- Laporan “Forest 500 Report 2025” dari Global Canopy mengungkap bahwa hanya 3% perusahaan besar yang memiliki pengaruh terhadap komoditas berisiko terhadap hutan yang telah mengambil tindakan memadai terhadap deforestasi, dengan perusahaan daging sapi diidentifikasi sebagai pendorong utama terbesar di dunia.
- Penilaian tersebut mengidentifikasi 24 perusahaan yang dalam satu dekade periode evaluasi tidak pernah membuat komitmen apa pun terkait deforestasi, sementara beberapa perusahaan seperti raksasa pengemasan daging JBS justru mundur dari janji-janji sebelumnya.
- Hanya 9% perusahaan yang menjanjikan toleransi-nol (zero tolerance) terhadap kekerasan terhadap pembela hutan, meskipun lebih dari 2.000 orang telah terbunuh saat melindungi tanah atau lingkungan sejak 2012.
- Peraturan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation) yang mulai berlaku pada akhir 2025 akan mengharuskan perusahaan untuk membuktikan bahwa produk mereka tidak terkait dengan deforestasi sebelum dapat dijual di pasar Uni Eropa.
Menurut laporan terbaru dari LSM Global Canopy, ada banyak barang sehari-hari yang terkait dengan deforestasi—mulai dari kopi yang diminum pada pagi hari hingga camilan cokelat, sepatu kulit, dan furnitur kayu. Namun, hanya 3% dari perusahaan besar yang benar-benar mengambil tindakan untuk menghentikan perusakan hutan.
Laporan “Forest 500 Report 2025” meneliti 500 perusahaan yang paling berpengaruh terhadap produk-produk yang paling berkaitan dengan deforestasi: daging sapi, kulit, minyak sawit, kedelai, kayu, kertas, serta tambahan baru di tahun ini—kakao, kopi, dan karet.
Laporan tahun ini juga meluas cakupannya, dari sebelumnya hanya hutan hujan tropis kini mencakup semua jenis hutan.
“Sangat mengecewakan, ketika melihat kurangnya tindakan dari pihak-pihak yang sebenarnya memiliki kekuatan paling besar untuk menghentikan deforestasi,” ujar Emma Thomson, pimpinan pelacakan Forest 500 di Global Canopy kepada Mongabay.
“Sungguh tidak bisa diterima bahwa begitu banyak perusahaan masih tidak melakukan apa-apa.”
Laporan tersebut mengidentifikasi 24 perusahaan yang tidak pernah membuat komitmen apa pun terhadap deforestasi meski telah dievaluasi selama lebih dari satu dekade. Di antaranya adalah sejumlah perusahaan besar asal AS seperti Ashley Furniture Industries, pedagang daging sapi Parker-Migliorini International, dan Land O’Lakes (yang berpengaruh dalam rantai pasok minyak sawit, kedelai, dan kemasan kertas).
Pelaku signifikan lainnya termasuk produsen babi terbesar di dunia WH Group (pemilik Smithfield Foods), China State Construction Engineering Corp., dan Bright Food Group.

Beberapa perusahaan justru mundur dari target yang pernah mereka umumkan. JBS, perusahaan pengemasan daging terbesar di dunia yang berbasis di Brasil. Pada tahun 2021 perusahaan ini menjadi yang pertama di industrinya yang berkomitmen mencapai emisi nol bersih pada 2040 dan menghentikan deforestasi ilegal di Amazon dalam rantai pasoknya pada 2025.
Namun, belakangan ini perusahaan tersebut menarik kembali komitmennya. “Itu sebenarnya bukan janji bahwa JBS akan mewujudkan hal ini,” ujar Jason Weller, kepala keberlanjutan global JBS, mengatakan kepada Reuters.
Menurut laporan tersebut, daging sapi tetap menjadi pendorong utama deforestasi global, namun hanya 37% perusahaan yang terkait dengan daging sapi yang telah membuat komitmen untuk menangani masalah ini.
Peternakan sapi menyebabkan pembukaan hutan secara langsung—dengan menebang pohon untuk lahan penggembalaan—dan secara tidak langsung, ketika lahan digunakan untuk menanam pakan ternak seperti kedelai.
Sebaliknya, perusahaan justru paling banyak memiliki kebijakan non-deforestasi untuk minyak sawit (76%), yang menurut penilaian Global Canopy, terdapat dalam sekitar setengah dari seluruh produk kemasan di supermarket.
Enam belas perusahaan, termasuk Nestlé, Unilever, dan Mars, melaporkan telah menerapkan kebijakan perlindungan hutan yang menyeluruh dan mencakup seluruh rantai pasokan mereka.
L’Oréal telah menetapkan kebijakan kehutanan yang mewajibkan keterlacakan untuk semua bahan yang berbasis hutan, termasuk turunan minyak sawit dan kemasan berbahan dasar kayu.
Sementara itu, IKEA menyatakan tengah berupaya menggunakan hanya kayu bersertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) atau kayu daur ulang untuk semua produknya.

Keterbatasan Data
Penilaian Forest 500 didasarkan pada informasi yang tersedia untuk publik dan diterbitkan oleh perusahaan itu sendiri, sehingga lebih merupakan ukuran transparansi daripada evaluasi menyeluruh terhadap dampak langsung di lapangan.
Pendekatan ini berarti bahwa beberapa perusahaan mungkin melakukan tindakan yang tidak tercermin dalam laporan publik mereka, sementara yang lain mungkin memiliki kebijakan yang tampak baik di atas kertas, tetapi gagal dalam pelaksanaannya.
Laporan yang dikeluarkan ini mengakui keterbatasan data yang dilaporkan mandiri oleh perusahaan, meskipun kini semakin memberikan nilai lebih pada kemajuan yang telah diverifikasi secara independen oleh pihak ketiga.
Perlu dicatat bahwa setengah dari total skor sebuah perusahaan kini ditentukan oleh informasi yang mereka laporkan terkait implementasi dari komitmen mereka.
Menurut analisis ekonomi dalam laporan tersebut, mengabaikan deforestasi akan membawa kerugian besar bagi dunia usaha. Riset memprediksi bahwa bisnis di sektor agribisnis dapat kehilangan hingga 26% dari nilai mereka pada tahun 2030 jika tren deforestasi saat ini terus berlanjut.
Risiko finansial ini disebut sudah mulai terasa melalui bencana terkait iklim. Harga kopi dan kakao meningkat akibat kegagalan panen di berbagai wilayah, sementara petani kedelai di Amazon mengalami penurunan hasil panen karena deforestasi mengganggu pola curah hujan dan mempersingkat musim tanam.
Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) akan yang mulai berlaku pada akhir tahun 2025, mewajibkan perusahaan membuktikan bahwa produk mereka tidak terkait dengan deforestasi sebelum dapat dipasarkan di wilayah Uni Eropa.
“Perusahaan tahu bahwa mereka harus bertindak sekarang untuk membangun proses dan sistem pelaporan yang tepat,” ujar Thomson.

Penghormatan terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat dan Lokal
Laporan tersebut menyoroti kesenjangan yang mengkhawatirkan antara komitmen lingkungan dan hak asasi manusia. Hanya 9% perusahaan yang menjanjikan toleransi-nol terhadap kekerasan terhadap para pembela hutan, padahal lebih dari 2.000 orang telah terbunuh saat melindungi tanah atau lingkungan sejak 2012.
Kurang dari seperempat perusahaan secara terbuka berkomitmen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, dan hanya 4% yang menunjukkan bukti penerapan enam langkah perlindungan hak asasi manusia yang dinilai dalam laporan tersebut.
“Jika kita ingin menjaga hutan tetap berdiri, kita harus menyadari bahwa hal ini bergantung pada perlindungan terhadap mereka yang menyebut hutan sebagai rumah,” ujar Laura Furones, penasihat senior kampanye pembela tanah dan lingkungan di LSM Global Witness.
“Menghadapi darurat iklim yang semakin memburuk dan menegakkan hak asasi manusia harus berjalan beriringan.”
Laporan ini dirilis menjelang konferensi iklim COP30 yang akan berlangsung di Belém, Brasil, pada November mendatang, di mana isu kehutanan akan menjadi salah satu fokus utama.
Emma Thomson menyerukan agar konferensi ini menghidupkan kembali semangat seperti yang terlihat di COP26 di Glasgow, ketika hampir seluruh negara berjanji untuk menghentikan deforestasi pada 2030.
“Kita perlu para pemimpin yang mau mengakui bahwa mereka meleset dari target, alih-alih diam-diam membatalkan komitmen mereka,” katanya. “Mereka harus mengakui bahwa tenggat waktu yang telah ditentukan tidak tercapai, sehingga perlu penetapan tujuan baru yang ambisius, dan bekerja sama antar pihak dengan lebih baik.”
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 29 April 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
Foto utama: Pembalakan hutan di Kalimantan. Foto: Rhett A. Butler / Mongabay.