Angka Kemiskinan di Balik Romantisme Pariwisata Jogja

13 hours ago 5
  • Pariwisata di Yogyakarta melonjak drastis, namun angka kemiskinan tetap yang tertinggi di Pulau Jawa sejak 2012.
  • WALHI menilai pertumbuhan ekonomi dari sektor wisata tidak dinikmati masyarakat lokal, melainkan hanya pemodal besar.
  • Alih fungsi lahan untuk pembangunan resort dan infrastruktur pariwisata menyebabkan penggusuran warga dan rusaknya lingkungan.
  • Ledakan wisata juga menimbulkan masalah baru seperti pembangunan yang tidak mempertimbangkan masyarakat lokal, konflik satwa dan timbunan sampah ribuan ton saat musim liburan.

Romantisme Kota Yogyakarta selalu lekat bagi para wisatawan. Ia dikenal sebagai kota budaya dan wisata dan kota pelajar. Ini yang menjadi daya tarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Meski begitu, penelitian WALHI Yogyakarta menyebutkan pertumbuhan pariwisata tak menghilangkan Yogyakarta menjadi provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. 

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta menyoroti keberhasilan ekonomi pada sektor pariwisata bertolak belakang dengan tingginya tingkat kemiskinan di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Laporan ‘Industri Pariwisata Jogja’ menyebut sektor pariwisata sebagai sumber ketidakadilan bagi masyarakat dan lingkungan di kota ini. 

“Nah, pertanyaannya,  pertumbuhan ekonomi itu meningkat tapi kemiskinan juga tetap tinggi,” jelas Muhammad Nasihudin, salah seorang penulis laporan Walhi. 

Lahan pertanian di pesisir Kulonprogo, Yogyakarta yang terancam tambang pasir. Petani terus berjuang mempertahankan ruang hidup mereka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Baca juga: Krisis Air Tanah di Yogyakarta

Kenaikan jumlah wisatawan melonjak 10 kali lipat dalam satu dekade terakhir. Pada tahun 2013,  jumlah wisatawan sekitar 3,8 juta, sekarang mencapai 38 juta wisatawan dalam satu tahun. Fakta ini yang membuat Jogja mendapat predikat ‘Bali Kedua.’

Bahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), pertumbuhan ekonomi DIY mencapai 5,05% pada kuartal ketiga 2024. Tapi, ada ironi di balik meningkatkan jumlah wisatawan dan pertumbuhan ekonomi yang diberikan kepada provinsi ini. Pasalnya, Jogja menjadi provinsi yang memiliki angka kemiskinan yang cukup tinggi. Bahkan, angka kemiskinannya paling tertinggi di pulau Jawa pada 2024, yakni 10,83%. Predikat ini sudah terjadi sejak 2012 lalu. 

“Ini menjadi ketimpangan sosial-ekologis yang melibatkan eksploitasi lahan, tekanan lingkungan, dan pengabaian kebutuhan masyarakat lokal,” ujar Nasihudin. Hal ini membuktikan, kata Nasihudin, kalau keuntungan dari pariwisata hanya dinikmati oleh para pemodal. Sedangkan, masyarakat lokal harus berhadapan dengan terbatasnya akses dan kerusakan lingkungan. 

“Pemerintah kalah dengan pemodal, dan warga yang jadi korbannya” sebut Nasihudin. 

Jogja Istimewa Hotelnya dan Jogja Asat, merupakan hasil karya seniman di Jogja mengkritisi marak pembangunan hotel di Jogja. Foto: Anti Tank

Baca juga: Lahan Subur Tergusur Pembangunan Bandara

Alih fungsi lahan dan ambisi pariwisata

Kabupaten Gunungkidul menjadi kawasan  cetak biru industri wisata Jogja. Total investasi yang digelontorkan dalam program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional DIY mencapai Rp 551 Miliar. Meski begitu, dalam lima tahun terakhir, data Badan Perencanaan Daerah Provinsi DIY (2024) mencatat Gunungkidul dan Bantul memiliki tingkat kemiskinan tertinggi.

Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) tahun 2023 mencatat lahan pertanian di provinsi Yogyakarta mengalami penurunan rata-rata 150-200 hektar per tahun. Bahkan pada tahun yang sama, di Gunung Kidul mengalami peningkatan alih fungsi mencapai 10.000 hektar. Salah satunya terjadi di Pantai Sanglen, Kemadang, kawasan Karst Tanjungsari. 

Meski wilayah tersebut masuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu, kini wilayah tersebut dibangun Resort Obelix Beach. Luasnya mencapai 6 hektar. “Warga dianggap tidak hygiene dan pariwisatanya kotor. Makanya ada obelix yang lebih bersih dan merusak,” ujar Dimas R. Perdana, Deputi Direktur Walhi Yogyakarta.

Pembukaan akses jalan untuk pembangunan Beach Club di KBAK Gunung Sewu, Kabupaten Gunung Kidul. Kegiatan ini disinyalir belum mengantongi izin. Foto: A.Asnawi/Mongabay Indonesia

Sementara itu, masyarakat sekitar pantai sanglen mengalami penggusuran dan harus kehilangan sumber pendapatan. Walhi Yogyakarta juga menemukan ketidaksesuaian laju kenaikan investasi dan tingkat kemiskinan di Gunung Kidul. Mereka mencatat bahwa dalil pengembangan pariwisata di kawasan karst untuk menjawab persoalan kemiskinan daerah tersebut tidak berjalan. 

Tak hanya itu, alih fungsi lahan turut menimbulkan konflik satwa. Pembangunan Jalan Jaringan Lintas Selatan (JJLS) di Yogyakarta juga merusak habitat monyet ekor panjang. Mereka kehilangan habitat dan sumber pakan. Hingga  dan mereka juga kehilangan akses ruang untuk mencari makanan. Akhirnya, lahan pertanian para petani menjadi korban.

Selain alih fungsi lahan, sektor pariwisata juga tak lepas dari masalah sampah. Terutama pada saat masa libur panjang. Misalnya saja, data Dinas Lingkungan Hidup menyebutkan selama Desember 2024 hingga 2 Januari 2025 industri wisata Jogja telah menghasilkan sampah sebesar 3.400 ton. 

*Bernardino Realino Arya Bagaskara, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Rio aktif sebagai jurnalis di pers mahasiswa Teras Pers. Dia memiliki minat pada isu sosial kemasyarakatan, termasuk lingkungan.

Tebar Janji Kelola Sampah di Pilkada Yogyakarta

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|