Mendorong Kawasan Konservasi Perairan di Kepulauan Tanakeke

1 day ago 6
  • Pemerintah Sulawesi Selatan mencadangkan Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar sebagai salah satu kawasan konservasi daerah (KKD) Sulawesi Selatan perairan seluas 11.372 hektar. 
  • Alasan pengusulan KKD di Kepulauan Tanakeke karena keberadaannya memiliki fungsi ekosistem serta kerentanannya sebagai pulau kecil sangat tinggi, yang bisa mempengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat. Aktivitas alih fungsi lahan dan destructive fishing sangat tinggi, meskipun juga memiliki banyak potensi yang dikembangkan.
  • Tantangan terbesar yang dihadapi adalah memastikan tata kelola KKD secara berkelanjutan dalam jangka panjang, yang tentunya membutuhkan komitmen politik yang kuat serta dukungan anggaran.
  • Target untuk KKD Sulsel sendiri seluas 1 juta hektar, dengan realisasi sebesar 832.000 hektar. Jika KKD Kepulauan Tanakeke dan Lanjukang sudah ditetapkan maka telah tercapai 98% dari target, sisanya sebesar 2% berada di Luwu Raya yang direncanakan penyelesaiannya pada 2027 mendatang.

Pemerintah Sulawesi Selatan melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil sedang mendorong kawasan konservasi perairan daerah (KKD). Dua lokasi yang mereka usulkan Lanjukang (Makassar) dan Kepulauan Tanakeke (Takalar) dengan target tuntas tahun ini. 

Khusus untuk KKD Kepulauan Tanakeke, sudah ada pencadangan melalui Peraturan Daerah (Perda) Sulawesi Selatan Nomor 2/2019 seluas 11.372 hektar. Usulan KKD Tanakeke muncul dari Blue Forests, organisasi fokus pada pulau secara  berkelanjutan.

Mustika Permata Sari, Ocean Specialists di Blue Forests mengatakan, ada sejumlah alasan terkait usulan KKD di Tanakeke. Salah satunya, karena pulau ini memiliki fungsi ekosistem, sekaligus  kerentanan tinggi yang berpotensi mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat.

“Hal lain adalah keragaman hayati dan bentang alam. Jadi kami bekerja sama dengan Smilo Sustainable Island untuk tata kelola dalam pulau berkelanjutan dan pelestarian alam,” ungkap Mustika dalam pertemuan Pokja KKD di kantor Dinas Kelautan dan Perikanan, Sulawesi Selatan, 22 April lalu. 

Dalam rangka kedaulatan pangan, masyarakat Kepualauan Tanakeke mengembangkan pertanian organik, sebagai salah satu bentuk resiliensi masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Tanakeke memiliki banyak potensi seperti perikanan tangkap kakap, kerapu, gurita dan kepiting bakau dan rajungan. Potensi lain berupa perikanan budidaya udang, ikan, kepiting, rumput laut, kuda laut, di dalam tambak dan keramba kerapu, kakap dan teripang.

Pulau ini juga sangat potensial pengembangan pariwisata bahari, wisata mangrove, pasir putih, wisata selam, terumbu karang, lamun dan wisata pemancingan. Tak terkecuali potensi sumber daya alam berupa ekosistem pesisir.

“Untuk target konservasi Tanakeke memiliki dugong, kuda laut dan penyu,” kata Mustika.

Meski begitu, Tanakeke juga hadapi sejumlah tantangan seperti ketersediaan akses air bersih, listrik, BBM, serta pengelolaan limbah yang belum terkelola dengan baik. 

Tantangan lainnya juga berkaitan dengan alih fungsi lahan mangrove untuk tambak. Dari sekitar 1.776 hektar mangrove di Tanakeke sejak tahun 1970-an, berkurang 1.200 hektar di tahun 2000 yang dialihkan menjadi tambak. Saat ini, luas mangrove terisa 576 hektar.

Selain itu, penebangan mangrove untuk arang juga sangat tinggi, khususnya semenjak pandemi covid. Pembuatan arang biasanya dilakukan oleh pemilik modal yang disebut ponggawa cumi yang memperoleh bahan baku mangrove dari warga. 

Warga yang memiliki mangrove dengan usia minimal tujuh tahun dan sudah layak tebang menjual kayu mangrove tersebut kepada ponggawa cumi. Harga jual untuk satu hektar lahan mangrove berkisar antara Rp5-20 juta rupiah, tergantung pada jumlah biomassa mangrove yang terdapat di area tersebut. 

Setelah tercapai kesepakatan jual-beli antara pemilik lahan dan ponggawa cumi, proses penebangan dalam waktu maksimal tiga bulan. Sebelum tanah bekas tebangan menjadi terlalu keras, pemilik lahan akan segera melakukan penanaman kembali dengan bibit mangrove baru.

“Selain itu, perubahan iklim dan cuaca ekstrem juga menjadi faktor penyebab urgensi perlindungan kawasan, karena telah menyebabkan abrasi pantai di beberapa lokasi dan kerusakan lainnya.”

Pulau Tanakeke, Sulawesi Selatan (Sulsel) yang diusulkan sebagai Kawasan Konservasi Daerah (KKD). Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Harapan pada rumput laut

Rumput laut sempat menjadi primadona bagi masyarakat Tanakeke tetapi menurun sejak 2012, hingga masyarakat mencari sumber penghidupan baru. Kualitas rumput tersisa pun terus menurun dari tahun ke tahun. “Hal lainnya adalah penggunaan pupuk kimia yang masif mempengaruhi kualitas perairan.”

Yusran Nurdin Massa, Enviromental Technical Advisor di Blue Forests, mengatakan, proses penetapan kawasan konservasi pesisir dan laut di tingkat provinsi hampir tuntas. Kalau KKD Lanjukang dan Tanakeke bisa tahun ini, 98% kawasan yang telah dicadangkan dalam RTRW integrasi akan resmi ditetapkan. 

“Dukungan dari berbagai pihak baik masyarakat, pemerintah, NGO, maupun sektor swasta, sangat mendorong kelancaran proses ini.”

Hanya saja, katanya, tantangan terbesar adalah memastikan tata kelola KKD secara berkelanjutan dalam jangka panjang, yang membutuhkan komitmen politik kuat serta dukungan anggaran.

Yusran bilang, pembiayaan berkelanjutan menjadi pekerjaan rumah utama dalam menjamin keberlanjutan tata kelola KKD ini. Karena itu, sangat penting bagi semua pihak untuk mulai mengidentifikasi dan mendiskusikan sumber-sumber pendanaan berkelanjutan.

Beberapa potensi sumber pendanaan yang dapat diupayakan antara lain kerja sama dengan swasta, melalui skema tanggung jawab sosial perusahaan maupun green investment, serta mengajak investor  fokus pada aspek environmental-social-governance (ESG) untuk berinvestasi pada proyek-proyek konservasi, seperti ekowisata, blue carbon, atau budidaya laut berkelanjutan. 

Skema lain adalah payment for ecosystem services (PES) atau imbal jasa lingkungan, dengan mendorong sektor swasta yang memanfaatkan jasa ekosistem untuk berkontribusi. Selain itu, peluang dari kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang tengah digaungkan pemerintah juga dapat dimanfaatkan.

Aktivitas pengawasan oleh Pokmaswas untuk antisipasi praktik destructive fishing dan penebangan mangrove liar di Pulau Tanakeke. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Masniah Djabir, Sekretaris Dinas Kelautan dan Perikanan Sulsel, mengatakan, aspek-aspek penting yang perlu dipercepat selain penetapan KKD adalah terkait juga upaya pencapaian tujuan konservasi. Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya nanti adalah jika KKD tersebut jauh dari jangkauan dinas.

“Ini berkaitan pemahaman masyarakat. Karena ada anggapan bahwa penetapan kawasan konservasi membatasi akses. Sehingga, pemberian pemahaman menjadi penting agar pemanfaatan bisa berkelanjutan,” katanya. Menurutnya, kunci keberhasilan KKD adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Abdul Muas, Kepala Bidang Kelautan dan Pesisir DKP Sulsel, bilang, target KKD seluas 1 juta hektar, dengan realisasi 832.000 hektar. Kalau KKD Kepulauan Tanakeke dan Lanjukang sudah ada penetapan maka tercapai 98% dari target, sisanya 2% di Luwu Raya yang  penyelesaian  pada 2027.

*****

Pokmaswas, Garda Terdepan Penjaga Laut dan Pesisir di Kepulauan Tanakeke

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|