- Sebanyak 1.769 masyarakat adat Baduy dari Desa Kanekes, Lebak, Banten, memenuhi Gedung Negara Pemerintah Provinsi Banten di Kota Serang, Sabtu (3/5/2025). Pelbagai macam hasil bumi, seperti pisang, beras, ketan, honje atau kecombrang, talas, gula aren, serta perlengkapan masak tradisional, mereka bawa dan serahkan pada Abah Gede, sebutan untuk Gubernur Banten.
- Masyarakat adat Baduy meminta nilai-nilai ekologis yang mereka junjung tinggi, seperti larangan menebang pohon sembarangan dan menjaga kesucian sungai, sejatinya sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. “Menta dijaga, menta diraksa ka cara ka pangagung (minta dijaga, minta dirawat dengan cara para pemimpin),” ucap Jaro Warega.
- Jaro Oom, tokoh adat Baduy, dalam kesempatan tersebut menyebut, hutan titipan berada di luar wilayah ulayat mereka. Akan tetapi, ada tanggung jawab moral untuk menjaga hutan warisan nenek moyang itu. “Leuweung titipan parantos ruksak di sabagéan wewengkon Bayah (hutan titipan sudah rusak di sebagian wilayah Bayah).”
- Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. dalam acara “Bincang Pariwisata dan Budaya” di sela kegiatan Seba Baduy yang berlangsung di Balai Budaya, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, Jumat (2/5/2025), berseru, Pemda harus menjaga Masyarakat Adat Baduy dengan cara membesarkannya dan melindungi hukum adatnya.
Sebanyak 1.769 Masyarakat Adat Baduy dari Desa Kanekes, Lebak, Banten, memenuhi Gedung Negara Pemerintah Banten di Kota Serang, Sabtu (3/5/25). Pelbagai macam hasil bumi, seperti pisang, beras, ketan, honje atau kecombrang, talas, gula aren, serta perlengkapan masak tradisional, mereka bawa dan serahkan pada Abah Gede, sebutan untuk Gubernur Banten.
Kegiatan itu merupakan ritual adat tahunan Seba Baduy, atau penyerahan hasil bumi sebagai ungkapan syukur. Tradisi ini bukan sekadar seremoni, juga sarana komunikasi Masyarakat Adat Baduy dengan pemerintah. Lewat momen ini, warga Baduy menyampaikan harapan mereka secara langsung.
Salah satunya, permintaan menjaga kelestarian alam mulai kelestarian hutan dan gunung dengan tak boleh tebang pohon di hutan, sampai tak boleh kotori sungai.
Semua menjadi bagian penting bagi kelangsungan hidup Masyarakat Adat Baduy. Mereka memandang hutan dan sungai sebagai penopang utama kehidupan.
“Menta dijaga, menta diraksa ka cara ka pangagung (minta dijaga, minta dirawat dengan cara para pemimpin),” kata Jaro Warega, tokoh adat Baduy, saat tuturan serah Seba.
Masyarakat Adat Baduy punya nilai-nilai ekologis yang mereka junjung tinggi, seperti larangan menebang pohon sembarangan dan menjaga kesucian sungai, sejatinya sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Mereka khawatir ekspansi perkebunan, tambang, hingga pariwisata tak terkendali di sekitar wilayah adat menimbulkan kerusakan lingkungan. Tahun 2019, misal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bentar Banten melaporkan sejumlah penambangan pasir ilegal, salah satunya penambangan pasir Mitra Geomix di Kampung Gunung Bungbang, Desa Ciginggang, Kecamatan Gunung Kencana, Kabupaten Lebak.
Selain itu, leuweung titipan (hutan titipan) Orang Baduy di Gunung Madur, Gunung Kembang, dan Karang Bokor, tengah kritis. Kawasan itu masuk dalam kelola Perum Perhutani, perkebunan Gunung Madur, dan operasi pabrik semen PT Cemindo Gemilang atau Semen Merah Putih yang beroperasi di Kecamatan Bayah, Lebak.
Jaro mengatakan, hutan titipan berada di luar wilayah ulayat mereka. Akan tetapi, ada tanggung jawab moral untuk menjaga hutan warisan nenek moyang itu.
“Leuweung titipan parantos ruksak di sabagéan wewengkon Bayah (hutan titipan sudah rusak di sebagian wilayah Bayah).”
Kerusakan hutan ini juga membuat tanaman obat mereka tergerus. Padahal, mereka mengandalkan pengobatan tradisional, apalagi bagi Baduy dalam yang hidup jauh dari akses layanan kesehatan.
Mereka juga meminta kepada Andra Soni, Gubernur Banten, memfasilitasi anti bisa ular. Pasalnya, risiko gigitan ular masih tinggi di wilayah mereka. Tidak ada tanaman obat membuat pilihan pengobatan mereka jadi terbatas.
Andra langsung memerintahkan Dinas Kesehatan Banten dan instansi terkait untuk memastikan distribusi dan ketersediaan obat anti bisa ular di wilayah-wilayah yang membutuhkan.
“Saya sangat memahami pentingnya obat anti bisa ular bagi masyarakat Baduy, mengingat kondisi geografis mereka.”

Pentingnya Perda Adat
Dalam kesempatan itu, masyarakat adat Baduy juga mengingatkan, soal pentingnya pengakuan dan perlindungan hak mereka melalui regulasi, seperti Peraturan Daerah (Perda) tentang Masyarakat Adat.
Sampai sekarang, perda ini masih belum terealisasi. Padahal, regulasi ini krusial untuk menjamin kepastian hak wilayah adat, tata sumber daya alam, hingga pelestarian nilai-nilai budaya Baduy.
“Kami hoyong dilindungi hoyong dikhususkan RUU Perda Desa Adat, tingkat Lebak, pusat, bahkan dikhususkan perdana,” kata Jaro.
Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam acara “Bincang Pariwisata dan Budaya” di sela Seba Baduy di Balai Budaya, Rangkasbitung, 2 Mei lalu mengatakan, pemerintah daerah harus menjaga Masyarakat Adat Baduy dengan cara memastikan perlindungan hak mereka.
“Pemerintah daerah seharusnya menjaga Baduy, bukan pengembangan pariwisata di Baduy-nya. Baduy-nya besarkan, hukum adat Baduy lindungi, jika Baduy sudah besar dengan tatanan-tatanan sesuai dengan hukum adat, maka dengan sendirinya pariwisata di Baduy akan ikut besar.”
Selama ini, katanya, hak Masyarakat Adat Baduy yang tidak pemerintah akomodir. Terutama Pemerintah Desa Kanekes yang menjadi korban regulasi, hingga tidak bisa mengakses anggaran desa dari pemerintah daerah maupun pusat.
Pemerintah daerah, katanya, harus bisa mendampingi Desa Kanekes yang merupakan desa adat di Baduy. Bukan sekadar mengubah status desa dinas jadi desa adat, juga harus bertanggung jawab mengurus administrasi desa adatnya.
“Ini penting agar cantolan jelas dan Masyarakat Adat Baduy bisa mendapatkan hak-haknya sebagai pengelola pemerintahan desa adat di Baduy.”
Dia kritik, pemerintah daerah yang lebih fokus pada pengembangan konsep pariwisata di Baduy, ketimbang kesakralan budaya dan hukum adatnya. Contoh, saat acara Seba Baduy yang sakral, justru banyak oknum pemerintah manfaatkan.
“Masyarakat Adat Baduy hanya jadi komoditas oleh pihak-pihak tertentu yang berlindung di balik kata ‘ikut serta merawat, menjaga dan melestarikan budaya’. Eksploitasi budaya merusak tatanan adat dan tradisi Masyarakat Adat Baduy.”

*****