Ubi Banggai Terancam Tambang Batu Gamping

15 hours ago 5
  • Karst di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, seperti di Pulau Peleng,  jadi target  perusahaan pertambangan batu gamping. Tempat gua, mata air, dan ruang hidup masyarakat ini jadi incaran jadi sebagai bahan campuran pengelolaan nikel. Ubi Banggai, sumber pangan warga juga simbol budaya di Pulau Peleng, salah satu yang terancam.
  • Ubi Banggai adalah tanaman tumbuh khusus di tanah karst Peleng. Ada sekitar 20 varietas lokal, masing-masing dengan nama dan karakteristik unik dalam bahasa lokal. Salah satu jenis paling populer adalah pulsus, ubi yang dipercaya bergizi tinggi dan dahulu menjadi makanan utama bayi.
  • Imran, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Balayo mengatakan, kehadiran tambang batu gamping di Pulau Peleng khawatir mengubah kehidupan masyarakat. Kalau lahan-lahan produktif menanam ubi Banggai hilang, masyarakat tak hanya kehilangan sumber ekonomi, juga tradisi kolektif yang selama ini menyatukan mereka. “Kami tidak hanya kehilangan tanah, juga cara hidup.”
  • Riset LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, karst Banggai Kepulauan ini memiliki kemampuan menyerap jutaan meter kubik air hujan setiap tahun untuk mencukupi seperempat kebutuhan air  bersih. Kawasan karst ini juga berperan dalam menyerap CO2 dari atmosfer. Untuk proses karstifikasi melepaskan kembali CO2, hingga rata-rata CO2 yang terserap cukup besar.

Pagi belum sepenuhnya mekar di lereng karst Pulau Peleng, Sulawesi Tengah. Embun masih menggantung di pucuk semak dan ilalang. Di sela kehijauan itu, seorang perempuan paruh baya cekatan menyingkirkan gulma yang tumbuh liar. Dia menunduk, memungut umbi-umbi bertubuh gempal dari balik tanah yang retak oleh musim.

“Itu ubi Banggai,” katanya pendek, sembari mengusap keringat dengan lengan baju. Sumber hidup kami, selain beras,” kata Deslin Kalaeng, warga Desa Komba-Komba, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.

Dia adalah Ibu Kampung Masyarakat Adat Tolobuono Komba-komba. Gelar ini lahir bukan karena gelar akademik atau garis darah bangsawan tetapi karena dia menjadi suara yang tetap berdiri, ketika ancaman tambang batu gamping mulai mengepung desanya dari segala arah.

Ubi Banggai yang dia pungut bukan sekadar pangan. Di Pulau Peleng, ubi itu adalah ingatan. Ia tumbuh sejak sebelum republik ini punya nama. Ia ada di ladang-ladang kecil antargenerasi, tanpa pupuk kimia, tanpa alat berat. Hasil dari tangan-tangan perempuan, seperti Deslin, yang sejak bocah terbiasa menyayat tanah dengan parang dan doa.

Kini,  tanah itu terancam berubah rupa. Di meja para pengusaha dan pejabat daerah, batu gamping jadi emas putih yang menggiurkan.

Karst Peleng,  tempat gua, mata air, dan rahim kesuburan bagi pulau jadi incaran sebagai bahan campuran pengelolaan nikel.

Deslin tahu, tak bisa melawan alat berat dengan tangan kosong tetapi dia berupaya merawat ingatan. Dia bisa bertutur, tentang bagaimana tanah ini dulu disucikan dalam ritus adat. Tentang anak-anak muda yang pergi ke kota, tetapi tak lupa bercerita soal kampung yang hijau.

Matanya menyimpan cemas tetapi tetap keteguhan.

“Apa jadinya kalau batu gamping ini punah? Ubi tak bisa tumbuh. Air bisa hilang. Apa yang tersisa buat anak cucu?”

Pulau Peling,  kini menjadi incaran investasi pertambangan batu gamping. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2024, terdapat 39 izin lokasi pertambangan tersebar di pulau ini. Ia terdiri dari 38 wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) dan satu izin usaha pertambangan (IUP) dengan status operasi produksi (OPD). Izin-izin ini membentang di lima kecamatan dan 25 desa, dengan luas mencapai 4.036,06 hektar.

Saat ini, 38 perusahaan batu gamping tengah mengupayakan perubahan status izin menjadi IUP produksi melalui mekanisme sosialisasi dan konsultasi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ke warga desa. Tujuannya,  mempercepat proses legalisasi operasi tambang batu gamping.

Namun, langkah itu disambut gelombang penolakan. Bukan hanya karena berisiko kerusakan lingkungan, juga tanaman ubi Banggai, simbol budaya dan sumber kehidupan masyarakat Banggai Kepulauan, terancam.

Salah satu sumber air di Bangkep. Kalau sampai perusahaan tambang batu gamping masuk, sumber air bersih terancam hilang. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

Menyimpan sejarah

Ubi Banggai adalah tanaman tumbuh khusus di tanah karst Peleng. Ada sekitar 20 varietas lokal, masing-masing dengan nama dan karakteristik unik dalam bahasa lokal. Salah satu jenis paling populer adalah pulsus, ubi yang dipercaya bergizi tinggi dan dahulu menjadi makanan utama bayi.

Imran, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Balayo tahu benar apa arti ubi Banggai bagi warga. Di desa-desa Pulau Peleng, hampir setiap rumah memiliki lahan khusus untuk menanam ubi. Hasil panen menjadi tumpuan ekonomi keluarga, dari membiayai sekolah anak, membeli kebutuhan rumah tangga, hingga membangun rumah.

“Motor saya beli dari uang jual ubi,” katanya bangga.

Setiap musim panen pertama, masyarakat menggelar malabot tumbe atau montomisi—upacara syukuran hasil panen. Warga membawa ubi ke rumah ibadah untuk diberkahi dan berdoa bersama.

Dalam perayaan ini, mereka juga membacakan mitos asal-usul ubi Banggai, kisah tentang anak bungsu dari tujuh bersaudara di Tiongkok yang mengorbankan diri untuk menjadi ubi demi menyelamatkan keluarganya dari kelaparan. Ia hanya bisa tumbuh di Pulau Peleng.

“Cerita ini bukan dongeng kosong. Ini cara kami menjaga warisan dan mengingat asal-usul kami,” ujar Imran.

Di Pulau Peleng, katanya, menanam ubi Banggai bukan urusan individu. Itu kegiatan sosial. Sistem pertanian mereka menganut metode nomaden, petani berpindah-pindah ladang agar tanah tidak rusak. Setiap petani biasa menyiapkan lima bidang tanah secara bergiliran.

Seluruh proses mulai dari pembersihan lahan, penanaman, hingga panen bersama dalam semangat gotong royong, atau istilah lokal potomboni obat kembung. Laki-laki menebas pohon kecil untuk membuat tiang penyangga tanaman, perempuan membersihkan rumput, anak-anak menyiapkan bibit. Semua ikut ambil bagian.

“Ini bukan sekadar kerja. Ini ritual,” kata Imran.

Kehadiran tambang khawatir mengubah semua itu. Kalau lahan-lahan produktif hilang, masyarakat tak hanya kehilangan sumber ekonomi, juga tradisi kolektif yang selama ini menyatukan mereka.

“Kalau tambang datang, kami tidak hanya kehilangan tanah, juga cara hidup,” katanya.

Para pegiat lingkungan melihat skenario lebih luas. Selain Pulau Peleng, banyak wilayah karst di Indonesia bernasib sama, dari Kendeng di Jawa hingga Maros di Sulawesi Selatan.

Umumnya, pertambangan batu gamping untuk kebutuhan industri dengan nilai ekonomi jangka pendek yang seringkali dibayar dengan kehancuran ekosistem abadi.

“Ubi Banggai bisa terus ditanam berabad-abad kalau dijaga. Tapi tambang cuma butuh 10–20 tahun untuk menghabisi semuanya,” kata Yusman,  Direktur Perkumpulan Evergreen Indonesia.

Dia mengingatkan, metode tambang seperti peledakan (blasting) bisa mengguncang struktur rongga karst yang saling terhubung, memicu keruntuhan, kehilangan sumber mata air, dan degradasi tanah. Bagi warga, karst bukan sekadar batu.

Di atas tanah karst itulah tumbuh ubi Banggai, katanya, bukan hanya makanan pokok, juga simbol identitas budaya Banggai.

Harga ubi Banggai di pasaran lokal cukup tinggi. Satu bakul (isi 24–30 biji) sekitar Rp350.000, dan hasil panen bisa Rp5 juta-Rp10 juta per musim. Pengelolaan pun secara arif, dari panen, sebagian simpan sebagai bibit, sebagian konsumsi, dan ada yang dijual.

Imran menilai, kebijakan pembangunan seharusnya tidak melulu soal tambang dan izin eksploitasi. Dia meminta, pemerintah melihat nilai lain dari Pulau Peleng dari budaya, sejarah, dan keberlanjutan.

“Kami tidak menolak pembangunan. Tapi jangan hilangkan warisan kami,” katanya.

Ubi Banggai, sumber pangan juga identitas masyarakat di Pulau Peleng. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

Ubi Banggai dan karst

Selain memiliki ikatan kuat dengan kehidupan masyarakat, ubi Banggai juga sangat bergantung pada ekosistem karst. Kualitas wbi Banggai sangat tergantung pada karakteristik tanah. Gangguan pada formasi karst, katanya,  bisa menurunkan produktivitas drastis.

“Tanah kaya domato (batu gamping) menghasilkan ubi Banggai bulat dan besar. Kalau tanah tak subur, hasilnya lonjong dan kecil.”

Kurang lebih 85% daratan Banggai Kepulauan adalah kawasan karst. Penelitian LIPI pada 2017 dan BPEE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, batuan karst di Peleng ini memiliki fungsi ekosistem penyangga utama bagi kehidupan masyarakat, bak pertanian, atau sumber air bersih, hingga biodiversitas endemik.

Karst Banggai Kepulauan ini juga memiliki kemampuan untuk menyerap jutaan meter kubik air hujan setiap tahun untuk mencukupi seperempat kebutuhan air  bersih. Kawasan karst ini juga berperan dalam menyerap CO2 dari atmosfer. Untuk proses karstifikasi melepaskan kembali CO2, hingga rata-rata CO2 yang terserap cukup besar.

Dalam riset itu, terdapat sejumlah gua dan sungai bawah tanah, termasuk kolam-kolam air yang terperangkap di dalam ruang-ruang (chamber) gua. Keberadaan banyak mata air yang muncul dari celah-celah batuan menunjukkan kawasan ini merupakan sistem hidrologi karst dengan pola aliran multibasin.

Wandi, Divisi Advokasi dan Kampanye Walhi Sulawesi Tengah, menyatakan,  jika seluruh konsesi tambang batu gamping beroperasi bisa berdampak sangat serius. Satu ancaman utama, katanya, kehilangan sumber air bersih. Keberadaan ubi Banggai juga bisa terganggu.

“Sasaran eksploitasi pertambangan adalah batuan karst, yang berperan dalam menyediakan sumber air bersih serta mendukung kesuburan tanah untuk pertumbuhan tanaman, seperti ubi Banggai,” kata Wandi dalam rilis yang Mongabay terima.

Dari hasil riset KLHK dan LIPI, katanya,  telah memberikan rekomendasi lebih berhati-hati dalam pengelolaan batuan karst di Pulau Peleng. Bentang karst di wilayah itu memiliki keunikan dan saling keterkaitan antar satu area dengan area lain. Kalau satu wilayah rusak, katanya, dampak menyebar dan mempengaruhi wilayah lain.

Padahal, katanya, Kabupaten Bangkep sudah memiliki Perda Pengelolaan Karst Nomor 16/2019 yang menegaskan, kegiatan ekstraktif berpotensi merusak bentangan karst tidak boleh. Kalau terjadi kerusakan karst, katanya, perlu waktu sampai 200 tahun untuk pemulihan.

Pemerintah daerah, katanya,  harus menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi di masa depan di Pulau Peleng. Antara lain, dengan penghentian seluruh permohonan izin pertambangan batuan gamping dan pencabutan izin-izin yang sudah ada, baik WIUP maupun IUP.

“Jika tidak, pemerintah daerah berisiko menjadi aktor utama yang menciptakan ‘bom waktu’ bagi kehidupan di Pulau Peleng di masa yang akan datang.”

Selain perikanan, masyarakat Pulau Peleng hidup dari perkebunan dan pertanian. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

*******

Was-was Ekosistem Karst Banggai Kepulauan Hancur Kalau Masuk Perusahaan Tambang

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|