- Burung migran yang melintasi wilayah Indonesia terancam karena lahan basah terus beralih fungsi terutama untuk kepentingan industri. Padahal, ekosistem ini penting untuk mereka singgah dan mencari makan dalam perjalanan mereka mencari tempat yang lebih hangat saat musim dingin dan sebaliknya. Laporan Status Burung di Indonesia 2025, sebanyak 12 spesies burung di Indonesia mengalami peningkatan status keterancaman. Mayoritas adalah burung pantai migran.
- Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia, mengatakan, kegiatan industri yang merusak ekosistem, pencemaran, bencana alam, dan perubahan iklim, hingga ekspansi tambak dan industri pariwisata pesisir, jadi musabab hilangnya lahan basah tempat burung pantai bermigrasi.
- Degradasi lahan gambut jadi salah satu faktor rusaknya lahan basah yang menjadi habitat utama burung pantai. Kondisi ini mengakibatkan hilangnya sekitar 13 juta hektar kawasan gambut di Indonesia. Dari total 13,43 juta hektar lahan gambut yang ada, sekitar 39% atau setara 5,2 juta hektare berada di bawah pengelolaan perusahaan kehutanan dan perkebunan. Sekitar 8,23 juta hektar sisanya terletak di wilayah yang tak memiliki izin pengelolaan.
- Juma Maulana, Peneliti Pantau Gambut, bilang penurunan lahan gambut di pesisir mengancam habitat burung pantai. Air laut jadi naik, dan merubah hidrologi area tersebut.
Burung migran yang melintasi wilayah Indonesia terancam karena lahan basah terus beralih fungsi terutama untuk kepentingan industri. Padahal, ekosistem ini penting untuk mereka singgah dan mencari makan dalam perjalanan mereka mencari tempat yang lebih hangat saat musim dingin dan sebaliknya.
Laporan Status Burung di Indonesia 2025, sebanyak 12 spesies burung di Indonesia mengalami peningkatan status keterancaman. Mayoritas adalah burung pantai migran.
Dari laporan itu, delapan spesies burung pantai yang mengalami peningkatan status keterancaman dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN Red List), antara lain cerek besar (Pluvialis squatarola), trinil pembalik-batu (Arenaria interpres), kedidi paruh-lebar (Calidris falcinellus), dan kedidi golgol (Calidris ferruginea). Lalu, dunlin (Calidris alpina), kedidi dada-jingga (Calidris subruficollis), trinil-lumpur paruh-panjang (Limnodromus scolopaceus), dan trinil kaki-kuning (Tringa flavipes).
Setiap tahun, burung pantai bermigrasi atau melakukan perjalanan panjang dari tempat asalnya saat musim dingin menuju daerah lebih hangat untuk tinggal sementara waktu. Pada saat musim dingin berakhir, mereka akan kembali ke tempat asalnya.
Sebagian besar burung migran yang singgah di Indonesia berasal dari wilayah utara seperti Rusia dan Alaska, yang menempuh perjalanan panjang melalui Jalur Terbang Asia Timur-Australasia (East Asian-Australasian Flyway).
Selama migrasi, mereka bergantung pada keberadaan habitat lahan basah dan pesisir yang menyediakan tempat beristirahat serta sumber pakan. Sayangnya, konversi lahan di Indonesia jadi ancaman.
Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia, mengatakan, industri yang merusak ekosistem, pencemaran, ekspansi tambak dan industri pariwisata pesisir sampai bencana maupun perubahan iklim, jadi musabab hilangnya lahan basah tempat burung pantai bermigrasi.
Selain itu, penangkapan burung-burung migran untuk konsumsi atau dipelihara jadi ancaman bagi kelangsungan hidup populasi burung pantai ini.
“Kehilangan lahan basah dan wilayah pesisir akan menyebabkan burung pantai tidak dapat atau kesulitan memperoleh pakan serta tempat tinggal,” katanya kepada Mongabay, Selasa (22/2/25).
Hilangnya lahan basah mengancam kehidupan burung pantai selama berada di Indonesia, dan kemungkinan mereka tidak dapat kembali ke tempat asalnya. Kondisi itu, menyebabkan penurunan populasi burung pantai di alam.

Degradasi gambut
Degradasi lahan gambut jadi satu faktor kerusakan lahan basah yang menjadi habitat utama burung pantai. Dari sekitar 13,43 juta hektar lahan gambut di Indonesia, sekitar 39% atau setara 5,2 juta hektar berada di bawah pengelolaan perusahaan kehutanan dan perkebunan. Sekitar 8,23 juta hektar terletak di wilayah yang tak berizin pengelolaan.
Laporan Tenggelamnya Lahan Basah oleh Pantau Gambut, mengungkap, degradasi lahan gambut menyebabkan limpasan banjir yang menyebabkan kerusakan pada kawasan pesisir. Modifikasi bentang gambut jadi perkebunan monokultur menjadi pemicunya.
Kanalisasi membuat lahan gambut menjadi kering dan terbakar. Ujungnya, lahan gambut jadi turun (subsidence), menipis, bahkan hilang.
Juma Maulana, Peneliti Pantau Gambut, bilang, penurunan lahan gambut di pesisir mengancam habitat burung pantai. Air laut jadi naik, dan mengubah hidrologi area itu.
Selain itu, limpasan banjir juga menyebabkan kerusakan habitat dan penurunan ketersediaan pakan yang mengakibatkan sedimen dan polutan masif pada area pesisir. Akibatnya, sumber pakan burung yang tinggal pada habitat tersebut terancam hilang.
“Tentunya, ini akan menghilangkan fungsi utama lahan gambut, yakni penyimpan karbon, penyeimbang iklim, dan habitat bagi keanekaragaman hayati,” katanya pada Mongabay, Jumat (25/4/25).
Riset Pantau Gambut pun menyebut tingkat kerentanan banjir berada di tiga regional sebaran kesatuan hidrologis gambut (KHG) di Indonesia. Secara keseluruhan, 25% area KHG masuk dalam kategori kerentanan banjir tinggi, 18% dengan kerentanan sedang, dan 57% dengan kerentanan rendah.
Dari pengelompokan sebaran KHG, Regional Kalimantan tercatat dengan tingkat kerentanan banjir tertinggi, lalu Sumatera dan Papua. Provinsi dengan kerentanan banjir paling tinggi adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, dan Riau.


*****
Status Burung Liar Indonesia: 18 Jenis Membaik, Total 1.835 Spesies