan hektar secara kalkulasinya tentunya,” katanya.
KLH, katanya, menemukan kebakaran lahan secara berulang dalam konsesi perusahaan sawit. Untuk itu, KLH mengidentifikasi, pengusaha perkebunan sawit harus memaksimalkan upaya pencegahan karhutla.
Hanif pun meminta, Dewan Pimpinan Pusat GAPKI untuk mengkonsolidasikan anggotanya mengantisipasi karhutla. Terutama pada daerah-daerah rawan karhutla seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu. Juga, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi dan Papua.
“Di dalam mandat peraturan presiden terkait penanggulangan kebakaran lahan maka kepada kita semua, pemilik konsesi diminta serius bertanggung jawab terhadap area kerjanya,” katanya.
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menyebutkan, luas konsesi perkebunan sawit mencapai 20,9 juta hektar dan dan 3,8 juta hektar tumpang tindih dengan konsesi lain. Dari luasan itu, 92% lahan dikuasai perusahaan dan 8% oleh perkebunan sawit rakyat.
Luas pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit hingga 2023 sudah mencapai 6,1 juta hektar. Sementara, hanya 5,8 juta hektar izin perkebunan sawit mengantongi HGU.
Catatan FWI, luas HGU perkebunan sawit tahun 2024 mencapai 9,26 juta hektar, seluas 795.000 hektar berada di dalam kawasan hutan.
Dalam hal mitigasi karhutla, kata Hanif, KLH akan mengambil langkah konkret. Misal, mengecek langsung kesiapan sumber daya manusia, peralatan hingga pendanaan. Termasuk, kesiapan pelaku usaha perkebunan sawit. Apabila tak memenuhi permintaan itu, maka KLH akan memberikan sanksi.
“Kalau itunya sudah tidak lengkap kami juga akan menekankan sanksi. Karena ada kegunaan kami untuk menekan sanksi pada saat peralatan tidak lengkap, sumber daya tidak lengkap. Bahkan, sebelum kejadian. Kalau kejadian, memang terjadi skala luas ya kami mungkin akan sedikit. Tegas.”

Penegakan hukum
Hanif juga akan mengambil tindakan hukum kepada perusahaan atau pihak yang menyebabkan karhutla. Dia bilang, langkah hukum berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU PPPH) dan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
“Yang kita tarik (penegakan hukum) ke pidana dan perdata (denda).”
Dia bilang, hukuman bagi pihak yang menyebabkan karhutla sudah jelas dalam UU PPLH. Dalam Pasal 108 UU PPLH mengatur sanksi bagi pelaku pembakaran lahan, yaitu, pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda antara Rp3 miliar-Rp10 miliar.
“Di kehutanan juga kami kenakan. Di konsesi non kehutanan juga. Karena sekurang-kurangnya ada di UU 32 tahun 2009.”
Namun, katanya, denda dalam UU itu belum termasuk ganti rugi materil karena kerusakan ekosistem dan biaya pemulihan fungsi ekologis lahan yang terbakar.
Dia bilang, dari berbagai peristiwa, KLHK akan terus mengejar ganti rugi itu kepada perusahaan penyebab karhutla dan kerusakan hutan.
“Jadi, belum semua juga kami kenakan. Jangan berarti santai-santai. Karhutla biar sudah padam itu ada forensiknya yang tidak bisa ditinggal. Jadi itu sudah kelihatan.”
Saat ini, tagihan KLH kepada perusahaan penyebab kerusakan hutan mencapai triliunan. Jumlah ini merupakan kalkulasi dari berbagai peristiwa kerusakan hutan, baik karena karhutla atau kejahatan lingkungan lain. Salah satunya, PT Merbau Pelalawan Lestari (MPL) kena denda Rp16,2 triliun atas kasus pembalakan kayu hutan secara liar di Riau.
“MPL itu dendanya sudah inkrah Rp16 triliun. Tapi asetnya tidak sesuai dan mempailitkan diri. Saya sedang diskusi dengan Jaksa Agung gimana caranya,” ucap Hanif.
Mempailitkan diri, menjadi dalih perusahaan penyebab karhutla dan perusak hutan untuk lepas tanggung jawab dari denda dan ganti rugi. Catatan Mongabay, PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK) juga melakukan hal serupa.
Perusahaan perkebunan sawit ini wajib membayar denda kepada negara untuk biaya pemulihan fungsi ekologis Rp191, 803 miliar atas kebakaran hutan dan lahan seluas 591 hektar pada 2015 di Desa Puding, Kecamatan Kumpeh, Muaro Jambi, Jambi. Namun, Pengadilan Negeri Niaga Medan memutuskan pailit pada RKK.
Dia menegaskan, penegakan hukum bagi perusak lingkungan sangat penting. Dia juga minta pemerintah daerah aktif pengawasan dan penindakan.

Perhatikan ekosistem gambut
Lahan gambut rusak rawan alami karhutla saat kemarau. Ketika terjaga, gambut berperan penting mencegah karhutla karena kemampuan menyerap air yang tinggi dan berfungsi sebagai penahan air. Gambut juga dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan menjaga keseimbangan iklim global.
Sayangnya, kondisi gambut makin memprihatinkan. Data Pantau Gambut, dari 24,2 juta hektar luas kesatuan hidrologis gambut (KHG) di Indonesia, sekitar 16,4 juta hektar rentan kelas tinggi dan sedang.
Wahyu Perdana, Manager Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut mengatakan, 54% dari 3,8 juta hektar risiko karhutla dengan kerentanan tinggi. Seluas 2,5 juta hektar dari 3,8 juta hektar atau 65,9% berada di KHG.
Kondisi ini, katanya, makin parah dengan kebijakan pemutihan sawit ilegal trermasuk di area gambut.
“Akan semakin memperparah kebakaran hutan dan lahan beserta dampak ekologis yang menyertainya,” katanya.
Pantau Gambut mengidentifikasi, dari 3,3 juta hektar perkebunan sawit yang akan pemerintah putihkan, 407.267,537 hektar di KHG. Sebanyak 72%, perkebunan sawit dalam KHG yang akan diputihkan dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang dan 27% kategori rentan tingkat tinggi.
“Sebanyak 91,64% , pemegang izin konsesi yang wajib menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla di kawasannya tidak ditemukan titik implementasi restorasi,” kata Wahyu.
Dia bilang, ada hal penting pemerintah bisa lakukan untuk melindungi ekosistem lahan gambut, yakni, mengembalikan penegakan hukum di lahan gambut.
Bagi perusahaan yang mendirikan bangunan atau perkebunan sawit di lahan gambut makin longgar, lantaran ada UU Cipta Kerja yang memudahkan investasi.
“Perusahaan-perusahaan sawit itu aja sudah double melakukan pelanggaran. Satu, berada di kawasan hutan, yang kedua di atas kesatuan hidrologis gambut. Dan belum lagi kesatuan kawasan hutan, saya kira itu jadi penting (untuk penegakkan hukum),” jelas Wahyu.
Kemudian, katanya, pemerintah seharusnya melihat KHG sebagai pertanggung -jawaban mutlak untuk menjaga ekosistem.
Selanjutnya, kata Wahyu, pemerintah harus tegas untuk evaluasi pada konsesi terbakar dan terhadap regulasi yang justru memotong perlindungan ekosistem gambut.

********
Perusahaan Sawit Kena Denda Rp42 Miliar, Sarana Cegah Karhutla Tak Memadai