- Nelayan dari suku Bajo di Desa Monsongan, sebuah desa kecil di Kecamatan Banggai Selatan, Kabupaten Banggai Laut, Provinsi Sulawesi Tengah, mengenal tradisi melaut yang disebut babangi yang bisa diartikan sebagai perjalanan nelayan mengarungi lautan hingga ‘bermalam’ berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan di laut.
- Selama masa babangi, para nelayan tinggal di babaroh, rumah singgah di atas atol atau pulau. Beberapa babaroh milik kerabat, namun ada juga yang dibangun secara kolektif dan hanya digunakan saat musim tangkap.
- Babangi adalah wujud hubungan manusia dengan alam yang lebih dari sekadar eksploitasi sumber daya. Ia adalah narasi hidup, perubahan, dan perlawanan terhadap ketimpangan
- Lembaga Maritim Nusantara (Lemsa) bersama Burung Indonesia menjalankan program perikanan skala kecil berkelanjutan di Desa Monsongan. Mereka mendorong pengawasan berbasis masyarakat dan upaya rehabilitasi terumbu karang.
Di bawah langit biru dan terik matahari, gelombang kecil memecah sunyi pagi. Beberapa perahu ketinting meninggalkan pesisir Monsongan, sebuah desa kecil di Kecamatan Banggai Selatan, Kabupaten Banggai Laut, Sulawesi Tengah (Sulteng). Deru mesin menyayat keheningan, pertanda sekelompok nelayan Bajo memulai perjalanan panjang yang mereka sebut babangi, tradisi melaut warisan lintas generasi.
Komunitas Bajo di Monsongan telah hadir sejak awal 1940-an. Mereka terkenal sebagai suku pelaut yang hidup berpindah-pindah, menjadikan perahu sebagai rumah, dan laut sebagai ruang hidup utama.
Dahulu, orang Bajo menggantungkan hidup dari hasil tangkapan yang mereka tukar dengan beras, sagu, atau umbi-umbian dari daratan. Kisah-kisah para leluhur yang bisa “memanggil angin” agar layar kembali mengembang masih hidup dalam cerita tutur, menjadi bagian dari kosmos pengetahuan orang Bajo yang membentang di antara langit dan laut.
Para nelayan Bajo dulu melaut dengan perahu layar beratap, menangkap ikan dasar menggunakan pancing, dan hasilnya mereka barter. Memasuki era 1980-an, kehidupan melaut mulai berubah. Mesin menggantikan layar, pukat menggantikan pancing tradisional. Kapal-kapal pengepul dari luar daerah, terutama dari Kendari, mulai rutin datang, membawa uang tunai dan sistem pemasaran baru. Hasil tangkapan seperti kakap, kerapu, sunu, bubara, dan katamba menjadi komoditas bernilai tinggi.

Babangi atau ada juga yang menyebutnya bangi-bangi secara harfiah berarti dengan bemalam-malam. Sebutan itu merujuk pada perjalanan nelayan mengarungi lautan hingga ‘bermalam’ berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan di laut.
Tradisi ini adalah bentuk melaut jarak jauh yang dilakukan musiman. Para nelayan bergerak ke lokasi tangkap di luar wilayah desa, seperti Rep Pedal, Matilla, Mandebolu, hingga Telungan.
“Dulu, perjalanan ini bisa berlangsung hingga berbulan-bulan, bahkan membawa serta keluarga. Rumah-rumah semi permanen dibangun di atas atol atau pulau kecil sebagai tempat tinggal selama babangi,” kata Muhammad Idhan, Social Enviromental Advisor, Lembaga Maritim Nusantara (Lemsa), belum lama ini.
Kini, babangi telah beradaptasi. Para nelayan laki-laki pergi dalam kelompok kecil berisi lima hingga enam perahu. Istri dan anak-anak tak lagi turut serta, namun tetap terlibat secara simbolik. Di rumah, perempuan menjalankan pantangan selama suami melaut, tidak membuang abu dapur, arang, atau sampah sapuan hingga suami pulang.
“Praktik ini memperlihatkan bagaimana relasi sosial, nilai-nilai spiritual, dan kerja kolektif tetap hidup meski dalam bentuk-bentuk baru,” tambah Idhan.
Selama masa babangi, para nelayan tinggal di babaroh, rumah singgah di atas atol atau pulau. Beberapa babaroh milik kerabat, namun ada juga yang dibangun secara kolektif dan hanya digunakan saat musim tangkap. Bahan bakar, air tawar, dan beras dibawa dari desa.
“Jika ada yang kekurangan, mereka saling membantu. Solidaritas ini menjadi modal sosial penting dalam menghadapi risiko: perahu rusak, sakit mendadak, atau hasil tangkap yang sedikit,” katanya.
Babangi, bukan sekadar praktik ekonomi, juga bentuk kebudayaan, pengetahuan navigasi, etika kolektif, hingga aturan tak tertulis antara manusia dan laut.
“Dulu, kami tinggal lama di Mandebolu, bawa anak, istri, beras banyak. Sekarang kami pergi dua minggu, paling lama lima belas hari,” cerita Anwar, nelayan yang bersiap membawa es batu dan logistik ke perahu.
Namun, tidak semua nelayan bisa ikut babangi. Rama, seorang nelayan muda, memilih mencari gurita di sekitar Pulau Bandang.
“Saya tidak pergi babangi. Mesin saya punya perahu kecil dan sering rusak. Kalau bukan musim gurita, saya ikut bapak mertua pergi bapuka (red-memancing ikan karang),” ujarnya.
Pilihan Rama bukan semata keterbatasan, tetapi juga bentuk adaptasi. Ia menyiasati kondisi sosial ekonominya dengan cara yang aman dan efisien. Gurita memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan tidak memerlukan modal besar.

Menangkap dengan ramah
Meski jalur dan durasi berubah, seluruh praktik melaut nelayan Bajo Monsongan masih sangat bergantung pada kondisi ekosistem. Lokasi tangkap yang disebut nelayan sebagai rep adalah areal terumbu karang. Mereka menggunakan alat tangkap ramah lingkungan seperti pancing, jaring kecil, dan panah, agar tak merusak terumbu karang.
Bagi nelayan Bajo, Terumbu karang yang sehat adalah jantung kehidupan bagi ikan karang dan gurita. Kerusakan karang berarti ancaman langsung bagi keberlanjutan mata pencaharian.
Kesadaran itu tumbuh di kalangan nelayan. Lemsa bersama Burung Indonesia menjalankan program perikanan skala kecil berkelanjutan di Desa Monsongan. Mereka mendorong pengawasan berbasis masyarakat dan upaya rehabilitasi terumbu karang. Beberapa nelayan bahkan mulai terlibat dalam pemetaan lokasi tangkap dan pembatasan alat tangkap destruktif.
“Kalau karang rusak, ikan tidak datang. Kita tidak bisa hidup,” ujar Rijal, nelayan yang juga aktif dalam kelompok pengawasan desa.
Sayangnya, tekanan terhadap laut Monsongan tidak sedikit. Aktivitas penangkapan berlebihan, alat tangkap destruktif dari luar desa, serta ketergantungan terhadap modal pengepul membuat nelayan rentan secara ekonomi.
Biaya babangi tidak murah, bisa jutaan rupiah untuk satu perjalanan. Banyak nelayan meminjam uang atau logistik dari pengepul, dengan syarat seluruh hasil tangkap harus dijual kembali pada mereka.
Ketergantungan ini membentuk lingkaran setan: modal datang dengan harga, dan kadang nelayan terjebak dalam utang yang berulang. Namun di balik itu semua, tradisi dan solidaritas tetap menjadi kekuatan.

Menurut Idhan, dari Monsongan, kita belajar bahwa keberlanjutan tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial. Pelestarian laut tidak cukup dengan aturan konservasi dari atas, tetapi juga perlu pengakuan terhadap tradisi dan cara hidup komunitas yang menggantungkan hidup pada laut.
“Babangi adalah wujud hubungan manusia dengan alam yang lebih dari sekadar eksploitasi sumber daya. Ia adalah narasi hidup, perubahan, dan perlawanan terhadap ketimpangan.”
*****
Terapkan Buka Tutup Tangkap Gurita, Lanjukang Masih Hadapi Sejumlah Tantangan