Penelitian: Kulit Manusia Kalah Cepat Sembuh dari Simpanse dan Primata Lainnya

11 hours ago 4
  •  Penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the Royal Society B menunjukkan bahwa laju penyembuhan luka pada manusia hanya sekitar 0,25 mm per hari—sekitar tiga kali lebih lambat dibandingkan simpanse, babun, dan monyet lainnya yang menunjukkan rata-rata 0,61 mm per hari.
  • Para ilmuwan menduga bahwa evolusi manusia yang meningkatkan jumlah kelenjar keringat untuk mendukung pendinginan tubuh dan perkembangan otak besar secara tidak langsung menyebabkan penurunan folikel rambut serta penebalan epidermis, dua faktor yang memperlambat regenerasi kulit.

  • Temuan ini membuka jalan bagi pengembangan terapi berbasis sel punca, rekayasa genetik, dan teknologi perban cerdas dengan meniru mekanisme penyembuhan cepat yang dimiliki primata non-manusia dan hewan pengerat seperti tikus.

Jika selama ini kita menganggap bahwa luka kecil di kulit manusia akan sembuh dengan cepat, temuan ilmiah terbaru justru menyampaikan hal sebaliknya—dan dalam cara yang cukup mengejutkan. Menurut studi yang diterbitkan di Proceedings of the Royal Society B pada April 2025, kecepatan penyembuhan luka pada manusia ternyata sekitar tiga kali lebih lambat dibandingkan simpanse, babun, dan beberapa spesies monyet lainnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting tentang bagaimana proses penyembuhan luka bekerja dalam tubuh manusia, dan apa yang membedakannya dari kerabat dekat kita di dunia hewan.

Riset ini dipimpin oleh Dr. Akiko Matsumoto-Oda dari University of the Ryukyus, Jepang, bekerja sama dengan ilmuwan dari Kyoto University, Kenya Institute of Primate Research, dan Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) di Prancis. Dengan melibatkan subjek manusia, empat spesies primata non-manusia, serta hewan pengerat seperti tikus dan mencit, studi ini menjadi salah satu yang paling komprehensif dalam memahami laju penyembuhan luka lintas spesies. Para peneliti merancang eksperimen terstandar untuk memastikan bahwa perbandingan antarspesies dilakukan secara adil dan ilmiah, termasuk mengontrol variabel seperti lokasi luka, pengukuran area luka, dan pengamatan berkala selama proses penyembuhan.

Perbandingan Laju Penyembuhan Luka antar Spesies

Dalam eksperimen tersebut, para peneliti mengukur seberapa cepat tepi luka saling mendekat dari waktu ke waktu pada masing-masing spesies. Hasilnya menunjukkan bahwa pada primata non-manusia dan hewan pengerat, rata-rata kecepatan penutupan luka mencapai 0,61 mm per hari. Sebaliknya, pada manusia, kecepatan ini hanya mencapai 0,25 mm per hari. Perbedaan ini bersifat konsisten dalam semua pengamatan, dan yang paling menarik: simpanse—kerabat terdekat manusia secara evolusioner—memiliki laju penyembuhan yang jauh lebih cepat. Hal ini menimbulkan implikasi evolusioner yang mendalam, karena menunjukkan bahwa lambatnya penyembuhan luka bukanlah sifat umum dalam kelompok primata, melainkan sesuatu yang unik pada manusia.

Simpanse yang saling berinteraksi | Gambar oleh Herusutimbul melalui Wikimedia Commons ( CC BY-SA 4.0 ).Simpanse yang saling berinteraksi | Gambar oleh Herusutimbul melalui Wikimedia Commons ( CC BY-SA 4.0 ).

Tak ditemukan perbedaan signifikan antara primata satu dengan yang lain, maupun antara primata dan tikus, sehingga manusia menjadi satu-satunya anomali dalam pohon primata yang mengalami perlambatan penyembuhan luka secara drastis. Temuan ini mendorong pertanyaan lanjutan: jika manusia secara evolusioner unggul dalam aspek-aspek lain seperti kapasitas otak dan kemampuan bertahan hidup, mengapa justru kalah dalam hal mendasar seperti kecepatan regenerasi jaringan kulit? Untuk menjawab hal itu, para ilmuwan mulai menelusuri jejak evolusi kulit manusia dan faktor-faktor biologis yang mungkin berperan di dalamnya.

Selain simpanse, studi ini juga mencakup spesies primata besar lain seperti babun (Papio anubis), monyet vervet (Chlorocebus pygerythrus), dan monyet Sykes (Cercopithecus albogularis), yang semuanya menunjukkan kemampuan regenerasi kulit yang jauh lebih baik dibandingkan manusia. Ke depan, penelitian serupa pada gorila dan orangutan juga diharapkan dapat memperluas pemahaman kita mengenai pola penyembuhan pada primata besar, sekaligus menguatkan hipotesis bahwa perlambatan penyembuhan luka merupakan ciri khas evolusi manusia modern.

Faktor Evolusioner yang Memengaruhi Proses Penyembuhan pada Manusia

Menurut para peneliti, lambatnya regenerasi kulit manusia disebabkan oleh sejumlah perubahan fisiologis dan struktural yang terjadi sepanjang evolusi. Salah satu faktor kunci adalah berkurangnya kepadatan folikel rambut pada tubuh manusia. Folikel rambut bukan sekadar tempat tumbuhnya rambut, tetapi juga menjadi tempat penyimpanan sel punca (stem cells) yang memainkan peran penting dalam memperbaiki jaringan kulit yang rusak. Pada spesies yang memiliki lebih banyak rambut tubuh, setiap folikel memberikan potensi tambahan untuk proses regeneratif.

Monyet Vervet (Chlorocebus pygerythrus) adalah jenis monyet Dunia Lama yang berasal dari Afrika. | Thomas Shahan via Animalia CC BY-SA 3.0Monyet Vervet (Chlorocebus pygerythrus) adalah jenis monyet Dunia Lama yang berasal dari Afrika. | Thomas Shahan via Animalia CC BY-SA 3.0

Selain itu, manusia telah berevolusi dengan sistem kelenjar keringat yang sangat berkembang—sekitar 3 hingga 4 juta unit tersebar di seluruh permukaan tubuh. Jumlah ini sekitar 10 kali lebih banyak dibandingkan primata lainnya. Kelenjar ini mendukung kemampuan tubuh untuk mendinginkan diri saat beraktivitas, terutama dalam kondisi panas. Namun, keunggulan ini datang dengan konsekuensi evolusioner: menurunnya jumlah folikel rambut dan berubahnya struktur kulit, yang secara langsung memperlambat kemampuan tubuh dalam memperbaiki luka.

Tak hanya itu, lapisan epidermis manusia juga lebih tebal dibandingkan primata lain. Ketebalan ini mungkin membantu melindungi dari sinar ultraviolet atau abrasi lingkungan, tetapi juga memperlambat proses re-epitelisasi, yakni fase utama dalam proses penyembuhan luka. Kombinasi dari rendahnya folikel rambut, tingginya kelenjar keringat, dan epidermis yang menebal menciptakan kondisi di mana kulit manusia lebih tahan terhadap lingkungan, namun kurang efisien dalam memperbaiki dirinya sendiri.

Peran Sistem Sosial dalam Menopang Ketahanan Fisiologis

Meski secara biologis manusia memiliki kelemahan dalam penyembuhan luka, evolusi sosial dan budaya kita menawarkan kompensasi yang unik. Manusia adalah satu-satunya spesies yang secara konsisten membangun sistem perawatan, mulai dari pengobatan tradisional hingga dukungan kelompok. Bukti arkeologis dari Homo erectus yang bertahan hidup tanpa gigi hingga Neanderthal yang hidup hingga usia tua meski mengalami trauma berat menunjukkan bahwa manusia telah lama menggantikan kelemahan biologis mereka dengan kekuatan kolektif.

Dalam konteks ini, ketahanan bukan hanya soal anatomi atau fisiologi, tetapi juga tentang kemampuan manusia untuk beradaptasi melalui kerja sama. Penggunaan tanaman obat, teknik merawat luka, serta distribusi makanan untuk anggota kelompok yang sakit adalah contoh nyata dari bagaimana budaya manusia mengisi celah-celah yang ditinggalkan oleh proses biologis. Hal ini menggarisbawahi betapa kuatnya hubungan antara evolusi biologis dan evolusi sosial dalam membentuk karakteristik spesies manusia.

Kontribusi Penelitian bagi Ilmu Kedokteran Regeneratif

Temuan ini bukan sekadar menarik secara akademis, tetapi juga membawa potensi besar bagi dunia medis modern. Dalam banyak kasus, penyembuhan luka yang lambat menjadi kendala serius—terutama bagi pasien lanjut usia, penderita diabetes, atau mereka yang mengalami gangguan sistem imun. Mengetahui bahwa spesies lain memiliki mekanisme alami yang lebih efisien dapat membuka jalan bagi pengembangan strategi penyembuhan yang lebih cepat dan lebih efektif pada manusia.

Misalnya, terapi sel punca menjadi salah satu pendekatan yang menjanjikan. Dengan mempelajari bagaimana folikel rambut pada primata atau sel-sel kulit tikus mengaktifkan proses penyembuhan, kita bisa mereplikasi mekanisme serupa dalam pengobatan manusia. Pendekatan lain seperti rekayasa genetik juga mulai menjanjikan hasil, khususnya manipulasi gen seperti Engrailed-1 yang mengatur keseimbangan antara pembentukan folikel rambut dan kelenjar keringat.

Selain itu, teknologi seperti perban cerdas—yang mampu memantau suhu, kelembapan, dan potensi infeksi secara real time—sedang dikembangkan untuk mempercepat pemulihan luka. Semua pendekatan ini menunjukkan bahwa studi lintas spesies tak hanya memberikan pemahaman tentang perbedaan biologis, tetapi juga berkontribusi langsung pada inovasi di bidang biomedis dan teknik jaringan.

Pemahaman Evolusioner untuk Solusi Medis Masa Depan

Pada akhirnya, penelitian ini tidak hanya menjelaskan satu aspek biologis yang unik pada manusia, tetapi juga menjadi cerminan dari bagaimana evolusi membentuk anatomi, fungsi, dan adaptasi spesies kita. Dalam perlombaan antara kecanggihan otak dan kekuatan tubuh, manusia mungkin kehilangan beberapa kemampuan regeneratif, tetapi menebusnya melalui inovasi, kerja sama sosial, dan kemampuan beradaptasi.

Dengan menengok ke masa lalu dan membandingkan diri dengan spesies lain yang lebih efisien dalam penyembuhan luka, kita justru dapat menemukan kunci-kunci baru bagi pengobatan masa depan. Dari kulit simpanse hingga jaringan tikus, alam mungkin masih menyimpan rahasia yang belum sepenuhnya kita pahami—dan riset seperti ini membawa kita satu langkah lebih dekat untuk mengungkapnya.

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|