- Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pandeglang, terhadap vonis bebas Liem Hoo Kwan Willy alias Willy, pada kasus perburuan badak jawa.
- MA menyatakan Willy terlibat dalam kasus transaksi jual beli cula badak hasil perburuan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dia dijerat Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
- Willy dipidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp100 juta, subsider kurungan penjara selama 3 bulan.
- Keputusan MA menjadi sinyal penting bahwa hukum Indonesia tidak memberikan toleransi terhadap kejahatan satwa liar dilindungi.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Pandeglang, terhadap vonis bebas Liem Hoo Kwan Willy alias Willy, pada kasus perburuan badak jawa.
MA menyatakan Willy terlibat dalam kasus transaksi jual beli cula badak hasil perburuan di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Dia dijerat Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 Ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
“Menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dan denda Rp100 juta, subsider kurungan penjara selama 3 bulan,” jelas putusan Mahkamah Agung, Sabtu (26/4/2025).
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, yang diketuai Ageng Priambodo Pamungkas, memvonis bebas Willy dalam sidang yang digelar Selasa [27/8/2024].
Majelis Hakim berpendapat, Willy tidak terlibat dalam transaksi penjualan cula badak jawa, hasil perburuan tahun 2020 sampai 2022, di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], Pandeglang, Banten. Meskipun, dua alat bukti berupa 1 unit telepon genggam Iphone dan 3 lembar tangkapan layar percakapan di aplikasi WhatsApp serta WeChat, jelas menunjukkan kejahatan besar tersebut.
“Dakwaan Pasal 40 ayat [2] juncto Pasal 21 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, diputuskan gugur,” ucap Ageng.
Terhadap putusan bebas tersebut, sebagaimana yang telah diberitakan Mongabay, JPU Abrian Rahmat menyatakan kasasi.
Baca: Willy Divonis Bebas Kasus Perdagangan Cula Badak Jawa, Jaksa Ajukan Kasasi

Nanda Nababan, Koordinator Advokat dan Peneliti Kejahatan Satwa Liar Indonesia (APKSLI), menyatakan keputusan MA menjadi sinyal penting bahwa hukum Indonesia tidak memberikan toleransi terhadap kejahatan satwa liar dilindungi.
“Eksekusi Willy perlu ditangani serius. Mengingat, empat orang lagi masuk daftar pencarian orang (DPO),” jelasnya, Rabu (30/4/2025).
Selain itu, fakta yang belum terungkap adalah berapa banyak individu badak jawa [Rhinoceros sondaicus] yang dibunuh. Berdasarkan pengakuan para terdakwa hanya 11 cula yang mereka jual, sementara temuan awal yang dirilis Polda Banten sebanyak 26 badak mati diburu.
“Dari awal, kami amati jalannya perkara ini cukup rumit. Banyak hal belum terungkap.”
Baca: Sidang Perburuan Badak Jawa: 6 Pelaku Dijerat UU Darurat dan Konservasi

Perburuan badak jawa
Nanda menegaskan, kasasi ini bukan soal pidana. Utamanya, membongkar relasi. Faktanya, tidak mungkin para pelaku yang berdomisili di perbatasan hutan Ujung Kulon mendapatkan senjata ilegal hingga kemampuan mengorganisir kejahatan.
“Perburuan ini sangat terstruktur, kejahatannya terpola.”
Asas In Dubio Pro Natura oleh hakim MA menjadi jalan demi penyelamatan habitat terakhir satwa langka tersebut. Akibat kasus perburuan besar ini, badak jawa berada di bibir jurang kepunahan.
APKSLI berencana melakukan mediasi agar segera dilakukan eksekusi terkait barang bukti meliputi senjata api, bubuk mesiu, serta alat berburu. Ada juga flashdisk berupa peta dan data informasi badak jawa yang sampai saat ini belum diamankan kembali oleh pihak TNUK.
“Jika tidak segera ditindaklanjuti, dikhawatirkan menjadi kejahatan baru,” tegasnya.
Baca juga: 4,5 Tahun Penjara, Vonis Hakim untuk Perantara Penjual Cula Badak Jawa

Momentum menuntut pelaku kejahatan
Marsya Handayani, peneliti dari Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), menyebut kasasi MA menjadi momentum untuk menuntut pelaku kejahatan satwa liar dan lingkungan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Pihak TNUK bisa menggugat keadilan terhadap kerusakan ekosistem, terlebih penggantian kerugian pun belum dijelaskan. Meski alam atau lingkungan memungkinkan memulihkan dirinya sendiri, tetapi jangka waktu yang dibutuhkan sangat lama.”
Marsya menilai, terdapat peluang pengembangan kebijakan pidana pemulihan untuk menjamin pidana benar-benar dilaksanakan terdakwa. Ada Pasal 54 ayat (1) UU No. 32/2009, tentang pelaksanaan pemulihan fungsi lingkungan hidup bagi setiap orang yang melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Ada juga Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.48 Tahun 2014, tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.
Upaya hukum lanjutan penting, karena kawasan hidup badak jawa menyempit. Belum lagi peluang berkembang biaknya yang lambat, akibat perburuan dan ancaman perkawinan sedarah.
“Kekhawatiran terbesar tentu bagaimana jika badak jawa tidak mampu bereproduksi untuk menambah populasi lagi,” ujarnya.
Menurut penelitian, badak jawa dikenal sebagai penjelajah. Dengan bobot 1-2 ton, mereka dapat menempuh jarak sekitar 3 kilometer setiap hari untuk mencari makan dan berkubang. Dengan luas TNUK 1.229,56 kilometer persegi, idealnya kawasan yang dibuat Belanda sebagai kawasan konservasi ini, cukup bisa melindungi badak jawa dari gangguan.
Marsya menjelaskan, kasus perburuan badak jawa seharusnya menjadi titik balik penerapan Pasal 98 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Selain pidana, pelaku yang memperoleh keuntungan dari hasil tindak pidana lingkungan dapat dikenakan sanksi TPPU, termasuk perampasan aset.
“Itu tergantung pihak TNUK, sebagai wali dari badak jawa dan hutan Ujung Kulon, akan melakukan gugatan atau menerima pidana saja,” tegasnya.

Jejak baru tiga anak badak
Taman Nasional Ujung Kulon berhasil mengidentifikasi tiga anak badak Jawa baru melalui jejak tapak dan kamera trap, menunjukkan keberhasilan konservasi satwa langka ini. Penemuan jejak pertama dan kedua berukuran 20-21 cm ditemukan pada 14 Februari di wilayah selatan semenanjung, diikuti jejak ketiga berukuran 19-20 cm pada 20 April di area konsentrasi badak terbesar.
Satyawan Pudyatmoko, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Kehutanan, dikutip dari Tempo, menyatakan temuan ini didukung sistem perlindungan penuh yang menutup Semenanjung Ujung Kulon dari aktivitas manusia.
“Keberhasilan ini berkat penggunaan “Spatially explicit model” dengan pemasangan kamera sistematis dalam 35 kluster. Ada empat kamera trap untuk setiap kluster, sehingga berpotensi menangkap jejak terbaru,” ujarnya, Sabtu (4/5/2025).
Badak Jawa, yang berstatus Critically Endangered menurut IUCN, dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.