Berbagai Kalangan Ingatkan Bahaya Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi

4 weeks ago 48
  • Belum 100 hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sudah muncul rencana yang mengkhawatirkan. Pemerintah menyatakan, mau buka 20 hektar hutan untuk sumber ketahanan pangan, energi dan air mengkhawatirkan berbagai kalangan.  Ide ini bakal memperparah kerusakan lingkungan, berujung krisis iklim dan bencana. 
  • Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan adanya potensi sekitar 1,1 juta hektar lahan yang bisa menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun. Salah satu komoditas unggulan yang akan dikembangkan yakni padi gogo yang dapat budidaya  di lahan kering dan tanaman aren sebagai sumber bioetanol.
  • Supintri Yohar, Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara menyoroti risiko  bencana karena nafsu pemerintah buka hutan besar-besaran ini. Apalagi,kalau  pembukaan di hutan primer.
  • Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan,  rencana pemerintah ini berisiko menggerus masyarakat adat dari ruang hidup. Hutan-hutan alam di wilayah adat terancam. Masyarakat adat,  menjadi pihak paling rentan karena tidak ada  kepastian hukum soal perlindungan mereka. 

Belum 100 hari Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sudah muncul rencana yang mengkhawatirkan. Pemerintah menyatakan, mau buka 20 hektar hutan untuk sumber ketahanan pangan, energi dan air mengkhawatirkan berbagai kalangan.  Ide ini bakal memperparah kerusakan lingkungan, berujung krisis iklim dan bencana.  

Pembukaan hutan seluas dua kali pulau Jawa ini akan mendongkrak deforestasi Indonesia yang menurut data Global Forest Watch (GFW) periode 2001-2022 mencapai 10.295.005 hektar. Langkah ini pun tak  sejalan dengan komitmen net zero emission (NZE) pemerintah, bahkan  memicu konflik dengan masyarakat adat dan ancaman bencana. 

Sebelumnya, Menteri Kehutanan (Menhut) Raja Juli Antoni mengatakan adanya potensi sekitar 1,1 juta hektar lahan yang bisa menghasilkan hingga 3,5 juta ton beras per tahun. Salah satu komoditas unggulan yang akan dikembangkan yakni padi gogo yang dapat budidaya  di lahan kering dan tanaman aren sebagai sumber bioetanol.

“Satu  hektar aren mampu menghasilkan 24.000 kilo liter bioetanol. Jika kita menanam 1,5 juta hektar aren, kita bisa menghasilkan 24 juta kiloliter bioetanol, yang dapat menggantikan impor BBM sebesar 26 juta kiloliter,” katanya  usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin30 Desember 2024, seperti dilansir Kompas.com.

Konsep ini, katanya,  akan memperluas‘program ketahanan pangan atau food estate dari skala besar hingga kecil seperti di tingkat kecamatan sampai desa. Raja bilang, Kementerian kehutanan hanya berperan sebagai penyedia lahan, sementara swasembada pangan dan energi olehKkementerian Pertanian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM).

Amelya Reza Oktaviani, Manajer Program Bioenergi Trend Asia mengatakan,  penyediaan kawasan hutan untuk energi bukan hal baru. Rencana ini sudah ada  dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, serta penggunaan kawasan hutan.

“Itu disebutkan juga kawasan hutan produksi konversi dicadangkan untuk pertahanan pangan dan energi,” katanya  kepada Mongabay.

Kendati demikian, katanya, rencana itu merupakan kabar buruk. Masih ada sumber energi lain ketimbang mengorbankan hutan hampir setengah Pulau Kalimantan. 

Program bioenergi yang berjalan saat ini pun membutuhkan lahan tidak sedikit. Catatan Amel, ada 2,3 juta hektar lahan untuk hutan tanaman energi (HTE) 52 PLTU co-firing. Luasan itu di luar kebutuhan biomassa untuk pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) yang akan terbangun di setiap provinsi.

Petugas di Kabupaten PPU berjibaku mengevakuasi warga Sepaku yang terdampak banjir. Ketika tutupan hutan  hilang,  risiko bencana makin meningkat. Foto: dokumentasi BPBD PPU

Ada juga biofuel dari minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dan bioetanol dari tetesan gula. Dalam kebijakan biofuel atau B50, setidaknya butuh 9,2 juta hektar lahan untuk produksi CPO. Bioetanol melahap 2 juta hektar lahan hutan di Merauke, Papua Selatan.

“Tiga jenis bioenergi butuh kawasan hutan,” katanya.

Ketiganya juga ada di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Dalam regulasi itu, bioenergi akan didorong menjadi bahan bakar utama dan menyumbang bauran energi terbarukan nasional. 

“Makanya  kabar pembukaan lahan 20 juta hektar ini kabar buruk karena seharusnya kita bisa tidak memakai energi itu, kita bisa memakai sumber-sumber energi lain, dibandingkan bioenergi.” 

Satu sisi,  pemerintah juga tidak transparan dalam pengembangan bioenegi ini ini. Misal,  informasi soal emisi.

“Emisi dari pembukaan hutan dan lahan itu berapa? Emisi dari pembakaran biomassa atau biofuel di pembangkit listrik maupun di transportasi itu berapa? Itu kan tidak pernah dibuka pemerintah. Nah, itu patut dipertanyakan apakah transisinya itu layak dari segi pengurangan emisi atau tidak.” 

Supintri Yohar, Direktur Kehutanan Yayasan Auriga Nusantara menyoroti risiko  bencana karena nafsu pemerintah buka hutan besar-besaran ini. Apalagi,kalau  pembukaan di hutan primer.

“Karena menanam sawit, tanaman energi atau padi dalam kawasan hutan artinya mengubah bentang alam dan tutupan hutan saat ini. Ini jelas dapat meningkatkan potensi bencana,” katanya.

Praktik ini,  akan membebani fungsi ekologis hutan dalam menyeimbangkan ekosistem. Saat ini saja, 30 juta hektar kawasan hutan Indonesia di dalam perizinan konsesi kehutanan sudah terdegradasi.

Dalam jangka panjang, daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak akan mampu menahan tekanan. “Menurut saya proyek ini akan memicu bencana ekologis lebih besar dan memperburuk perubahan iklim.” 

Menurut Amel, rencana pemerintah membuka 20 juta hektar hutan merupakan langkah mundur dan kontradiktif. Pasalnya, dalam COP29 di Azerbaijan, pemerintah berkomitmen melakukan reforestasi atau pengembalian tutupan hutan seluas 12,7 juta hektar, sebagaimana Hashim Djojohadikusumo, sampaikan, sebagai delegasi Indonesia.

“Pembukaan 20 juta hektar  hutan ini memperjelas mereka akan deforestasi hutan untuk pangan dan energi,” katanya.

Deforestasi ini,  akan menyebabkan biodiversitas hutan hilang. Di Asia Tenggara dan Asia Selatan, Indonesia merupakan penyumbang spesies terancam punah paling banyak. Ada 2.432 jenis terancam punah di Indonesia, mulai dari mamalia, tumbuhan, hingga fungi. 

Tumbuhan menjadi penyumbang paling banyak. Ada 1.381 jenis tumbuhan di Indonesia terancam punah. Disusul oleh 212 jenis mamalia, 155 jenis burung, 181 jenis ikan, dan puluhan jenis dari amfibi, reptil, fungi, dan invertebrata lain.

“Terus kehilangan sumber pangan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, kehilangan sumber air, terus meningkatnya bencana, bencana longsor, kekeringan maupun banjir, bandang,” kata Amel.

Senada, Pius Ginting, Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) menyebut,  pemerintah sudah memiliki target forestry and other land uses (FoLU) Net Sink 2030 sebagai langkah mengatasi krisis iklim. 

Aktivis menyaksikan kebakaran lahan gambut di eks lahan gambut proyek pangan sejuta hektar, pada 20 September 2012 di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Foto: Greenpeace

FoLu  ingin Indonesia capai pada 2030, dengan serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lebih tinggi dari emisi. Dengan strategi ini berkontribusi hampir 60% dari target penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia. 

“Ketika hutan  dibuang, membuat kemampuan serapan dari emisi itu juga akan berkurang. Belum lagi nanti terjadi land clearing,” katanya.

Dia mengingatkan, Indonesia punya Biodiversity Strategy Action Plan (IBSAP) 2025-2045. Dokumen ini merupakan panduan strategis untuk mengelola kekayaan alam Indonesia secara lebih cerdas dan berkelanjutan.

Panduan itu, kata Pius, sebagai tindak lanjut dari pertemuan The United Nations Convention on Biological Diversity (UNCBD). Dalam pertemuan itu disepakati pada 2030, 30% wilayah daratan, perairan pedalaman, dan wilayah pesisir dan laut akan dilindungi.

“Kita harus menambah wilayah yang dilindungi namanya area preservasi. Strategi untuk area preservasi ini menjadi nggak efektif kalau pada sisi lain membuka 20 juta hektar hutan.” 

Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia,memprediksi proyek pemerintah ini akan menggagalkan komitmen iklim Indonesia.  Dalam nationally determined contributions (NDC), Indonesia menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca 31,89% pada 2030, dan dengan bantuan internasional (conditional) naik dari 41% menjadi 43,2%. 

Rio, panggilan akrabnya, menyebut, proyek 20 juta hektar ini bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia.

“Indonesia adalah negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Proyek 20 juta hektar hutan akan memperburuk dampak perubahan iklim, karena emisi dari sektor tata guna lahan akan meningkat secara signifikan,” katanya.

Menurut dia, Kementerian Kehutanan harus bisa menjadi penjaga hutan. Bukan menjamin ketersediaan lahan untuk proyek ini.

Pembukaan lahan oleh perusahaan sawit di lahan food estate sawah Kalteng. Foto: Pantau Gambut

Solusi palsu

Rio menyebut,  pembukaan hutan 20 juta hektar untuk pangan merupakan solusi palsu mengatasi krisis pangan. Yang ada, malah memperparah krisis iklim yang merupakan akar dari krisis pangan.

Pemerintah dia sebut salah kaprah melihat cara pembangunan kedaulatan pangan dan energi. Laporan tim ilmuwan  Global Carbon Project dalam jurnal Earth System Science Data yang rilis akhir 2023 menyebut,  emisi karbon dioksida (CO2) global pada 2023 terus mengalami kenaikan, bahkan menduduki tingkat tertinggi dalam sejarah. Indonesia pun menempati posisi kedua sebagai negara penghasil emisi terbesar di dunia dalam sektor lahan.

“Jika produksi pangan dibangun dalam skala besar dan siklusnya berdampak pada krisis iklim, justru hasil produksi pangan akan menurun. Karena itu, pemerintah keliru menyikapi masalah pangan dengan solusi pembukaan lahan dalam skala besar,” katanya.

Rio menyebut, kebijakan pangan saat ini berfokus pada korporasi, bukan kesejahteraan petani. Posisi petani sebagai produsen pangan akan berganti korporasi. Model ini, katanya,  mengancam eksistensi petani.

Padahal, katanya, produksi pangan seharusnya berlandaskan konsep yang mendukung penyelamatan alam, dengan melibatkan petani. Produsen pangan ini memiliki kearifan lokal dalam mengelola pertanian secara beragam dan berkelanjutan.

Pemerintah, katanya, cukup menyediakan sarana produksi,memberikan kepastian lahan, serta mengembangkan teknologi pertanian untuk para petani. Langkah ini bisa mengatasi krisis pangan tanpa harus mengorbankan jutaan hektar hutan.

Negara untung, dan petani sejahtera karena bisa terus menyediakan pangan. “Sayangnya, pemerintah saat ini justru memprioritaskan pertanian kepada korporasi. Kebijakan ini seakan memberikan ‘karpet merah’ bagi korporasi, memungkinkan mereka mengakumulasi keuntungan di atas krisis lingkungan dan krisis pangan yang makin mendalam.” 

Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, hal sama. Pemerintah, tunduk pada korporasi. Penguasaan hutan oleh korporasi ini dia sebut menimbulkan berbagai persoalan dan krisis. 

“Narasi pemerintah memastikan swasembada pangan dan energi hanya sebagai tempelan untuk melegitimasi penyerahan lahan secara besar-besaran kepada korporasi, dan untuk memastikan bisnis pangan dan energi bisa terus membesar serta meluas,” katanya.

Selama pangan dan energi masih dalam kerangka bisnis, keadilan bagi rakyat dan lingkungan hidup tidak akan pernah tercapai. Masalah dan krisis sosial-ekologis justru akan menjadi lebih parah dan dalam. Padahal, pangan dan energi merupakan hak dasar yang harus terpenuhi negara secara adil dan berkelanjutan.

Kalau  pemerintah ingin penuhi pangan dan energi secara adil dan berkelanjutan, katanya, harus  jadikan rakyat sebagai aktor utama dalam produksi pangan dan energi. Dia bilang,  pengakuan dan perlindungan hak rakyat atas wilayahnya menjadi hal terpenting.

“Sumber dan pengelolaan pangan dan energi juga harus berasal dan sesuai dengan karakteristik wilayah tempat dimana pangan dan energi dihasilkan.” 

Roni Septian Maulana, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan dan Pengembangan Jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menilai,  pemerintah harus fokus pada pemberdayaan petani. Harus ada kebijakan tepat untuk mendukung petani. Seperti penyediaan teknologi, perbaikan infrastruktur pertanian, dan perbaikan benih. Petani, katanya,  pasti mampu produksi pangan sesuai dengan kebutuhan negara. Dengan cara ini, katanya, tidak perlu menambah masalah baru, apalagi dapat menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor.

“Proyek 20 juta hektar untuk pangan dan energi ini hanya akan menambah masalah baru. Proyek ini hanya menguntungkan korporasi saja.” 

Pemilik ulayat di Merauke, Papua Selatan, yang aksi di Jakarta. Mereka khawatir ruang hidup hilang ketika hadir bisnis pangan skala besar lewat food estate cetak sawah di Merauke. Foto: Greenpeace

Picu konflik

Salah satu masalah yang bisa muncul  dari nafsu pemerintah membuka 20 juta hektar hutan adalah eskalasi konflik terhadap masyarakat adat dan komunitas lokal di sekitar hutan. Pada praktik transisi energ, i misal, kata Amel  pemerintah kerap mengesampingkan nasib masyarakat terdampak.

Timbul  konflik di wilayah-wilayah hutan bakal  terjadi. “Karena banyak kawasan hutan kita yang menjadi wilayah komunitas adat, jadi konflik pasti makin meningkat dengan program ini.” 

Data KPA, sekitar 4.472 konflik pada 12 juta hektar lahan yang berdampak pada 2,6 juta petani pada 2005-2024. Sektor-sektor seperti perkebunan (sawit), properti, infrastruktur, kehutanan, pertambangan, hingga pertanian menjadi penyumbang utama konflik agraria di Indonesia.

Roni mengatakan,  industri ekstraktif baru pasti memicu konflik agraria. Pun demikian dengan proyek dalam 20 juta hektar hutan  rencana untuk pangan dan energi ini.

Roni pun mempertanyakan hutan untuk proyek ini. Menurut dia, hampir tak ada kawasan  hutan tersisa, sebagian besar ‘milik’  industri ekstraktif berbagai sektor.

“Proyek ini bisa masuk akal jika pemerintah mengambil alih sebagian wilayah yang dikuasai perusahaan-perusahaan saat ini. Jika pemerintah berniat membuka lahan baru, itu perlu dipertanyakan.” 

Data Yayasan Auriga Nusantara dan Walhi 2022, sekitar 30.322.634 hektar kawasan hutan sudah dalam kuasa  ratusan korporasi pemegangp perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH), dalam bentuk kegiatan penebangan kayu selektif atau logging maupun kebun kayu. Ada sekitar 10 juta hektar konsesi tambang di Indonesia.

Data wilayah adat yang ada peta partisipatif mencakup 30 juta hektar. Luas perhutanan sosial di Indonesia per September 2023 tercatat 6,3 juta hektar. Data KPA mencatat,  tanah pertanian masyarakat 22 juta hektar.

Potret ini, kata Roni, membuktikan hampir tidak ada lagi tanah atau lahan untuk proyek pangan dan energi yang membutuhkan 20 juta hektar. Mega proyek pemerintah ini sangat tidak masuk akal.

“Proyek 20 juta hektar ini sangat paradoks. Pasalnya, pemerintah merencanakan untuk mencapai swasembada pangan pada 2025, sisi lain, lahan pangan masyarakat yang sudah ada justru berisiko dikonversi. Ini sangat aneh dan tidak masuk akal.” 

Pemerintah,  seharusnya fokus pada revitalisasi lahan pertanian yang ada dan melibatkan petani dalam proses produksi pangan, bukan menggantikan mereka dengan korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan.

Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan,  rencana pemerintah ini berisiko menggerus masyarakat adat dari ruang hidup. Hutan-hutan alam di wilayah adat terancam.

Masyarakat adat,  menjadi pihak paling rentan karena tidak ada  kepastian hukum soal perlindungan mereka. Sudah lebih satu dekade, katanya,  Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat belum juga pemerintah dan DPR sahkan.

Saat ini, kata Rukka, sekitar 30 juta hektar wilayah adat sudah mereka serahkan  kepada negara untuk jadi hutan adat, tetapi baru penetaoan 265.000 hektar. Padahal, katanya, 60% wilayah adat berada dalam kawasan hutan.

“Pelanggaran hak, dan kekerasan terhadap masyarakat adat banyak sekali terjadi dalam kawasan hutan,” kata Rukka kepada Mongabay.

Tanpa perlindungan masyarakat adat, hutan yang selama ini mereka jaga justru dianggap sebagai tanah kosong dan klaim sebagai hutan negara. Situasi ini, berisiko memicu pelanggaran HAM.

Awal 2014, kata Rukka, Komnas HAM melakukan Inkuiri Nasional terkait pelanggaran hak masyarakat adat di kawasan hutan. Langkah ini sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan, hutan adat bukan hutan negara.

Hutan alam terbabat di Gorontalo untuk HTE. Foto: FWI

Inkuiri Nasional mengidentifikasi apa saja karakter dan bentuk kekerasan yang masyarakat adat alami dalam kawasan hutan karena  Undang-undang Kehutanan.

Presiden Prabowo, kata Rukka,  mestinya membuka laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM itu, menyelesaikan masalah, dan membahas langkah selanjutnya terkait pengelolaan kawasan hutan. Klaim kawasan hutan di wilayah adat juga harus segera ada kejelasan.

Dia bilang, wilayah adat yang selama ini pemerintah klaim sebagai kawasan hutan harus segera rekognisi dan kembalikan kepada masyarakat adat. 

Belum lagi, katanya, indonesia punya komitmen dan target capaian mengatasi perubahan iklim tinggi sekali. “Kok malah mau rusak hutan. Apalagi, hutan itu sudah sumber kedaulatan pangan, kok malah mau dirusak,” kata Rukka.

Marthin Hadiwinata, Koordinator FIAN Indonesia, mengatakan, model penyediaan pangan yang pemerintah dorong  merupakan pengulangan dari model yang gagal. Pengembangan pangan skala besar seperti food estate dengan sistem tanam paksa tidak menguntungkan, merusak lingkungan dan menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Pemerintah tidak melibatkan publik, organisasi masyarakat sipil, dalam model-model pengembangan pangan.” 

Komite HAM PBB, katanya, pernah kaji program pangan yang pemerintah jalankan. Satu poin dalam kajian itu, meminta konsultasi publik terhadap petani kecil dan masyarakat adat.

“Yang ada, kita sekarang banyak melibatkan militer. Ini berarti penyingkiran petani dan masyarakat sebagai produsen pangan secara sistematis,”katanya.

Lahan sudah dibersihkan untuk cetak sawah food estate di Merauke, Papua. Foto: Yayasan Pusaka

********

Jutaan Hektar jadi Kebun Tebu, Was-was Nasib Orang Papua

, , , , , , , , , , ,

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|