- Pulau Lanjukang, Kota Makassar, menjadi salah satu kawasan konservasi penyu yang dikelola masyarakat. Masyarakat menjaga dan memelihara tukik hingga siap rilis ke laut, menjadi salah satu objek wisata, memberi tambahan penghasilan bagi warga.
- Tantangan konservasi penyu adalah masih adanya penangkapan penyu yang disinyialir dilakukan oleh nelayan dari luar, ditemukan cangkang penyu yang disembunyikan di sela tanaman di pulau.
- Nelayan Pulau Lanjukang dan Langkai melakukan penangkapan gurita setelah 3 bulan ditutup. Setelah kurang lebih 1,5 jam melaut, 24 nelayan berhasil menangkap total 52 ekor dengan berat 54 kg. Rata-rata gurita yang didapatkan sebesar 1,04 kg. Gurita dengan grade A atau di atas 2 kg juga didapatkan nelayan sebanyak 5 ekor, di mana sebelumnya sulit didapatkan.
- Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia, menyampaikan di tengah masih lemahnya pengakuan hak tenurial masyarakat lokal di wilayah pesisir, masyarakat Pulau Lanjukang dan Langkai menunjukkan inisiatif luar biasa melalui Forum Pasibuntuluki. Melalui pendekatan konservasi berbasis komunitas, forum ini memperjuangkan hak atas ruang hidup dan wilayah kelola laut yang berkelanjutan.
Pulau Lanjukang agak mendung, pagi itu. Puluhan orang berkumpul di tanah kosong sekitar vila wisata. Warga sedang ‘berpesta’ sederhana merayakan pembukaan kawasan tangkap gurita yang telah tutup sejak tiga bulan lalu. Sekitar 24 nelayan dari Pulau Lanjukang dan Langkai berlomba-lomba menangkap gurita dengan perahu sederhana mereka.
Pulau Lanjukang, adalah pulau kecil di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan populasi 80 jiwa dari sekitar 30 keluarga. Mereka hidup sebagai nelayan juga dari sektor pariwisata. Lanjukang memiliki laut bersih dan alami dengan mercusuar di tengahnya. Sekeliling pulau juga banyak lubang penyu bertelur.
Pulau Lanjukang, menjadi salah satu pulau konservasi penyu kelolaan masyarakat. Mereka membentuk Kelompok Konservasi Lanjukang (Kompak), beranggotakan belasan anak muda. Anas sebagai ketuanya.
“Mungkin sudah ada ribuan tukik dilepas dalam tiga tahun terakhir. Tahun ini kami menemukan 10 lubang. Ada dua jenis penyu yang sering bertelur di sini, yaitu penyu hijau dan penyu sisik,” katanya, Rabu (16/4/25).
Lubang tempat penyu bertelur berpagar seng dan jaring untuk melindunginya dari predator. Siapa yang menemukan lubang maka dialah yang menjadi pemilik. Tukik kemudian warga penemu pelihara. Mereka akan merilis ke alam setelah usia sekitar tiga bulan. Atau menawarkan ke wisatawan untuk melepas dan menjadi sumber penghasilan tambahan bagi mereka.
Meskipun relatif terjaga, konservasi penyu di Pulau Lanjukang bukan tanpa tantangan. Terkadang masih ditemukan nelayan yang menangkap penyu dewasa untuk ambil daging dan cangkang secara sembunyi-sembunyi.
“Beberapa hari lalu kami temukan cangkang penyu disembunyikan di sela-sela tanaman, itu sepertinya sudah digarami untuk diawetkan. Belum tahu siapa pelakunya.”
Menurut Anas, pelaku biasa beraksi malam hari hingga susah terdeteksi. Tidak hanya menangkap penyu, mereka juga kerap menangkap gurita dan ikan di wilayah yang telah disepakati untuk tutup sementara. Mereka juga tak punya kapal yang memadai untuk mengawasi dan mengejar pelaku.
Daeng Jala, tokoh masyarakat juga Ketua II Forum Pengelola Sistem Buka dan Tutup Pulau Lanjukang dan Langkai (Forum Pasibuntuluki) benarkan tantangan pengawasan ini. Tidak hanya untuk konservasi penyu juga area buka tutup yang sedang mereka jaga. Apalagi, dengan tiga lokasi kelola, mereka harus ketat mengawasinya.
“Untuk pengawasan ini, terutama dari nelayan dari luar, kami mohon dibantu sosialisasikan,” katanya.

Bobot meningkat
Hari itu istimewa. Wilayah tangkap gurita yang selama tiga bulan tutup akhirnya dibuka.
Berbagai kalangan menyaksikan rangkaian pembukaan ini. Mulai dari perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan, Dinas Perikanan dan Pertanian Kota Makassar, pemerintah kecamatan, penyuluh perikanan, aparat penegak hukum (Bhabinkamtibmas dan Babinsa), akademisi ITBM Balik Diwa, lembaga swadaya masyarakat dan media dan warga.
Semangat para nelayan makin terasa dengan ada lomba tangkap gurita, yang Forum Pasibuntuluki adakan dengan dukungan Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dan Turning Tides.
Setelah kurang lebih 1,5 jam melaut, 24 nelayan berhasil menangkap 52 gurita seberat 54 kilogram. Rata-rata gurita 1,04 kilogram. Ada juga nelayan yang mendapat lima gurita grade A (berat lebih dua kilogram) yang sebelumnya sulit ditemukan.
“Hasil ini sebagai yang terbaik dari enam periode buka tutup yang telah dilakukan,” ujar Erwin RH, Ketua Forum Pasibuntuluki.
hHsil ini, katanya, menunjukkan inisiatif masyarakat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dan meningkatkan perekonomian. Untuk itu, dia berharap para pihak terus mengawal penguatan hak kelola mereka.

A. Muhammad Ishak Yusma, Plt, Kepala Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Makassar, siap mengawal pengakuan dan perlindungan hak kelola masyarakat di Pulau Langkai dan Lanjukang.
“Kami dari kementerian bersama dengan pemerintah provinsi, hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan siap mengawal program buka tutup. Ini akan masuk dan diakui dalam rencana pengelolaan kawasan konservasi,” katanya.
Apa yang masyarakat lakukan dapat menjadi contoh dan roles model di berbagai daerah lain. “Ini harusnya dapat diadaptasi atau menjadi contoh pengelolaan untuk daerah lain, khususnya pada penangkapan gurita.”
Ishak mengapresiasi usaha para nelayan yang konsisten menjaga hasil tangkapan secara berkelanjutan. Menurut dia, sistem buka tutup penangkapan gurita itu menyasar tiga aspek penting sekaligus, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial.
“Dengan adanya buka tutup ini maka terumbu karang menjadi lebih baik. Selain itu juga memberikan kesempatan bagi gurita untuk berkembang serta mempertahankan keanekaragaman sumber hayati.”
Asniwati, penyuluh perikanan Kota Makassar, mengatakan, ada keuntungan ekonomi setelah nelayan menerapkan buka tutup area tangkap gurita.
“Berdasarkan data produksi sebelum adanya sistem buka tutup, hanya 1 kilogram sekali menangkap, itu pun untuk grade A sangat jarang. Setelah diterapkan buka tutup, terjadi peningkatan. Ini harusnya dijadikan motivasi, ekonomi otomatis meningkat.”

Hak kelola masyarakat
Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif YKL Indonesia, menyampaikan di tengah lemahnya pengakuan hak tenurial masyarakat di wilayah pesisir, masyarakat Pulau Lanjukang dan Langkai melalui Forum Pasibuntuluki tunjukkan bahwa mereka bisa. Melalui pendekatan konservasi berbasis komunitas, forum ini memperjuangkan hak atas ruang hidup dan wilayah kelola laut berkelanjutan.
“Tanpa pengakuan hukum atas wilayah tangkap dan hak kelola, masyarakat tidak memiliki dasar kuat untuk melindungi wilayah hidup mereka dari aktivitas penangkapan ilegal dan destruktif yang dilakukan nelayan dari luar pulau. Di sinilah pentingnya hak tenurial yang mencakup hak akses, manfaat, kontrol, penegakan, hingga transformasi wilayah sebagai dasar pengakuan dan perlindungan,” kata Nirwan.
Sebagai langkah strategis, para pihak merekomendasikan penggunaan jalur integrasi Kawasan Konservasi Daerah (KKD) sebagai bentuk legalisasi dan ruang advokasi kebijakan untuk pengakuan hak kelola masyarakat. Berdasarkan Perda No. 3/2022 tentang RTRW Sulsel, wilayah pencadangan KKD Pulau Lanjukang seluas 1.654,38 hektar.
Saat ini, Forum Pasibuntuluki menyepakati luasan area buka tutup mencapai 400 hektar mencakup tiga lokasi. Area itu akan mereka coba integrasikan dalam aturan itu. “Forum Pasibuntuluki resmi terlibat dalam pokja penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi KKD Lanjukang. Ini penting untuk memperkuat legitimasi hak kelola masyarakat secara hukum,” katanya.
*****
Program Buka Tutup, Sukses Tingkatkan Hasil Tangkapan Gurita di Makassar