Di hampir seluruh negara, penilaian lingkungan (environmental assessment/EA) sangatlah penting untuk memastikan pembangunan yang bertanggung jawab. Namun, sering kali kepentingannya diabaikan, khususnya dalam proyek pemerintah yang bertujuan mengejar pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, hal ini terlihat pada sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti Eco City di Rempang, Kepulauan Riau, Proyek Food Estate dan Energi di Merauke, Kawasan Industri Nikel di Halmahera, Maluku Utara dan proyek Smelter Nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, yang tidak memiliki kajian AMDAL yang memadai.
Meskipun menjanjikan secara ekonomi, sebenarnya proyek-proyek tersebut berjalan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan yang menyeluruh, sehingga menimbulkan kekhawatiran atas potensi dampak ekologis, sosial, serta ekonomi.
Padahal, kerangka regulasi sudah diatur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan Perpu Cipta Kerja (Omnibus Law) yang bertujuan merampingkan proses regulasi.
Meski penilaian lingkungan penting bagi pembangunan berkelanjutan dianggap penting, proyek-proyek strategis Indonesia belakangan ini menunjukkan tren yang memprihatinkan di mana penilaian lingkungan kerap diabaikan karena dianggap menghambat pembangunan atau secara khusus pertumbuhan industri dan keuntungan ekonomi.
Menghadapi situasi ini, pemerintah sering kali berkilah bahwa AMDAL akan disusulkan atau akan segera dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang cepat, bahkan terkadang hanya naskah akademik saja.
Tantangan Kelembagaan Pengawasan AMDAL
Melalui artikel “Environmental Impact Assessment (EIA) of Infrastructure Development Projects in Developing Countries” (Shah et al, 2010), dijelaskan bahwa banyak negara berkembang tidak memiliki kerangka hukum dan administrasi yang kuat serta konsisten untuk melakukan penilaian lingkungan, terutama AMDAL, sehingga implementasinya tidak efektif.
Indonesia juga menghadapi kendala serupa. Sebagai contoh, meskipun regulasi AMDAL sudah ada, mekanisme penegakan dan pengawasannya sering kali gagal memastikan penerapannya secara ketat, terutama sejak disahkannya Perppu Cipta Kerja.
Selain itu, Indonesia juga tidak memiliki pengadilan khusus lingkungan, sehingga urusan penegakkan pelanggaran lingkungan seringkali tidak berjalan maksimal, seringkali kasus lingkungan diabaikan dalam ranah hukum.
Peraturan baru dalam Perppu Cipta Kerja yang secara tidak langsung merevisi undang-undang PPLH memang sedari awal bertujuan merampingkan proses pengajuan izin usaha, yang sebelumnya dianggap terlalu berbelit dan tidak ramah investor.
Namun konsekuensinya, protokol AMDAL berubah dengan mengurangi keterlibatan dan pengawasan masyarakat. Regulasi ini pun turut membatasi partisipasi dalam konsultasi AMDAL yang hanya untuk masyarakat yang terdampak langsung, -yang perubahan perubahan signifikan dari cakupan lebih inklusif pada Undang-Undang PPLH sebelumnya.
Dengan mempersempit ruang partisipasi publik, pemerintah berpotensi mengabaikan suara organisasi lingkungan, civitas akademik dan masyarakat yang terdampak tidak langsung.
Selain itu, Perppu tersebut menghapus upaya hukum terhadap hasil AMDAL, sehingga akses masyarakat untuk menantang penilaian yang cacat menjadi terbatas.
Tanpa adanya proses keberatan, risiko AMDAL dilakukan dengan akuntabilitas rendah meningkat, sehingga keputusan yang diambil dapat membahayakan standar perlindungan lingkungan.
Padahal AMDAL merupakan instrumen penting untuk menjamin keberlanjutan lingkungan, karena merupakan komitmen dan panduan bagi pelaku ekonomi untuk menjaga kelestarian lingkungan di samping mereka melakukan aktivitas ekonomi.
Terakhir, Perppu Cipta Kerja tidak memiliki ketentuan eksplisit mengenai izin lingkungan, yang memungkinkan proyek berlangsung dengan campur tangan regulasi minimal. Meskipun perubahan ini dapat mempercepat proyek, dampaknya berisiko mengorbankan pengawasan lingkungan yang esensial.
Fokus pada Mengejar Percepatan Ekonomi
Agenda pembangunan ekonomi Indonesia, terutama melalui agenda PSN tampak lebih memprioritaskan keuntungan langsung dibandingkan keberlanjutan lingkungan.
Gambaran tersebut terlihat pada proyek Eco City di Rempang, Kepulauan Riau, di mana upaya menarik investor mempengaruhi standar pengawasan lingkungan. Proyek ini bertujuan membangun kawasan industri terpadu dan membuka lapangan kerja, tetapi mengabaikan ekosistem esensial pulau kecil.
Walhasil, pembangunan proyek ini akan semakin menyebabkan kerusakan pesisir, hilangnya mata pencaharian nelayan serta pemindahan masyarakat lokal tanpa memperhatikan studi lingkungan yang komprehensif.
Serupa dengan itu, Proyek Food Estate dan Energi di Papua juga bertujuan meningkatkan ketahanan pangan, khususnya sebagai respons atas potensi kekurangan pangan nasional. Meski urgensi produksi pangan dapat dipahami, proyek ini justru membuka lahan secara besar-besaran dengan melegalisasi deforestasi, membahayakan ekosistem lokal dan tanah adat.
Alih-alih niat ingin menguatkan pangan, proyek ini turut membabat hutan sagu yang merupakan pangan lokal masyarakat adat. Dengan mengesampingkan AMDAL yang komprehensif, proyek ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan ekologis, hilangnya pangan lokal dan keanekaragaman hayati setempat.
Di Halmahera, Maluku Utara, kepentingan ekonomi telah mendorong lahirnya kawasan industri nikel terpadu, sebagai respons atas meningkatnya permintaan nikel secara global untuk baterai kendaraan listrik.
Kawasan industri ini dibangun tanpa melalui penilaian AMDAL yang tepat, sehingga potensi dampak lingkungan seperti deforestasi, pencemaran logam berat terhadap sungai dan tanah tidak tampak.
Baru-baru ini saja, sudah terjadi banyak masalah di Halmahera, seperti rusaknya kawasan hutan sehingga mengganggu kehidupan masyarakat adat, sampai tercemarnya sumber air warga. Memprioritaskan keuntungan ekonomi di atas penilaian lingkungan akan menjadi preseden berbahaya dengan konsekuensi jangka panjang yakni rusaknya ekosistem lokal.
Kepentingan ekonomi juga telah mempengaruhi pembangunan industri smelter nikel di Morowali, Sulawesi Tengah.
Didorong oleh permintaan global akan nikel, yang penting dalam baterai kendaraan listrik. Industri ini menimbulkan banyak masalah, -termasuk beberapa kali terjadi peristiwa ledakan, serta menyebabkan pencemaran sungai dan tanah, deforestasi, serta mengganggu kehidupan warga sekitar, dan polusi udara yang semakin meningkat.
Sehingga dengan demikian, proyek-proyek tersebut dapat dipastikan akan merusak lingkungan, karena sedari awal tidak mempunyai komitmen pelestarian, sebagaimana prinsip AMDAL yang sesungguhnya yakni sebagai penanda komitmen pengelolaan yang berorientasi pada keberlanjutan dan mencegah kerusakan lingkungan yang masif.
Maka dalam kasus ini dapat ditarik sebuah catatan, bahwa memprioritaskan tujuan ekonomi daripada penilaian lingkungan akan menjadi preseden berbahaya yang dapat mengakibatkan konsekuensi jangka panjang yang serius.
Resiko Jangka Panjang Pengabaian AMDAL
Mengabaikan penilaian lingkungan dalam proyek pembangunan dapat memicu berbagai risiko jangka panjang, mulai dari kerusakan ekologis hingga perubahan stuktur sosial dan budaya.
Sebagai contoh, dalam pembangunan Eco City di Rempang, Kepulauan Riau, proyek besar-besaran tanpa penilaian lingkungan yang memadai akan berdampak negatif pada ekosistem pesisir, baik kawasan mangrove maupun terumbu karang di sekitar kawasan tersebut.
Padahal, mangrove dan terumbu karang bukan hanya mendukung keanekaragaman hayati laut, tetapi juga melindungi garis pantai dari erosi, serta menjadi rumah bagi beberapa jenis ikan.
Di sisi lain, proyek Food Estate dan Energi di Papua telah menyebabkan penggundulan hutan yang berdampak pada siklus air, penurunan biodiversitas, dan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Pendirian proyek industri seperti kawasan industri nikel di Halmahera, Maluku Utara dan smelter nikel di Morowali, Sulawesi Tengah berpotensi merusak hutan dan mencemari lingkungan jika tidak diawasi dengan ketat. Penambangan dan pengolahan nikel menghasilkan polutan yang meresap ke dalam sungai dan air tanah, mempengaruhi ekosistem dan persediaan air minum bagi penduduk setempat.
Sedangkan pada aspek sosial, pembangunan yang pesat tanpa penilaian lingkungan juga mengancam kesejahteraan masyarakat setempat, terutama masyarakat adat yang memiliki ikatan kuat dengan tanah mereka.
Di Papua dan Maluku Utara, hak atas tanah adat sering kali diabaikan dalam perencanaan proyek, mengakibatkan penggusuran, hilangnya sumber pangan dan memicu konflik sosial.
Ketika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses AMDAL, pembangunan bisa berjalan tanpa memperhitungkan dampak sosial dan budaya, yang dampak dari pengabaian tersebut sangat riskan dan berbahaya, yakni dapat menyebabkan hilangnya warisan budaya dan kearifan lokal.
Sebagai penutup, proyek-proyek strategis seperti Eco City Rempang, Kepulauan Riau, Food Estate Papua, Kawasan Industri Nikel Halmahera, Maluku Utara dan Smelter Nikel di Morowali, Sulawesi Tengah menunjukkan tren dampak negatif ketika pertumbuhan ekonomi yang cepat diprioritaskan tanpa penilaian lingkungan yang memadai.
Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, Indonesia perlu memperkuat komitmennya terhadap penilaian lingkungan melalui regulasi yang lebih ketat dan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal.
Penilaian lingkungan bukan sekadar hambatan birokrasi; ia merupakan alat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang menguntungkan generasi kini dan mendatang.
Sangat penting bagi pembuat kebijakan, pelaku bisnis, dan masyarakat untuk menyadari pentingnya penilaian lingkungan yang ketat demi menjaga keberlanjutan lingkungan, serta menghindari bencana yang merugikan semua pihak dimasa depan.
* Abdul Kodir, penulis adalah Mahasiswa Doktoral – University of York dan Staf Pengajar Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Malang ** Wahyu Eka Styawan, penulis adalah Direktur WALHI Jawa Timur. Artikel ini adalah opini penulis.
***
Foto utama: Pabrik smelter CORII di Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Dok: Jatam Sulteng
Catatan Akhir Tahun: Karut Marut Hilirisasi Nikel, Persulit Hidup Masyarakat, Lingkungan Makin Sakit