Melacak Burung Pitta: Spesies yang Terancam Hilang dari Pulau Sangihe

1 month ago 39
  • Burung endemik sangihe pitta, berada di habitat kaki gunung api aktif Gunung Awu dan kawah Gunung Sahendaruman, Pulau Sangihe, Sulawesi Utara.
  • Burung mungil berukuran 16-18 cm ini menjadi primadona fotografer alam liar karena memiliki warna menawan, yaitu merah kecokelatan dan garis hitam antara dada biru dan perut merahnya.
  • Burung ini berstatus G Dengan sebaran terbatas, populasinya diperkirakan hanya berjumlah 50-249 individu dewasa. Ancaman yang dihadapi adalah hilangnya habitat karena deforestasi dan juga pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian.
  • Pulau Sangihe kini menghadapi ancaman besar yaitu kehadiran industri pertambangan. Tidak hanya burung sangihe pitta yang terancam, juga akan merusak ekosistem alam dan tatanan masyarakat Pulau Sangihe.

Pagi di pertengahan Desember 2024. Belasan pasang mata, menyisir kawasan kaki Gunung Awu, gunung api aktif di Pulau Sangihe. Tujuan mereka satu, mengamati sangihe pitta, burung endemik yang berperan penting menebar biji dan menjaga kesehatan hutan Sangihe.

“Orang Sangihe menyebutnya lehongi. Burung berukuran kecil ini menjadi favorit fotografer alam liar mancanegara. Setiap tahun, mereka datang ke Sangihe hanya untuk memotretnya,” terang Ganjar Aprianto, Conservation Program Officer Burung Indonesia di Sangihe

Meski kicauannya sesekali terdengar, namun sosoknya tidak terlihat.

Kegigihan para birdwatcer, mencerminkan betapa pentingnya kegiatan konservasi bagi spesies berstatus Genting (Endangered) tersebut. Setiap upaya penyelamatan, termasuk pemantauan dan penelitian, merupakan momen krusial untuk memastikan kelestariannya di masa depan.

Baca: Ketika Pulau Sangihe Terancam Tambang Emas

Inilah burung sangihe pitta yang endemik Pulau Sangihe. Foto: Dok. Burung Indonesia/Ganjar Aprianto

Menurut Angga Yoga, Koordinator Program Burung Indonesia di Sangihe, kebiasaan utama Erythropitta caeruleitorques berada di naungan. Artinya, ia akan menghabiskan waktu lebih banyak di bawah atau tanah, yang membutuhkan naungan atau tutupan kanopi rapat.

“Ancaman utamanya adalah pembukaan lahan untuk perkebunan atau pertanian monokultur,” jelasnya.

Baca: Warga Gugat Hukum Izin PT Tambang Mas Sangihe

Burung ini disebut juga paok sangihe. Sementara sangihe pitta dikenal di kalangan internasional. Foto: Dok. Burung Indonesia/Ganjar Aprianto

Si Kecil Menawan

Sangihe pitta merupakan spesies endemik Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, Indonesia. Artinya, burung ini tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Ukurannya kecil, antara 16-18 cm, dengan kepala merah kecokelatan dan garis hitam antara dada birunya dan perut merah.

Burung ini tergolong dalam keluarga Pittidae, yang dikenal memiliki bulu cerah dan kebiasaan hidup di lantai hutan. Nama Indonesia disebut burung paok sangihe. Sementara sangihe pitta dikenal di kalangan internasional.

Berdasarkan penjelasan Birdlife International, jumlahnya dalam rentang antara 50-249 individu dewasa. Masih dari sumber yang sama, mengutip penelitian del Hoyo dkk., 2003, dijelaskan bahwa populasi spesies ini diduga mengalami penurunan karena rusaknya hutan dalam wilayah persebarannya yang terbatas.

Sangihe pitta hidup di hutan dataran rendah hingga ketinggian sekitar 600 meter, memakan serangga, siput, cacing, dan terkadang tumbuhan, serta bersarang di tanah atau tumbuhan rendah.

“Jenis ini ditemukan terutama di lereng Gunung Awu dan sekitar kawah Sahendaruman, namun dengan kepadatan berbeda.”

Baca jugaSeriwang Sangihe, Burung Langka di Dunia yang Habitatnya Terancam Tambang Emas

Burung anis-bentet sangihe berada di puncak Gunung Sahendaruman. Foto: Hanom Bashari

Tindakan Perlindungan

Meskipun beberapa area habitatnya telah ditetapkan sebagai hutan lindung; yaitu Gunung Awu maupun kawah Sahendaruman, namun efektivitas perlindungan tersebut perlu ditingkatkan. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk memantau tren populasinya guna merencanakan tindakan konservasi lebih efektif.

Hadirnya ancaman lebih besar di Pulau Sangihe, yaitu industri pertambangan emas PT TMS (Tambang Mas Sangihe) yang memiliki izin konsesi lebih dari setengah luas pulau cantik ini (736,98 km²), menghadirkan kecemasan juga bagi masyarakat Sangihe.

Alfret Dadoali, warga Sangihe yang tinggal di sekitar kaki Gunung Sahendaruman, mengaku sangat khawatir dengan kehadiran aktivitas pertambangan. Menurutnya, sebelum industri tambang masuk, masyarakat sudah merasakan dampak krisis iklim. Ini terlihat dari debit air yang menurun yang berdampak signifikan pada masyarakat.

Bila perusahaan beroperasi, ada lima kecamatan dan ribuan jiwa di sekitar Sahendaruman yang mengalami krisis air.

“Jadi, dampak negatif pertambangan sangat besar dan kami menolak kehadiran tambang. Kami bisa saja tidak punya uang untuk beli makanan, tapi hutan ini adalah hidup kami,” tegasnya.

Catatan Akhir Tahun: Menolak Tambang Emas, Menyelamatkan Pulau Cantik Sangihe dari Kehancuran

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|