- Marak pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), membuat Sungai Lalindu tidak lagi sama. Hujan sebentar memicu banjir hingga berminggu-minggu, membawa endapan lumpur merah dari pertambangan yang terletak di hulu sungai.
- Sungai Lalindu lebar dan dalam, Ia sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo yang ekosistem hulunya berada di Kecamatan Routa, wilayah paling terpencil di Sultra, serta berbatasan dengan Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Selatan (Sulsel). DAS ini rusak karena tambang nikel.
- Baco Sudia, Pakar DAS Universitas Halu Oleo, menduga, kegiatan pertambangan nikel yang masif area tangkapan air di Routa berkontribusi pada peningkatan sedimentasi dan kekeruhan di DAS Lasolo. Pembukaan lahan dan penambangan menyebabkan erosi. Air hujan membawa tanah dari erosi dan mengendap di sungai, mengeruhkan air.
- Samir, Ketua Komisi III DPRD Konut, heran akan tidak surutnya banjir yang membawa material lumpur cokelat yang memutus akses trans Sulawesi di Konut. “Kalau dulu, hujan satu bulan baru bisa banjir. Tapi sekarang, sebaliknya,” ucapnya. Dia menuding PT SCM dengan luasan IUP terbesar yang beroperasi di area hulu sungai paling berkontribusi mencemari DAS Lasolo.
Marak pertambangan nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), membuat Sungai Lalindu, tidak lagi sama. Hujan sebentar memicu banjir hingga berminggu-minggu, membawa endapan lumpur merah dari pertambangan yang terletak di hulu sungai.
Murniati, perempuan tani, bahkan nyaris jatuh terjerembap saat beraktivitas di kebunnya, di Desa Lamonae Utama. Sepatu boot karet perempuan 54 tahun itu tertanam hingga 5 cm di lumpur limbah galian nikel yang terbawa luapan Sungai Lalindu, berjarak 10 meter dari kebunnya, akhir Maret 2025.
Dia bergegas memetik cabai dan memasukkan ke dalam ember. Tanaman ini jadi satu-satunya yang selamat dari banjir, meskipun batang mengkerut layu. Di sebagian tanah lebih rendah, banjir setinggi betis merendam kebun seluas satu hektar itu. Genangan air cokelat ini membuat terong dan pepaya busuk di pohonnya. Tanaman palawija pun rusak.
Dia bingung air tidak kunjung surut. Padahal, hujan deras yang membuat Lalindu meluap, terjadi sebulan sebelumnya. Dia pun tidak mengerti kenapa banjir membawa kiriman material lumpur cokelat kemerahan dan merendam wilayah Konawe Utara.
Ingatannya masih terang akan jernihnya Lalindu sebelum 2019. Siklus banjir memang terjadi setiap lima tahun, tapi luapan air kala itu membawa lumpur yang mendukung pertumbuhan tanaman. Periode itu, Murniati bisa mengumpulkan tujuh kg cabai per hari, lalu jual ke pasar.
Kini, cabai hanya bisa menghasilkan rata-rata satu kg per hari. Dalam setahun, bisa ada tiga kali banjir yang membawa cemaran lumpur perusak tanaman.
“Dampaknya tambang (nikel) ini, kasihan petani. Kapan banjir sudah surut, langsung mati ini tanaman, terpaksa ngutang lagi, cari-cari pekerjaan sampingan lain,” katanya.
Situasi ini sudah berlangsung lima tahun belakangan. Krisis pangan menghantui mereka.
Saleha, perempuan tani lain, terpukul dengan kondisi ini. Kesehatannya terenggut, sudah hampir sebulan perempuan 60 tahun ini terbaring lemas di rumah.
Tidak jelas apa sakit tetangga berkebun Muniarti ini. “Pusing-pusing gelap…tekanan darah normal 120 per 80,” katanya.
Suara pelan dan gemetar, hingga pesan yang ingin dia sampaikan nyaris tidak terdengar oleh suaminya. Sedikit-sedikit, dia menanyakan ke suami tentang kondisi tanaman kacang siap panen di kebun.
Sebelum jatuh sakit, Saleha setiap hari ke kebun, membantu suaminya merawat aneka tanaman. Dia bingung, hanya dalam beberapa hari setelah lumpur cokelat dari Sungai Lalindu memenuhi kebun, tanaman pisang dan cabai perlahan mengkerut, rusak. Buah jagung yang mendekati masa panen pun berulat.
Dia dan suami hidup berdua. Tidak punya sumber penghidupan lain selain dari hasil berkebun.
Arpati, perempuan tani lain, menunjuk kebun di seberang sungai yang terendam banjir sekitar dua meter. Dia memikirkan induk sapinya yang tidak sempat dia evakuasi.
“Mudah-mudahan tidak sampai mati.”
Ketika Sungai Lalindu mulai meluap dan menunjukkan tanda-tanda banjir, dia dan suami hanya sempat mengevakuasi enam sapi miliknya. Banjir sebelumnya, tiga sapi ternak warga mati, hanyut bersama banjir.
“Kita was-was, karena buaya dan ular kan tidak kelihatan,” kata Arpati, yang tidak berani melintasi banjir untuk menjangkau kebunnya.

Banjir juga mengubah kebiasaan masyarakat Lamonae Utama. Mereka beralih mengonsumsi air mineral ulang, sebagian memanfaatkan air sumur galian untuk konsumsi setelah memasaknya.
Hastin, Ketua Kelompok Tani Perempuan di Lamonae Utama, menceritakan, wilayah mereka terdampak buruk krisis iklim lokal sejak perusahaan sawit skala besar datang membuka lahan pada 1992. Cuaca jadi tidak menentu sejak itu, dan banjir bandang berulang terjadi setiap lima tahun.
Perempuan 45 tahun itu bilang, medio 2006 ke atas, tambang nikel masuk membuat kondisi makin buruk. “Sungai Lalindu kini berubah menjadi oranye, tidak pernah kembali jernih.”
Tahun 2015, masyarakat mengalami kekeringan selama enam bulan. Hastin terpaksa hidup berpindah-pindah tempat. Membuka lahan sementara di hutan, jauh dari Sungai Lalindu, hanya untuk berkebun jangka pendek.
Kini, intensitas banjir makin meningkat setiap tahun. Mei-Juni, Sungai Lalindu meluap beberapa kali, memutus akses ke jalan trans Sulawesi karena curah hujan yang tidak menentu. Akibatnya, Wiwirano terisolasi. Warga kesulitan mengakses kebutuhan pokok dari luar.
Transportasi trans Sultra–Sulawesi Tengah (Sulteng) antre mengular, menunggu giliran untuk bisa menyeberangi luapan sungai Lalindu yang memutus di satu-satunya satu-satunya jalan lintas provinsi, tidak jauh dari Desa Lamonae Utama.
Kendaraan roda empat pun harus merogoh kocek hingga Rp800.000 untuk melintas menggunakan jasa transportasi pincara, kelolaan warga. Mahalnya biaya ini menjadi penyebab utama distribusi bahan pangan tersendat.
Luapan banjir memutus badan jalan sekitar 100 meter lebih dengan kedalam tertinggi lebih dari satu meter. Beberapa kali kejadian, pincara terbalik menyebabkan mobil jatuh ke air, beruntungnya belum ada korban jiwa.
Pincara yang memuat kendaraan roda dua, kerap terjadi tabrakan sesama pincara dan terbalik. Situasi ini sebabkan Lamonae Utama dan wilayah sekitarnya terisolir, lantaran minimnya bantuan sosial dari luar.

Rusak DAS karena nikel
Sungai Lalindu lebar dan dalam, Ia sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo yang ekosistem hulu berada di Kecamatan Routa, wilayah paling terpencil di Sultra, dan berbatasan dengan Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Selatan (Sulsel). DAS ini rusak karena tambang nikel.
“Area hulu sungai sangat rentan ditambang. Tetapi di hulu itu (juga) banyak tambang (nikel) yang wilayahnya di Sulawesi Tengah,” kata Imran Tumora, Direktur Teras, Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak pada isu konservasi di Sultra.
Penambangan nikel, katanya, bisa merusak ekosistem hutan tangkapan air di hulu sungai, dengan aliran menghidupi sektor pertanian dan perikanan air tawar masyarakat Konawe Utara. Seharusnya, pemerintah melindungi DAS yang merupakan penyangga hidrologi untuk seluruh kawasan.
Meskipun perusahaan tambang bilang sistem pertambangan mereka baik, tetapi tidak menjamin keamanan. Karena daerah itu memiliki ketinggian dan kelerengan tinggi, yang dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi.
Baco Sudia, Pakar DAS Universitas Halu Oleo, menduga, pertambangan nikel masif di area tangkapan air di Routa berkontribusi pada peningkatan sedimentasi dan kekeruhan di DAS Lasolo. Pembukaan lahan dan penambangan menyebabkan erosi. Air hujan membawa tanah dari erosi dan mengendap di sungai, mengeruhkan air.
Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (FORDAS) Sultra ini menyebut, belum lama ini melakukan riset. Mereka menemukan DAS Lasolo mengalami degradasi, termasuk di area tutupan vegetasi dan lahan kritis menunjukkan tanda-tanda kerusakan parah.
Mereka melakukan penilaian skor terhadap kerusakan DAS Lasolo. Hasilnya menunjukkan kinerja DAS Lasolo mendekati kategori rusak, dengan skor 100-105. Skor standar untuk kategori rusak adalah 110.
Penilaian menggunakan 15 indikator, yang meliputi persentase tutupan vegetasi, persentase lahan kritis, tata air, dan sosial ekonomi. Tiga dari 15 indikator itu menunjukkan kategori rusak, yang berarti telah melewati batas normalnya.
Sudia menyatakan, DAS Lasolo semakin rentan terhadap kerusakan, terlihat dari skor kinerja DAS Lasolo yang mendekati kategori rusak. Kondisi ini juga menyebabkan peningkatan frekuensi banjir dadakan di daerah itu.
Penurunan debit air sungai akibat sedimentasi menyebabkan kesulitan dalam mengairi sawah, hingga mengancam produksi pangan. Selain itu, kerusakan DAS Lasolo juga mengancam ketersediaan air bersih dan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sungai, seperti nelayan dan pencari ikan.
Tambang nikel jadi biang kerok penyumbang sedimentasi yang menyebabkan air sungai menjadi keruh. Tumora dan Sudia bahkan mengidentifikasi area hulu sungai yang rusak terkoneksi dengan perusahaan pertambangan nikel, PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) yang beroperasi di sekitar hulu DAS Lasolo
Dia mengidentifikasi dua masalah utama kerusakan hulu DAS Lasolo, yaitu, tata ruang antar wilayah yang tidak sinkron, dan ketimpangan kewenangan.

Tak transparan
Samir, Ketua Komisi III DPRD Konut, heran banjir yang membawa material lumpur cokelat yang memutus akses trans Sulawesi di Konut, tak surut. “Kalau dulu, hujan satu bulan baru bisa banjir. Sekarang, sebaliknya,” katanya.
Dia khawatir, kerusakan lingkungan akan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat. Terutama anak-anak, yang rentan terhadap kekurangan gizi akibat sulitnya mendapatkan makanan berprotein dan air bersih.
Dia menuding SCM dengan luasan IUP terbesar yang beroperasi di area hulu sungai paling berkontribusi mencemari DAS Lasolo.
Mongabay berupaya mengkonfirmasi persoalan ini kepada perusahaan melalui aplikasi WhatsApp ke Akhmad Syamsuddin, Humas SCM, 29 April 2025. Hingga berita ini terbit, belum ada tanggapan.
Halim, tokoh masyarakat Rotua, mengatakan, kedatangan SCM merupakan kemauan pemerintah pusat. Saat menjabat Camat Rotua, 2016 hingga awal Februari 2025, dia menyaksikan langsung sosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) SCM. Penambangan nikel SCM yang mengantongi IUP seluas 21.000 hektar, atau empat kali luas Jakarta Pusat, telah sesuai rencana detail tata ruang kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat.
Dia juga mengaku lihat langsung dua metode pengiriman hasil tambang SCM ke PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) yang beroperasi di kabupaten terdekat–Morowali, di Sulteng. Mereka distribusikan ore nikel berbentuk tanah menggunakan mobil, dan yang cair lewat pipa bawah tanah sepanjang 64 kilometer.
Pipa bawah tanah itu terletak di Desa Lalomerui, Routa. Pengiriman melalui cara tersebut telah berlangsung selama dua tahun.
Pengelolaan tambang SCM di Routa, terus berkembang. Halim menjelaskan, SCM tetap beroperasi sesuai prosedur dan pengiriman nikel makin meningkat. Volume dan tonase pengiriman nikel setiap hari bertambah.
Meskipun begitu, mereka tidak pernah memperlihatkan amdal. “Tidak transparan,” ketus Samir.
Menurut dia, semua perusahaan pertambangan nikel di area tangkapan air DAS Lasolo, termasuk SCM, tidak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan. Dia meminta pemerintah pusat segera moratorium pertambangan nikel, sampai dapat mengatasi kerusakan lingkungan dengan penerapan prinsip keberlanjutan.
Samir meminta, agar ada kewenangan pemerintah daerah dalam mengatur pertambangan. Pasalnya, pemerintah daerah lebih memahami kondisi wilayah dan dampak lingkungan dari aktivitas pertambangan.
Dalam hal ini, pemerintah pusat terlalu mudah mengeluarkan izin tambang, tanpa sosialisasi dan mengabaikan aspirasi masyarakat lokal serta dampak lingkungan yang akan ditimbulkan. Tidak ada kontrol dari pemerintah daerah. Pengawasan dan penegakan hukum pun jadi lemah.
Hasbullah Idris, Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra, menyebut, hampir sebagian besar wilayah pertambangan nikel di Routa merupakan konsesi SCM. Perusahaan ini memiliki IUP yang berlaku hingga 14 September 2037, dan beroperasi di atas kawasan Hutan Produksi.
Kuota produksi SCM mengalami peningkatan, dari 16.152.607 ton metrik di tahun 2004, menjadi 19.356.149 ton metrik. Tetapi, ESDM Sultra tidak mengetahui kemana larinya hasil produksi SCM. Pasalnya, pemerintah daerah tidak memiliki akses ke data dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang berisi informasi detail mengenai kuota produksi perusahaan tambang.
SMC mulai menambang di Routa tahun 2022. Mereka merupakan anak perusahaan PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA), yang memiliki 51% saham di SCM melalui entitas anaknya, PT Merdeka Industri Mineral.
Mereka menggunakan metode open pit mining, atau pertambangan di permukaan tanah untuk menggali mineral yang dekat dengan permukaan bumi. Cara ini dipakai jika cadangan terlalu dalam untuk ditambang langsung, tetapi tidak cukup dalam untuk tambang bawah tanah.

Laporan Triwulan MBMA 2023 mengklaim tambang SCM sebagai salah satu sumber daya nikel terbesar di dunia, dengan 13,8 juta ton nikel dan 1,0 juta ton kobalt. Tambang SCM akan memasok bijih saprolit ke Smelter RKEF milik MBMA (CSID, BSID, dan ZHN), yang berlokasi di IMIP, serta memasok bijih limonit ke pabrik HPAL di IMIP dan rencananya ke Indonesia Konawe Industrial Park (IKIP), hingga kini belum beroperasi.
Dokumen itu melaporkan aktivitas pertambangan terus meningkat di lokasi SCM. Total material mencapai 944.212 wmt, yang terdiri dari limbah, bijih limonit, dan bijih saprolit, dengan pergerakan material masing-masing sebesar 312.743 wmt, 390.436 wmt, dan 241.033 wmt.
Mengutip panensaham.com, Februari lalu MBMA menandatangani perjanjian definitif dengan Zhejiang Huayou Cobalt (Huayou) untuk pembangunan pabrik pengolahan High-Pressure Acid Leach (HPAL). Pabrik HPAL ini dibangun dengan kapasitas terpasang sebanyak 90.000 ton nikel dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) per tahun.
Hasbullah mengaku, dampak penarikan kewenangan pengelolaan pertambangan ke pusat melalui Undang-undang 3/2020 tentang Minerba sangat terasa. Meski pengalihan kewenangan itu untuk sentralisasi informasi, namun daerah jadi kurang otoritas untuk melakukan tindakan korektif terhadap pelanggaran para pemegang IUP.
“Kalau dulu ada laporan (aduan), kami panggil klarifikasi (perusahaan bersangkutan). Kalau (tuduhan) benar, kita beri sanksi secara berjenjang sesuai peraturan. Tapi kalau sekarang misalnya ada pelanggaran, kami didemo atau disampaikan pernyataan sikap, ya kami teruskan ke Jakarta,” katanya.
Hening Parlan, pegiat lingkungan hidup, keadilan sosial, dan transisi energi berkeadilan, menyatakan kurangnya partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan sering kali mengesampingkan suara masyarakat yang terdampak langsung.
Hal itu juga dia tuangkan ke dalam buku bersama kawan-kawannya berjudul Fiqih Transisi Energi, berisi panduan dan refleksi untuk mendukung transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Gagasan utama dalam buku itu, pengelolaan energi harus berdasarkan prinsip keadilan, baik keadilan antar generasi maupun keadilan sosial. Sumber daya alam tidak boleh dieksploitasi hanya untuk keuntungan ekonomi jangka pendek.

*****