Tarif Trump, Ekspor Perikanan Indonesia Bakal Suram?

1 day ago 8
  • Indonesia sedang dibuat pusing oleh kebijakan tarif yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kebijakan tersebut berdampak signifikan ke semua sektor di Indonesia, termasuk kelautan dan perikanan
  • Ekspor produk perikanan ke Amerika Serikat didominasi  udang dengan nilai US$1,08 miliar,  rajungan-kepiting dan lobster US$362 juta, serta tuna-cakalang-tongkol US$254 juta. 
  • Saat ini, negosiasi masih terus dilakukan Pemerintah Indonesia kepada Pemerintah AS. Diharapkan, tarif yang diberlakukan 32 persen untuk Indonesia, bisa turun hingga serendah-rendahnya
  • Salah satu solusi agar Indonesia tidak lagi bergantung kepada pasar AS untuk pemasaran produk kelautan dan perikanan, maka diversifikasi pasar ekspor harus segera dimulai. Ada banyak negara potensial yang bisa dijadikan tujuan ekspor baru

Kelautan dan perikanan bakal jadi salah satu sektor paling terdampak kebijakan tarif resiprokal 32% oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Maklum, Amerika Serikat salah satu  pasar ekspor terbesar produk perikanan asal Indonesia. 

Indonesia, bahkan disebut sebagai pemasok terbesar keempat produk perikanan ke Amerika Serikat.

“Hanya kalah dari Kanada, Chile dan India,” kata Doni Ismanto Darwin, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan kepada Mongabay, baru-baru ini. 

Ekspor produk perikanan ke Amerika Serikat didominasi  udang dengan nilai US$1,08 miliar,  rajungan-kepiting dan lobster US$362 juta, serta tuna-cakalang-tongkol US$254 juta. 

Kebijakan tarif Amerika Serikat, katanya, bisa jadi ancaman masa depan ekspor produk perikanan Indonesia. Ia sekaligus menjadi tantangan bagi Indonesia dalam  menjaga stabilitas perdagangan ekspor dan mempertahankan produktivitas perikanan dalam negeri.

Saat ini, pemerintah menyiapkan pasar aleternatif guna menutup lubang akibat pelemahan pasar ekspor AS. Seperti Jepang, Tiongkok, Eropa, hingga Timur Tengah memang potensial. “Tentu saja, itu bisa dilakukan dengan penguatan kualitas mutu dan ketertelusuran hasil perikanan,” katanya.

Uni Eropa (UE), kata Doni, memiliki peluang pasar besar merujuk kontribusi selama ini. Catatannya, kontribusi impor UE untuk produk perikanan global, terutama tuna, misal, capai 32,2%. Belum lagi udang dan produk turunan  sebesar 23,5%.

Dia pun mendorong, perjanjian dagang Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dengan UE segera tuntas. “Kalau itu bisa segera diselesaikan, itu bisa menjadi terobosan strategis bagi Indonesia.” 

Dua buruh angkut memikul hasil tangkapan ikan tuna di Pelabuhan tradisional di Kedonganan, Badung, Bali. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Selain UE, pasar potensial lain untuk mengganti market AS yang tergerus kebijakan AS adalah kelompok negara-negara BRICS. Meliputi Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan dan  negara-negara Teluk. Tantangannya, kata Doni, memastikan sistem jaminan mutu hasil perikanan terjaga dengan baik. 

“Upaya perbaikan ini akan menambah Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang menjadi gerbang keluar ekspor.”

Pasar dalam negeri juga tidak bisa diabaikan dalam mendorong agar sektor perikanan tetap produktif. Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia adalah pasar potensial, termasuk untuk produk perikanan. Langkah itu bisa kampanye peningkatan asupan protein dengan mengonsumsi ikan. 

Ringkasnya, kata Doni, jika saja separuh dari populasi Indonesia bisa mengonsumsi ikan dengan mengikuti standar Organisasi Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO) sebanyak 100 gram per hari, itu akan membantu sektor kelautan dan perikanan tetap produktif. “Ini adalah peluang nyata, bukan sekedar potensi.”

Untuk itu, agar pasar dalam negeri terus berkembang dan menyerap semua produk kelautan dan perikanan, KKP terus menata sebaik mungkin. Juga, mengidentifikasi kebutuhan apa yang tepat dan sesuai dengan masyarakat lokal.

Saat ini, banyak pihak berharap  sektor kelautan dan perikanan tidak terpuruk karena kebijakan tarif Trump. Sebaliknya, bisa lebih berkembang dengan membaca celah pasar. Tentu, hal itu bisa terwujud dengan pelibatan para pihak, seperti nelayan, pembudidaya, pelaku usaha, pemerintah, akademisi, dan konsumen.

Proses bongkar muataan tuna dari kapal pengangkut di Pelabuhan Benoa, Bali.  Foto: A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Perkuat mutu

Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), mengatakan, selama ini, Indonesia terbuai dengan tarif ekspor rendah ke AS. Situasi itu menjadikan Indonesia ‘lupa’ untuk menggali ceruk pasar baru di luar negeri Paman Sam. “Bahkan, Indonesia menikmati tarif hingga nol persen pada produk tuna hidup, beku, dan fillet,” katanya.

Ssejatinya, UE merupakan pasar potensial untuk komoditas sejenis tetapi tarif  lebih tinggi, kisaran 16-20%.  UE juga menerapkan standar lebih ketat ketimbang Amerika Serikat, terutama terkait  mutu dan  ketelusuran produk. 

Untuk produk tuna, misal, UE menerapkan persyaratkan produk tersertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) agar  bisa masuk, sementara, AS tidak. Tidak mengherankan kalau Indonesia selalu menjadikan AS sebagai pasar utama dan pertama dalam memasarkan produk tuna. 

Catatan KNTI, pada  2023, total produksi tuna-cakalang-tongkol (TCT) Indonesia mencapai 1,57 juta ton, dengan dominasi produksi pada tongkol. Proporsi ekspor pada  2023 mencapai 13%, didominasi TCT beku. Sisanya (87%) terserap dalam negeri dan diolah menjadi produk turunan atau konsumsi langsung. Selain AS yang berkontribusi 22%, negara-negara tujuan ekspor TCT Indonesia antara lain, ASEAN (19,6%), Jepang (18,90%), Timur Tengah (13,80%), dan juga UE (10,90%). 

Di AS, produk perikanan Indonesia banyak dalam bentuk segar atau beku. Karena itu, kata Dani, sangat penting melakukan pengembangan diversifikasi produk untuk memperluas jangkauan pasar. “Agar bisa menghasilkan nilai tambah yang lebih besar dan menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas.”

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

Perluas pasar baru

Nimmi Zulbainarni, pengajar Sekolah Bisnis IPB University merekomendasikan pemerintah memperluas jangkauan pasar ekspor untuk merespons kebijakan tarif AS. Terutama ke Timur Tengah dan Eropa Timur.

Timur Tengah, katanya, memiliki peluang besar sebagai pasar baru, karena permintaan seafood tinggi dan preferensi pada produk halal. Eropa Timur mulai terbuka terhadap pasokan Indonesia karena terganggunya rantai suplai dari China dan Vietnam, terutama untuk produk tuna dan udang. 

“Ini perlu dukungan diplomasi yang kuat, juga, harmonisasi sertifikasi, perluasan peran Indonesian Trade Promotion Center atau ITPC, dan optimalisasi peran diaspora untuk penetrasi pasar baru,” katanya.

Pemerintah perlu meningkatkan daya saing, digitalisasi, dan sertifikasi. Upaya ini, katanya,  penting lantaran selama ini produk perikanan Indonesia menghadapi tantangan daya saing karena  biaya logistik laut yang 25–30% lebih mahal dibanding negara kompetitor seperti Vietnam.

Proses sertifikasi lamban, adopsi digitalisasi di kalangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)  masih rendah juga perlu solusi. Pemerintah perlu memperkuat rantai dingin (cold chain) berbasis koperasi, digitalisasi dokumen ekspor seperti e-COO (e-Certificate of Origin), serta percepatan program sertifikasi nasional yang terintegrasi. 

Nimmi juga soroti regulasi domestik yang tidak relevan. Sebut saja, kewajiban sertifikat karantina untuk pengiriman ikan beku antar pulau yang justru menghambat distribusi dalam negeri. 

“Penyederhanaan aturan seperti ini penting untuk mempercepat arus barang dan menurunkan biaya transaksi, karena banyaknya aturan dan pungutan yang bisa mencapai 20-30 persen dari ongkos produksi.” 

Dia  menambahkan, wacana hilirisasi produk perikanan harus fokus pada lima komoditas strategis, sekaligus melaksanakan reformasi di hulu. Sebab, lebih dari 70%  ekspor perikanan ke AS masih produk mentah atau beku. “Itu berbeda dengan Vietnam yang unggul dalam produk olahan bernilai tinggi.”

Dia meyakini, komoditas seperti udang, tuna, bandeng, kerapu, dan rumput laut memiliki potensi besar untuk proses melalui hilirisasi dan sekaligus menjadi produk siap konsumsi. Beberapa lokasi potensial untuk implementasi hilirisasi ini seperti Bitung (Sulawesi Utara) dan Banyuwangi (Jawa Timur). 

Nimmi bilang, kedua daerah itu  bisa menjalankan hilirisasi dengan menerapkan model kolaborasi triple helix. Sebuah model yang g menekankan kerja sama antara tiga pihak utama, yaitu pemerintah, industri, dan akademisi.  

Selain hilirisasi, reformasi kebijakan fiskal juga mendesak, terutama peninjauan kembali terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP), serta pajak-pajak lain yang membebani pelaku usaha, nelayan, dan pembudidaya. Kebijakan ini, katanya, harus benar-benar terarah untuk mendukung kelangsungan usaha lokal, mencegah pemutusan hubungan kerja, dan mendorong kemandirian sektor kelautan dan perikanan nasional secara berkelanjutan.

Waspada eksploitasi meningkat

Parid Ridwanuddin, peneliti kelautan Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, kebijakan tarif Trump bakal  berdampak terhadap industri perikanan. Dia berharap, situasi ini tidak jadi alasan untuk lebih eksploitatif demi menambal devisa yang berisiko hilang imbas kebijakan Trump. Terlebih, selama ini, industri perikanan Indonesia sudah cukup bermasalah, mulai dari kesejahteraan nelayan, penangkapan berlebih (overfishing), hingga penangkapan ikan ilegal (illegal fishing).

“Ini jadi momentum untuk perbaikan tata kelola. Karena selama ini, sekalipun ekspor kita meningkat, situasi itu tidak diikuti dengan meningkatnya kesehateranaan di tingkat bawah, dalam hal ini nelayan,” jelas Parid.

Untuk itu, selain memperluas pasar ekspor, pemerintah juga perlu memastikan industri ini tidak berdampak terhadap eksosistem laut secara umum.

Dengan kata lain, Parid mengingatkan, pemerintah  tidak sekadar mengejar pasar baru untuk merespons kebijakan tarif AS. Lebih dari itu, juga memastikan, rantai pasok industri ini berjalan dengan standar lingkungan yang ketat. Misal, penangkapan tidak  dengan cara merusak, dan ikan-ikan tangkapan  memasuki usia panen.

Jadi, kata nya, selain melihat keluar, secara internal, pemerintah juga perlu membenahi tata kelola industri ini.

“Karena kelemahan kita selama ini itu. Jangan sampai, hanya untuk memenuhi ambisi ekspor, tuna, lobster yang belum cukup umur kemudian ditangkap, yang akhirnya ini juga mengganggu stoknya di alam.”

*****

Indonesia Minta Jepang Bebaskan Bea Ekspor Masuk Produk Perikanan dan Kelautan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|