Bagaimana Gurita Beradaptasi terhadap Peningkatan Suhu Laut?

6 hours ago 3
  • Meningkatnya suhu global bakal berdampak pada hewan laut di muka bumi.  Sebuah penelitian baru-baru ini ungkap fakta menarik perihal gurita  dari yang  mampu beradaptasi lebih cepat dan lebih baik maupun yang akan berisiko kembangkan embrio dibandingkan dengan biota laut lain.
  • Walau belum menjadi olahan laut favorit di Indonesia, gurita menjadi santapan lezat yang disukai banyak orang di belahan dunia lainnya. Utamanya, di kawasan Timur Asia seperti China, Jepang, dan Korea
  • Namun, tahukah bahwa gurita adalah salah satu hewan laut yang kini sedang menghadapi masalah serius akibat terkena dampak fenomena perubahan iklim. Salah satunya, adalah mengancam perkembangan embrio gurita
  • Akan tetapi, gurita juga tampil sebagai hewan laut terbaik yang sukses menghadapi perubahan iklim. Spesies tersebut sukses beradaptasi terhadap perubahan suhu laut yang terus meningkat secara bervariasi 

Meningkatnya suhu global bakal berdampak pada hewan laut di muka bumi.  Sebuah penelitian baru-baru ini ungkap fakta menarik perihal gurita  dari yang  mampu beradaptasi lebih cepat dan lebih baik maupun yang akan berisiko kembangkan embrio dibandingkan dengan biota laut lain.

Paparan ini  jurnalis sains terkemuka juga periset pada Universitas Colorado, Amerika Serikat, Kenna Hughes-Castlberry, tuliskan di jurnal Earth Island Institute baru-baru ini. 

Dia bilang, meningkatnya suhu laut akan memberi keuntungan dan kerugian sekaligus pada spesies gurita. Kalau  sukses bertahan, gurita akan menjadi hewan laut paling bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Sebaliknya, kalau tidak, gurita akan menjadi hewan laut yang paling beresiko saat terjebak suhu ekstrem akibat perubahan iklim. Gurita akan berisiko mengalami hambatan dalam mengembangkan embrionya.

Penelitian Kenna berangkat dari rasa penasaran  dampak memanasnya suhu air laut terhadap ekosistem dangkal. Termasuk, perikanan gurita yang berperan penting pada habitat terumbu karang dan juga ekosistem laut secara keseluruhan. Terlebih, pada 2100, suhu air laut  akan meningkat hingga 3 derajat celcius.

Sebagai makhluk hidup yang habitatnya ada di ekosistem perairan dangkal, gurita memang sedang menjadi sorotan. Sebab, hewan laut ini hidup di sekitar terumbu karang dan kolam pasang surut, yaitu kolam air laut dangkal yang membentuk pesisir intertidal berbatu.

Bret Grasse, Manajer Operasi Sefalopoda pada Laboratorium Biologi Laut (MBL) di Woods Hole, Massachusetts, mengatakan kalau Gurita adalah hewan yang bisa menjadi pemangsa dan atau yang dimangsa. Peran ganda itu ada karena dampak air laut yang lebih hangat dan bisa menghancurkan mereka.

Sefalopoda sendiri adalah kelompok binatang lunak dengan kaki atau tentakel pada kepala, yang mencakup juga cumi-cumi dan sotong. Kelompok hewan tersebut memiliki otak yang berkembang baik dan memiliki daya ingat cukup kuat, bahkan dapat belajar.

Kemampuan tersebut menjadikan sefalopoda sebagai takson sangat penting di lautan. Takson adalah kelompok atau kategori dalam sistem klasifikasi biologi yang digunakan untuk mengelompokkan makhluk hidup berdasarkan persamaan ciri mereka.

Mereka seolah bisa berperan ganda, yakni, sebagai predator sangat rakus, dan menjadi makanan lezat bagi spesies lain. Tidak heran, mereka bisa mengonsumsi banyak mangsa, sekaligus menjadi mangsa karena kandungan protein dan rendah lemak.

Nelayan perempuan sedang mencari gurita di terumbu karang di Desa Kadoda, Tojo Una-Una, Togean, Sulawesi Tengah. Mereka kini semakin sulit karena dampak perubahan iklim. Foto : Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Embrio terancam

Para ilmuwan dari Ocean University di Tionfkok sebelumnya juga menemukan ada  pengaruh kuat meningkatnya suhu terhadap siklus hidup gurita. Setelah  uji coba pada suhu air hangat yang stabil, para peneliti kemudian menaikkan suhu secara bervariasi hingga mencapai enam derajat celcius. Percobaan itu dilakukan selama periode 47 hari.

Pada air lebih hangat dan bervariasi memang dapat memberi kenyamanan gurita untuk hidup dan berkembang. Pada suhu  lebih ekstrem berpotensi mengganggu perkembangan embrio gurita. Gangguan itu memicu penetasan prematur, deformasi embrio, dan infeksi bakteri. 

Pada akhirnya, gurita akan menjadi kelompok dengan tingkat penetasan paling rendah, karena banyak embrio yang menetas sebelum waktunya, langsung mati dengan organ-organ yang belum berkembang. Demikian pula saat suhu berubah dengan cepat, embrio gurita juga tidak bisa bertahan hidup dikarenakan ada penyebaran infeksi bakteri yang sangat cepat ke seluruh cengkeraman telur.

Para periset Ocean University mencoba 400 telur dalam air dengan suhu naik turun ekstrem. Dari jumlah itu, hanya 36 telur berisi embrio yang berhasil menetas menjadi remaja. Meski demikian, gurita yang terjebak dalam suhu ekstrem air laut masih memiliki peluang untuk bisa pulih dalam waktu jangka panjang.

Mereka meyakini, kemampuan gurita untuk memulihkan diri lebih cepat adalah karena spesies ini memiliki siklus hidup yang pendek. Inilah yang membuat para peneliti yakin bahwa gurita bisa beradaptasi lebih baik dari hewan laut yang lain.

David Scheel, profesor biologi kelautan pada Alaska Pacific University mengatakan, perubahan suhu tahunan secara global sudah menjadi perbincangan di kalangan para ahli. Akan tetapi, belum banyak diskusi tentang lonjakan suhu tinggi hingga beberapa derajat celcius hanya dalam hitungan jam.

Dia menjelaskan, suhu terus berputar dalam rentang bervariasi setiap hari, minggu, bahkan musim. Situasi ini menghadirkan ancaman bagi hewan penghuni laut. “Ancaman itu, utamanya akan datang saat musim panas yang terik sedang berlangsung dan air laut sedang surut, kemudian diikuti malam yang sejuk dengan air laut yang menghangat.”

Gurita yang ditangkap oleh nelayan perempuan di Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Foto : Christopel Paino/Mongabay Indonesia

Spesies dominan

Yonvitner, Kepala Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB University mengatakan,  gurita salah satu hewan laut yang memiliki keunggulan dibandingkan  hewan laut lain. Gurita bisa bertahan dengan perubahan suhu yang cepat.

Dia menyebut, perubahan suhu akibat perubahan iklim bisa berkisar antara 1-2 derajat celcius di ekosistem laut. Namun, perubahan tersebut masih dinilai aman untuk gurita bisa hidup dan berkembang biak.

Biasanya, saat suhu mengalami kenaikan, spesies laut seperti gurita akan mengubah kesehariannya dengan fokus untuk bertahan. “Jadi, gurita dalam kondisi tersebut biasanya akan mengutamakan dulu untuk beristirahat dibandingkan untuk mencari makanan,” jelas Yonvitner.

Kemungkinan lainnya, gurita akan melakukan adaptasi melalui evolusi yang dilakukan secara kontinyu dalam waktu yang lama. Tujuannya, agar mereka bisa tetap bertahan saat suhu ekstrem terjadi di laut. Selain gurita, cara tersebut juga banyak dilakukan hewan laut lainnya.

Namun, saat perubahan suhu yang ekstrem terjadi di laut, hasrat gurita betina untuk bereproduksi akan semakin meningkat. “Saat itu terjadi, biasanya gurita akan melepaskan sel telur secara paksa seperti prematur,” kata  Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University itu.

Pelepasan paksa sel telur itu biasanya terjadi saat usia gurita masih belum matang. Kondisi itu mengakibatkan sel telur belum siap untuk dibuahi oleh sperma jantan. Akibatnya, proses pembentukan embrio menjadi tidak sempurna. Akibatnya, pembentukan individu gurita menjadi abnormal karena kegagalan pembuahan.

Kegagalan  itu, untuk jangka panjang akan bisa mempengaruhi  populasi gurita di alam. Kalau perubahan iklim terus meningkatkan suhu air laut, maka potensi gurita untuk melepaskan sel telur dengan paksa akan makin besar.

Nelayan memperlihatkan hasil tangkapan gurita. Foto : Yayasan Pesisir Lestari

Menurut Yonvitner, walau memiliki toleransi  tinggi terhadap perubahan suhu yang bervariasi antara 20-34 derajat celcius, namun perubahan iklim di laut akan menyebabkan gurita harus bekerja untuk beradaptasi.

“Gurita akan menyesuaikan habitat, pola hidup, dan reproduksi. Semua itu terjadi untuk memastikan gurita bisa hidup dan berkembang dengan nyaman.” 

Namun, ada lagi potensi yang lebih besar bisa terjadi di perairan Indonesia jika perubahan suhu air laut terus meningkat ekstrem. Salah satunya, adalah ancaman kepunahan spesies laut yang tidak bisa bertahan akibat perubahan suhu.

Ancaman itu, bukan karena faktor andropogenik oleh pemanfaatan manusia. Melainkan, karena faktor perpindahan habitat para spesies ke lokasi perairan yang memiliki suhu lebih stabil.

“Hewan laut yang tidak tahan dengan suhu lebih panas, akan bermigrasi ke perairan lain. Bisa jadi, suatu saat nanti Indonesia tidak akan lagi menjadi negara megabiodiversitas di laut karena hal ini,” katanya.

Tetapi, ancaman itu  tidak akan berlangsung dalam waktu cepat tetapi  akan berlangsung dalam waktu  lama. Setidaknya, perlu minimal 50-100 tahun untuk terjadi hal seperti itu.

Jika sampai terjadi kepunahan spesies laut di Indonesia, maka gurita akan menjadi salah satu spesies dominan di perairan laut Indonesia. Adaptasi gurita pada perubahan habitat, adalah bisa berpindah dari permukaan air ke area laut lebih dalam dengan kisaran 300-500 meter, atau berpindah ke wilayah berlubang.

Sayangnya, sampai sekarang belum ada penelitian lebih detail di Indonesia tentang perilaku gurita dan segala ancaman yang akan terjadi di masa mendatang. Padahal, Indonesia sebagai salah satu produsen gurita terkemuka dunia.

“Ini masih jadi pekerjaan rumah, karena penelitian menjadi sangat penting untuk pengelolaan gurita,” ucapnya.

Sampai sekarang, pusat produksi perikanan gurita masih didominasi oleh sejumlah daerah seperti Sulawesi Selatan, Maluku, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara, Papua Barat Daya, Aceh, Riau, dan Lampung.

*******

Terapkan Buka Tutup Tangkap Gurita, Lanjukang Masih Hadapi Sejumlah Tantangan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|