Organisasi Masyarakat Sipil Gugat Izin Reklamasi Manado Utara

2 days ago 7
  • Pemerintah terkesan serampangan memberikan izin reklamasi di pesisir Manado Utara. Walhi dan Kiara pun melalui Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (Tapak) merespons dengan menggugat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang pemerintah pusat terbitkan, 15 November 2024 ke PTUN  Jakarta.
  • Judianto Simanjuntak, Kuasa hukum Tapak, bilang, dari sisi peraturan, PKKPRL reklamasi Manado Utara masih gunakan UU 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.
  • Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara, mengatakan, minimnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan membuat mereka menilai PKKPRL sekadar praktik jadikan ruang laut dan pesisir objek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
  • Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Manado telah menangkan sengketa keterbukaan informasi di PTUN Manado. Kemenangan itu, disebut menunjukkan tidak transparannya perizinan reklamasi di Manado Utara.

Pemerintah terkesan serampangan memberikan izin reklamasi di pesisir Manado Utara. Walhi dan Kiara pun melalui Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (Tapak) merespons dengan menggugat Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang pemerintah pusat terbitkan, 15 November 2024 ke PTUN  Jakarta.

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)-LBH Manado juga melakukan gugatan soal  sengketa keterbukaan informasi di PTUN Manado dan menang.

Soal persetujuan pemanfaatan ruang laut, Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Investasi terbitkan PKKPRL melalui sistem Online Single Submission (OSS), 17 Juni 2024. Mereka memperbolehkan PT Manado Utara Perkasa (MUP) membangun pusat bisnis dan pariwisata di area  90 hektar. 

Lokasi reklamasi mencakup lima kelurahan di Kecamatan Tuminting, yakni Sindulang Satu, Sindulang Dua, Bitung Karang Ria, Maasing dan Tumumpa Dua. Di kawasan ini terdapat 469 rumah tangga perikanan (RTP) dan 29 kelompok nelayan.  

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Walhi, pengusung gugatan, menilai, pemerintah terbitkan PKKPRL tanpa pertimbangkan sejumlah aspek, mulai dari regulasi, sosial, hingga lingkungan. 

Judianto Simanjuntak, Kuasa Hukum Tapak bilang, dari sisi peraturan, PKKPRL reklamasi Manado Utara masih gunakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, yang Mahkamah Konstitusi nyatakan cacat formil dan inkonstitusional bersyarat.

Selain itu, penetapan wilayah Manado Utara sebagai area reklamasi bertentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kota Manado Nomor 1/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Manado 2014-2034.

Pasal 36 ayat 3 Perda RTRW Kota Manado, katanya, menjabarkan sejumlah kawasan rawan banjir, termasuk kawasan Tumumpa di Kecamatan Tuminting dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano yang melintasi Kecamatan Tuminting. Dia khawatir, reklamasi justru meningkatkan risiko bencana di kawasan itu. 

“Tidak ada kehati-hatian dari tergugat dalam menerbitkan objek sengketa. Di daerah rawan banjir, berbahaya kalau itu direklamasi,” katanya pada Mongabay, selepas sidang di PTUN Jakarta, 18 Maret 2025.

PKKPRL reklamasi Manado Utara juga tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perda Sulawesi Utara Nomor 1/2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Pasal 22 menyebut, reklamasi di pesisir hanya boleh apabila manfaat sosial dan ekonomi lebih besar dari biaya sosial dan ekonominya. Serta, tidak berdampak kerusakan lingkungan di sekitarnya.

Namun, riset Manado Scientific Exploration Team (MSET), Juni 2024, menemukan  koloni karang hidup di lokasi rencana reklamasi. Koloni karang itu mereka saksikan di sekitar dermaga Tumumpa, pada kedalaman 1 meter saat surut terendah.

Temuan MSET, katanya, turut menunjukkan pemerintah tidak perhatikan UU 27 /2007 tentang Pengelolaan WP3K. Pasal 35 huruf c dan d UU itu menyatakan pemanfaatan WP3K secara langsung atau tidak langsung tidak boleh menggunakan bahan dan peralatan yang merusak ekosistem terumbu karang.

“Itulah buktinya di sana ada terumbu karang yang harus dilindungi. Kalau dilakukan verifikasi lapangan yang objektif, tidak mungkin objek sengketa itu diterbitkan.”

Secara sosial, kajian Perkumpulan Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam (Kelola), organisasi yang aktif mengadvokasi masyarakat pesisir dan nelayan tradisional di Sulawesi Utara, menyebut, reklamasi berisiko menjauhkan hubungan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional dengan laut.

Buktinya, sejak awal dekade 2000-an, pembangunan Jalan Boulevard II memisahkan pemukiman masyarakat dengan pantai. Mereka khawatir, PKKPRL yang pemerintah pusat terbitkan makin mengebiri masyarakat pesisir dan sumber kehidupan yang sedang mereka kembangkan.

“Kehilangan ini akan bersifat permanen,” papar mereka dalam laporan.

Mongabay berupaya konfirmasi selepas sidang di PTUN Jakarta, namun kuasa hukum pemerintah menolak wawancara.

Meski demikian, KKP sempat menyatakan perizinan itu telah memenuhi syarat. Dalam mengeluarkan izin, mereka mengaku sudah  kajian berbagai aspek, mulai dari regulasi penerbitan izin, dokumen pendukung maupun ekologi.

Aksi Tolak Reklamasi Manado Utara. Foto: Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara

Lanjutkan privatisasi 

PKKPRL merupakan dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana  pemanfaatan ruang laut dengan Rencana Tata Ruang (RTR) dan atau Rencana Zonasi (RZ). Persetujuan itu merupakan syarat dasar untuk memenuhi perizinan berusaha dan penerbitan perizinan non usaha. 

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Kiara, mengatakan, minimnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan membuat mereka menilai PKKPRL sekadar praktik jadikan ruang laut dan pesisir obyek penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Persetujuan itu, katanya, ‘menu terbuka’ bagi investasi, sesuai penetapan peruntukan ruang pemanfaatan. “Seperti datang ke rumah makan, buka menu, lihat peruntukan ruang, kemudian PKKPRL keluar. KKP tidak pernah paham area pesisir bukan ruang hampa,” katanya, Selasa (15/4/25).

Selain itu, PKKPRL adalah bentuk baru kebijakan privatisasi wilayah pesisir, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) batalkan hak pengusahaan perairan pesisir (HP3), tahun 2010, melalui putusan 3/PUU-VIII/ 2010.

Kala itu, MK nyatakan HP3 tidak sesuai  konstitusi, karena memberikan hak privatisasi wilayah pesisir pada perorangan maupun badan hukum, mengancam hak masyarakat adat dan nelayan tradisional. Juga,  melanggar demokrasi ekonomi yang berdasar pada prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan.

Kini, setelah mengubah hak jadi izin, pemerintah tetap legitimasi privatisasi wilayah pesisir melalui persetujuan KKPRL, yang bertentangan dengan substansi putusan MK. “Negara tidak punya wewenang absolut privatisasi ruang untuk investasi. Prinsipnya, putusan MK itu sudah dilanggar.” 

Susan bilang, pemerintah sebenarnya punya kewenangan menolak permohonan yang tidak sejalan dengan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Kesulitan hidup masyarakat pesisir, akses melaut nelayan tradisional, ekosistem terumbu karang dan risiko bencana banjir, cukup untuk jadi dasar penolakan PKKPRL di Manado Utara.

“Gugatan ini sangat penting bagi kami, karena itu jadi bentuk protes, bagaimana KKP keluarkan PKKPRL hanya berdasar PNBP tanpa pertimbangkan relasi manusia dengan tanah dan lautnya.”

Koloni karang di sekitar dermaga Tumumpa Foto: Manado Scientific Exploration Team

Tak transparan

Mengenai gugatan  YLBHI-LBH Manado, sebelumnya, dan mereka menang, menunjukkan tidak transparannya perizinan reklamasi di Manado Utara.

Henly Rahman, devisi advokasi LBH Manado, menceritakan, permohonan sengketa bermula ketika Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) terbitkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH) dan izin lingkungan, Desember 2020.

Dua dokumen perizinan itu terkait dengan pembangunan kawasan pusat bisnis dan pariwisata Boulevard II di Manado Utara, serta jadi dasar Menteri KKP keluarkan PKKPRL. Namun, ketika LBH Manado ajukan permohonan informasi, DPMPTSP enggan memberi dokumen lingkungan yang diminta.

“Alasannya bukan dokumen publik,” katanya  ketika dihubungi Mongabay, Selasa (15/4/25). 

Padahal, Undang-undang 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), menyatakan perizinan harus terbuka bagi masyarakat. Penolakan DPMPTSP kemudian mendorong LBH Manado ajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Sulawesi Utara.

Komisi Informasi Sulawesi Utara memenangkan sengketa itu dan mewajibkan DPMPTSP  berikan informasi izin lingkungan kepada termohon, 4 September 2024. Tidak terima, DPMPTSP ajukan keberatan ke PTUN Manado.

Hasilnya, PTUN Manado turut menguatkan putusan Komisi Informasi Sulawesi Utara dan menyatakan izin lingkungan sebagai informasi publik. “Setelah putusan itu, mereka (DPMPTSP) berikan ke kami hanya SKKLH. Karena mereka sampaikan, yang mereka miliki hanya dokumen itu,” ujar Henly.

Sengketa informasi ini menunjukkan pemerintah tidak transparan dalam menyelenggarakan pembangunan di wilayah pesisir Manado Utara. Juga, seolah menghalangi hak warga mengakses informasi tentang pembangunan yang berdampak pada lingkungan hidupnya.

“Kalau itu informasi publik harusnya langsung diberikan. Ini kami upaya hukum dulu, keberatan dulu, baru diberikan.”

Setelah memenangkan sengketa informasi, LBH Manado akan lanjutkan proses hukum dengan menggugat SKKLH. Karena, proses penerbitan perizinan itu tidak libatkan partisipasi publik yang bermakna, melanggar hak asasi manusia, dan berpotensi merusak lingkungan hidup.

“Rencananya, 90 hari sejak perhitungan kasuistik, paling lambat Mei, kami ajukan gugatan ke PTUN Manado. Harapannya, SKKLH itu dibatalkan, karena pertimbangan-pertimbangan tadi.”

Aksi Tolak Reklamasi Manado Utara. Foto:Asosiasi Nelayan Tradisional Sulawesi Utara

*****

Krisis Renegerasi Pasca Reklamasi, Nasib Nelayan Teluk Manado Kini [1]

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|