Sekolah Sirkular: Ubah Mindset Siswa untuk Bumi Lebih Baik

7 hours ago 1
  • Krisis iklim nyata terjadi. Musim tak lagi bisa diprediksi, sampah tak terkelola, polusi udara dan bencana hidrometeorologi terus meningkat. 
  • Sekolah menjadi salah satu ruang penting untuk menanamkan kesadaran dan budaya peduli lingkungan sejak dini. Sekolah sirkular memperkenalkan pendekatan untuk mengubah pola pikir siswa untuk bumi lebih baik.
  • Program Indonesia Green Principal Award (IGPA) hadir untuk mendorong sekolah menerapkan prinsip ekonomi sirkular melalui kurikulum. Pendekatan ini bisa membentuk karakter untuk mampu mengelola dan memberi nilai baru pada limbah. 
  • Mindset masyarakat dan minimnya infrastruktur jadi tantangan utama penerapan sekolah sirkular. IGPA mengusulkan integrasi kurikulum, kolaborasi multipihak, serta penguatan regulasi untuk mendukung transformasi ini.

Waktu musim penghujan dan kemarau dalam buku pembelajaran sudah tak lagi relevan. Ingatan bulan dengan akhiran -ber akan memasuki musim hujan bisa jadi salah untuk saat ini. Pasalnya, musim kini kian tak menentu. Tak hanya cuaca, polusi udara dan sampah menjadi masalah lingkungan yang dihadapi generasi saat ini hingga mendatang. 

Di tengah persoalan lingkungan yang makin kompleks, sekolah menjadi ruang untuk belajar isu lingkungan. Tak hanya merubah cara pikir, tetapi juga membentuk budaya yang mendukung kesejahteraan manusia dengan alam. Indonesia Green Principal Award (IGPA)—wadah bagi kepala sekolah dalam mendorong ekonomi sirkular di tingkat sekolah pada tiap tahunnya. Ekonomi sirkular, kata Junita Widiati Arfani, co-founder IGPA bilang pendidikan bisa menanam karakter berkelanjutan sejak dini: mengelola, mengolah, dan memberi nilai baru pada limbah.

“Urgensinya (ekonomi sirkular) karena sekolah itu ya mendidik perubahan mindset,” ujar Nita dalam rangkaian acara IGPA Batch 6 di Yogyakarta, akhir April lalu. Tujuan kegiatan ini, katanya mendorong adanya integrasi prinsip ekonomi sirkular dalam kurikulum pembelajarannya. 

Penggagas SAH Banyu Bening, Sri Wahyuningsih saat menunjukan alat pengolah air hujan sederhana di sanggarnya. Foto: T. Handoko/Mongabay Indonesia

Sejak 2022, IGPA hadir menjadi bagian dari diseminasi ekonomi sirkular dalam dunia pendidikan. Program tahunan yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Perdagangan Dunia (PSPD) dan Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT) Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan JBI Education Consulting ini mengangkat tema “Mendorong Transformasi Sekolah Menuju Ekonomi Sirkular.”

Bagi Nita, sekolah menjadi titik awal untuk menanamkan kesadaran lingkungan dengan pendekatan ekonomi sirkular kepada generasi muda. Ada 67 kepala sekolah TK hingga SMA/sederajat dari seluruh di Indonesia ikut dalam acara tahunan ini. “Ekonomi sirkular itu sebetulnya tidak sekedar mindset, tapi bagaimana itu menjadi budaya,” jelasnya. 

Baca juga: Cerita baik sekolah sirkular di Yogyakarta

Anak-anak sekolah memperhatikan pegiat biokonversi maggot black soldier fly/BSF dalam gelaran Festival Ekonomi Sirkular. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Isu sampah, pendekatan awal kepada siswa

Data statistik di Indonesia (2024) mencatat ada 399.376 sekolah SD, SMP, dan SMA. Produksi sampah rata-rata tiap sekolah mencapai 20-30 kg per hari untuk organik dan 60 kg per hari anorganik. Sementara itu, sekolah berbasis pesantren atau asrama mencapai 300 kg/hari.

Murdiyanto, Kepala Sekolah SD Aisyiyah Unggulan Gemolong, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah menyebutkan sampah menjadi masalah bagi sekolahnya. Kini mereka melakukan pendekatan digitalisasi dalam memenuhi kebutuhan 1032 siswa di sekolah. Mulai dari meminimalkan penggunaan kertas hingga menerapkan kantin minim plastik dan cashless.

Para peserta IGPA mempraktikan pembuatan eco enzyme dan kompos di PIAT (Pusat Inovasi Agroteknologi) UGM . Foto: Dokumentasi IGPA

“Jika kita hanya fokus untuk pencegahan sampah saja juga sekolah tidak akan berkembang,” jelas Mur. Tak hanya di sekolah, pihak sekolah juga mengajak siswa membawa sampah di rumah yang bisa didaur ulang. Nantinya sampah tersebut akan ditukar dengan nilai ekonomi. 

Selain itu, SD Muhammadiyah 3 Denpasar, Bali juga punya program ‘sedekah sampah plastik’ untuk memilah sampah plastik dan menjualnya di sekolah. Mereka telah mengimplementasikan sekolah sirkular dalam pembelajarannya sejak 2021. Emma Rosadah, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 3 Denpasar berharap kegiatan mereka mampu membangun kepekaan siswa terhadap masalah sampah. 

“Kita nanam akar-akar kesadaran, yang itu nanti akan memuat dan menjadi lebih besar,” tutur Emma. Selain masalah sampah, komite sekolah juga berusaha mengembangkan alat yang mampu mengubah air hujan menjadi air minum untuk mengatasi kemarau panjang. 

Berbagai produk yang dihasilkan Siswa Madrasah Aliyah Nurul Badean dari kegiatan ekstrakurikuler recycling sampah plastik. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Baca juga: Pesantren An-Nur Kelola Sampah Mandiri

Tantangan dan rekomendasi kebijakan 

Penerapan sekolah sirkular berdasarkan pengalaman para kepala sekolah tidak selalu berjalan dengan lancar. Tiap sekolah memiliki tantangan yang berbeda. “Tantangan utamanya dan pertama adalah mindset, jadi semuanya saja tidak hanya siswa, tapi justru orang tua juga, termasuk bapak/ibu guru,” jelas Murdiyanto.

Tantangannya, kata Murdiyanto adalah ketergantungan terhadap plastik dan budaya serba instan. Selain itu, belum optimalnya infrastruktur dan regulasi dalam menjalankan sekolah sirkular. 

IGPA memiliki semangat yang sama dalam upaya rencana aksi nasional terkait ekonomi sirkular. Pada Agustus 2024, Kementerian PPN/Bappenas meluncurkan Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular sebagai panduan transisi ekonomi sirkular Indonesia. 

Suci Lestari Yuana, peneliti di PSPD UGM berharap melalui dokumen tersebut, sektor pendidikan bisa menjadi salah satu fokus pemerintah dalam mengimplementasikannya. “Yang penting bagaimana inisiatif yang menjadi arus utama ini bisa menggantikan regime ekonomi linear,” sebut Nana. 

Sekolah lapang di SPP Ciamis. Foto: Della Syahni/Mongabay Indonesia

Pada kesempatan yang sama, para peserta IGPA melakukan perumusan kebijakan terkait pelaksanaan sekolah sirkular di masa depan. Ada 4 rekomendasi, yakni integrasi prinsip ekonomi sirkular dalam kurikulum pendidikan; penguatan kapasitas dan ketersediaan sumber daya sekolah; pembentukan kolaborasi multipihak; serta penguatan regulasi intersektoral dan reformulasi program adiwiyata.

Emma bilang program sekolah Adiwiyata tidak semua sekolah memiliki kesempatan yang sama. Katanya, konsep sekolah sirkular lebih fleksibel dan mudah untuk dilakukan dalam penerapannya di sekolah daripada adiwiyata. IGPA memberikan rekomendasi untuk penghargaan adiwiyata lebih dikembangkan sehingga dapat menjadi 5R-reduce, rethink, reuse, repair, recycle dalam penerapannya. 

Junita Widiati Arfani berharap rumusan ini bisa sampai dan diterima oleh pemerintah. Kertas kebijakan ini pun telah diserahkan kepada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Lingkungan Hidup.

Begini Cerita Sekolah Pinggir Hutan yang Ajarkan Kearifan Lingkungan

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|