Burung Hutan Petungkriyono jadi Buruan, Para Pemuda Jaga Bersama

1 day ago 7
  • Tidak banyak hutan tropis di Jawa yang terjaga baik. Hutan Petungkriyono salah satunya. Secara geografis, hutan seluas 6.000 hektar ini berada di sisi selatan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng), tepatnya Kecamatan Petungkriyono yang berada dibawah KPH Pekalongan Timur. Kawasan hutan ini juga rumah bagi burung-burung  seperti elang jawa (Nisaetus bartelsi) dan raja-udang kalung-biru (Alcedo euryzona),  keduanya berstatus terancam punah. 
  • Burung-burung di Hutan Petungkriyono ini masih jadi sasaran perburuan. Sebuah inisiatif dilakukan sekelompok pemuda asal Dukuh Sawahan, Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang untuk mendata burung-burung yang ada. Tujuannya, mengetahui perkiraan populasi burung terancam punah. Warga juga ada patroli bersama untuk menjaga satwa, termasuk burung-burung di dalam hutan itu.
  • Swara Owa telah melakukan pendataan burung di wilayah Petungkriyono. Hasilnya, terdapat 158 jenis burung yang tiga jenis Kritis, empat jenis Genting, enam jenis Rentan, dan 10 jenis mendekati terancam punah.
  • Imam Taufiqurrahman, project manager Swara Owa menyebut burung berperan penting dalam konservasi hutan. Seperti julang emas yang banyak dikenal sebagai petani hutan. Dengah jelajahnya yang tinggi, biji sisa makanannya acapkali tercecer di banyak tempat dan tumbuh menjadi pohon. 

Tidak banyak hutan tropis di Jawa yang terjaga baik. Hutan Petungkriyono salah satunya. Secara geografis, hutan seluas 6.000 hektar ini berada di sisi selatan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Jateng), tepatnya Kecamatan Petungkriyono yang berada dibawah KPH Pekalongan Timur. Kawasan hutan ini juga rumah bagi burung-burung  seperti elang jawa (Nisaetus bartelsi) dan raja-udang kalung-biru (Alcedo euryzona),  keduanya berstatus terancam punah. 

Kawasan hutan ini rumah bagi sejumlah satwa liar. Sebut saja owa jawa (Hylobates moloch), lutung jawa (Trachipethecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicuralis), hingga trenggiling (Manis javanica).

Sebuah inisiatif dilakukan sekelompok pemuda asal Dukuh Sawahan, Desa Mendolo, Kecamatan Lebakbarang untuk mendata burung-burung yang ada. Tujuannya, mengetahui perkiraan populasi burung terancam punah. 

Mendolo dan Petungkriyono memang beda kecamatan. Tetapi, kedua lokasi tersebut berada satu bentang dalam kawasan hutan dataran tinggi Dieng. 

Tim pendataan burung mencatat temuan hasil pengamatan burung di Hutan Petungkriyono. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia

***

Senin (21/4/2025) pagi, momen yang ditunggu Ibnu Alsalaffus tiba. Setelah tiga jam menanti, pemuda 22 tahun asal Dukuh Sawahan itu melihat seekor raja-udang kalung-biru di aliran Sungai Wisnu.

Ini kali ketiga Ibnu mendapati burung endemik Pulau Jawa itu. Makanannya berupa ikan-ikan kecil, udang, hingga kecebong.  sejauh ini, keberadaanya terpantau di tiga lokasi, yakni Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Gede Pangrango, dan Dieng.

“Itu jantan, dadanya putih kalau betina oren,” ujarnya kepada Mongabay di lokasi.  

Ibnu berharap ada kalung biru lain mampir, namun tidak ada. Dia melaporkan temuannya ke Alex Rifai (27) yang mencatatnya di buku bercorak gelatik.

Alex adalah koordinator pendataan burung. Ada tujuh orang yang bergantian memantau hingga pertengahan Mei. 

Dia menyebut, pendataan terpicu maraknya serangan hama belakangan ini. Dugaan awal, lantaran populasi burung di hutan berkurang karena diburu. “Pada 2017 mulai muncul hama, terutama ulat yang menghambat pertanian, khususnya durian.” 

Menurut Alex, sejak lama burung di hutan setempat menjadi sasaran perburuan. Para pelaku menggunakan banyak cara, dari memakai lem pulut, jaring, laron sebagai umpan, hingga perangkat digital untuk kamuflase kicauan. 

Burung yang tertangkap semuanya dijual ke luar daerah. “Kalau dulu, yang paling banyak diburu itu cucak ijo, karena suaranya bagus. Sekarang, semua dijual karena laku, dari pleci, cekakak, hingga julang emas,” terangnya.

Mengantisipasi perburuan, warga Sawahan menggelar patroli rutin tiap malam. Setiap warga yang keluar masuk hutan diawasi. Upaya itu terbukti efektif. Sebulan lalu, dia dan warga menghalau seorang pemburu dari luar. 

Pohon durian milik petani di Hutan Petungkriyono. Turunnya populasi burung picu serangan hama. Foto: Triyo Handoko/Mongabay Indonesia

Serangan hama meningkat

Alex yakin, berkurangnya populasi burung berdampak langsung terhadap intensitas serangan hama di Sawahan. Buah durian yang matang digerogoti ulat. Akibatnya, hasil panen tak maksimal. Padahal, komoditas itu jadi tumpuan ekonomi warga.

Dampak lain, petani harus merogoh kocek lebih besar untuk membeli pestisida. Satu botol ukuran satu liter hanya cukup  lima pohon. Harga per liter Rp120 ribu.

“Juga, untuk membayar pekerja memanjat pohon durian. Sehari, dibayar Rp100 ribu untuk menyemprotkan obat antiserangga itu.” 

Untuk memastikan kalung biru yang berstatus dilindungi ini eksis, diterapkan aturan menggunakan obat-obatan untuk menangkap ikan di Sungai Wisnu. “Hanya boleh alat pancing, agar ikan-ikan endemik juga lestari dan habitatnya terjaga.”  paparnya.

Sebelumnya, Swara Owa, organisasi yang concern terhadap pelestarian owa jawa di Petungkriyono, melakukan pendataan burung di Kecamatan Lebakbarang. Hasilnya, terdapat 140 spesies yang 43 jenis endemik Indonesia (17 endemik Jawa), serta 27 jenis berstatus dilindungi. 

Di Petungkriyono, wilayah yang 65% adalah hutan juga ditemukan 158 jenis burung. Tiga jenis berstatus Kritis, empat jenis Genting, enam jenis Rentan, dan 10 jenis mendekati terancam punah.

Kendati berdampak langsung pada pertanian, praktik perburuan tidak benar-benar mati. Belum semua desa di sekitar hutan menetapkan larangan berburu. 

Di Desa Kayupuring, Petungkriyono misal, Mongabay sempat menemui pemburu yang masih aktif. Sebut saja namanya Abdul. Dia mengaku tak punya pilihan. “Itu mata pencaharian saya, tapi saya sadar jumlah burung berkurang,” ujarnya. 

Dia mengaku, hanya berburu burung yang tidak masuk kategori dilindungi. “Kalau ada sumber penghasilan lain, saya akan berhenti berburu.”  

Abdul tidak bersedia menyebut berapa ekor burung yang dia jual sebulan. Namun, untuk cucak ijo misal, dihargai Rp300 ribu.

Burung raja-udang kalung-biru yang ditemukan di kawasan Hutan Petungkriyono, Pekalongan. Foto: Kurnia Ahmadin/Swara Owa

Fungsi ekologis

Imam Taufiqurrahman, Project Manager Swara Owa yang menangani konservasi burung, menjelaskan satwa ini punya fungsi ekologis penting bagi hutan. “Seperti julang emas yang banyak dikenal sebagai petani hutan.” 

Julang emas memakan biji-bijian dan buah-buahan. Jejak makanan dan biji-bijian biasanya tercecer di lokasi jelajahnya, lalu tumbuh menjadi pohon dan hutan makin lebat.

Kebun kopi yang ditanam petani di pinggir hutan, lanjut Imam, juga banyak dibantu burung dalam proses penyerbukan. Ratusan jenis burung di Petungkriyono dan Lebakbarang juga telah menyumbang pada sains, khususnya ornitologi.

Ilmu ornitologi adalah cabang biologi yang mempelajari burung termasuk perilaku, ekologi, anatomi, taksonomi, fisiologi, dan migrasi. Khusus migrasi burung di dua kecamatan di Pekalongan ini, telah berlangsung sejak ratusan tahun. “Terpantau burung migran seperti sikep madu asia dan elang alap china,” 

Sumbangan Petungkriyono dan Lebakbarang dalam sains sudah dimulai sejak 1814 dalam penelitian sorang naturalis Amerika, Thomas Walker Horsfield. Dia memasukan beberapa jenis burung baru dalam pencatatan dunia, seperti  berkik gunung merah (Scolopax saturata), sikatan ninon (Eumyias indigo), hingga cingcoang biru atau Brachypteryx

“Kami di Swara Owa, sejak 2017 banyak menerima permintaan fasilitasi penelitian dari berbagai kampus. Salah hasilnya ditemukan raja-udang kalung-biru yang hingga kini terus didata, termasuk populasinya,” tutur Imam yang belasan tahun melakukan riset burung 

Kekayaan potensi burung, menurut Imam, penting untuk dirawat karena terbukti berdampak luas pada pertanian warga, ekosistem hutan dan sains. Kepunahan burung akan membuat semua pihak rugi. 

*****

Petungkriyono, Rumah ‘Terakhir’ Owa Jawa

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|