DPR Abai Regulasi Saat Proses Pengesahan UU Konservasi?

13 hours ago 4
  • Undang -undang Nomor 32/2024 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) dalam proses legislasi mengabaikan regulasi. Hal itu terungkap saat sidang lanjutan Uji Formil UU Konservasi  dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi, 2 Mei lalu.
  • Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) menemukan berbagai kejanggalan dalam proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan UU Konservasi. Terutama dalam hal transparansi dan partisipasi masyarakat, sebagaimana dalam Peraturan DPR Nomor 1 dan 2 tahun 2020.
  • Partisipasi bermakna dalam alur kerja DPR juga ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan itu, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi, didengar, dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan. Namun hak itu minim DPR berikan.
  • Saldi Isra, Hakim Mahkamah Konstitusi lantas menyinggung soal partisipasi publik senyap yang Kementerian Kehutanan selenggarakan.  Dari 20 kegiatan menyoal RUU Konservasi, hanya dua saja yang terbuka. Itu terungkap saat sidang lanjutan Uji Formil UU Konservasii beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan presiden pada 25 April 2025.

Undang -undang Nomor 32/2024 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi) dalam proses legislasi mengabaikan regulasi. Hal itu terungkap saat sidang lanjutan  Uji Formil UU Konservasi  dengan agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pemohon di Gedung Mahkamah Konstitusi, 2 Mei lalu.

Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) menemukan berbagai kejanggalan dalam proses penyusunan, pembahasan hingga pengesahan UU Konservasi. Terutama dalam hal transparansi dan partisipasi masyarakat, sebagaimana dalam Peraturan DPR Nomor 1 dan 2 tahun 2020.

Di depan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi, kata Arif, DPR tak memenuhi prinsip akuntabilitas dalam proses pembentukan UU itu. Dalam penyusunan naskah dan draf akademik, DPR tidak mengumumkan di situs resminya. Begitu pula dengan masukan publik atas draf naskah akademik juga tidak terpublikasi.

“Kami membedakan draf naskah dan naskah akademik yang sudah jadi. Di website DPR hanya muncul naskah akademik saja,” katanya dalam sidang perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024.

Publikasi konsep rancangan UU Konservasi juga tidak ada di situs resmi DPR. “Jadi deskripsi konsepnya itu tidak diumumkan oleh DPR hingga saat ini.”

Dalam situs resmi DPR, kata Arif, pandangan fraksi yang terpublis hanya saat penyusunan RUU  saja. Ketika sudah beranjak pada tahap pembahasan di pembicaraan tingkat satu tidak ada terkait pandangan fraksi.

Arif bilang,  hasil identifikasi IPC, DPR hanya mempublikasikan satu dokumen laporan singkat dan delapan kali penayangan video di Channel Youtube Parlemen TV dari 18 kali rapat penyusunan naskah akademik dan RUU itu. Bahkan, catatan dan risalah rapat juga tak tersedia sama sekali di situs resmi DPR.

“Harusnya resmi dan dibuka oleh publik sepanjang rapat itu terbuka itu,” katanya.

Kemudian, dalam transparansi penyampaian penghantar musyawarah,  kata Arif, penjelasan RUU oleh DPR, pandangan DPD hingga presiden juga tidak diumumkan.

“Artinya, rapat-rapat ini sebenarnya sudah dilakukan dan ada videonya sebenarnya, tetapi kanal resmi terkait pandangan presiden dan DPD ini dan DPR tidak terlihat di dalam website resmi.”

Dalam pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM), katanya,  hanya pendapat dua ahli saja yang diumumkan. IPC hanya mendapat bahan materi pembahasan DIM, bukan penjelasannya. Sedangkan, DIM dari presiden dan DPD tidak ada publikasi.

“Jadi di pandangan presiden ini juga tidak diumumkan, DPD juga tidak diumumkan.”

Dari 30 rapat mengenai proses dan hasil pembahasan RUU Konservasi, DPR hanya mempublikasikan tiga laporan singkat dan penayangan video di saluran Youtube Parlemen TV.

IPC, kata Arif,  juga mengirimkan permintaan informasi publik kepada DPR, meliputi dokumen laporan singkat, risalah rapat, daftar hadir, daftar isian masalah (DIM) sampai dokumen tim panja. Seluruh upaya itu, katanya, tak membuahkan hasil.

“Kami menerima nota dinas dari DPR berisi link, tetapi link itu tidak bisa diakses. Permintaan dokumen Tim Panja pun ditolak,” katanya.

Dari semua rapat DPR yang membahas dan penyusunan RUU, mereka sudah 10 kali datang langsung memantau rapat.

Arif bilang, tak ada proses dialog yang berlangsung antara DPR dengan pihak terkait seperti pemerintah hingga masyarakat dalam rapat.

“Intinya, kami terus (mantau rapat). Tidak ada sama sekali dialog diajak dialog dan sebagainya.”

Partisipasi bermakna dalam alur kerja DPR juga ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan itu, masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi, didengar, dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan. Namun hak itu minim DPR berikan.

Dalam upaya memberikan masukan, IPC bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil sebenarnya telah mengundang legislator untuk diskusi mengenai RUU Konservasi. Namun, dari empat legislator yang diundang, hanya satu yang datang.

Usai memasukkan gugatan ke MK, agar membatalkan pengesahan UU KSDAE. Foto: koalisi

Partisipasi masyarakat adat

Putu Ardana, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Bali ceritakan saat proses pembahasan RUU.  Dia beserta masyarakat adat lain sempat ke Komisi IV DPR, datang dalam agenda rapat RUU Konservasi 10 April 2023.  Kala itu, dia kecewa lantaran dalam RDP, hanya ada empat legislator.

Dia juga hanya diberikan waktu 10 menit memaparkan pandangan soal RUU itu. Sekitar 10 menit merupakan waktu yang sangat singkat untuk menjelaskan hal penting.

“Kemudian setelah saya menyampaikan dengan terburu-buru dan banyak yang saya ringkas segelintir anggota DPR yang hadir itu tidak ada yang menanggapi.”

Setelah RDP itu, dia tak pernah mendapatkan informasi mengenai kelanjutan RUU. “Sampai tiba-tiba saya mendengar RUU sudah menjadi Undang-undang,” katanya.

Selama ini, katanya,  banyak praktik dan manajemen konservasi yang  pemerintah jalankan tak sesuai dan tak tepat. Praktik konservasi oleh pemerintah, kerap mengabaikan faktor budaya. Pemerintah,  hanya menganggap interaksi antara faktor hayati dan non hayati sebagai rujukan konservasi.

Padahal, katanya, faktor terpenting dalam praktik dan manajemen konservasi adalah budaya. Sebab, kebanyakan masyarakat adat di nusantara ini mempunyai interaksi dengan bentang alamnya.

“Itu melahirkan kultur yang filosofinya adalah menjaga bentang alam. Karena semua komunitas atau masyarakat adat itu untuk survivalitas membangun kesejahteraan.”

Putu mengatakan,  masyarakat adat di Indonesia memiliki cara berbeda-beda dalam melaksanakan praktik konservasi, sesuai bentang alam.

“Kita bisa lihat berbagai praktik konservasi di masyarakat adat dan itu sudah terbukti berhasil menjaga bentang alam yang masih lestari ratusan bahkan ribuan tahun,” katanya.

Satyawan Pudyatmoko, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan mengatakan, rutin menghadiri agenda DPR sebagai upaya menyerap aspirasi masyarakat terkait RUU ini.

Dia mengklaim,  beberapa kali diskusi terfokus di kampus- kampus dan mengundang akademisi hingga pemerhati konservasi.

“Diskusi sebagai bahan masukan bagi tim yang kami bentuk juga tim di panja DPR,” katanya.

Satyawan yang mewakili presiden sebagai tergugat juga mengklaim, kalau Kemenhut (sebelum pisah saat masih Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)  juga beberapa kali menggelar diskusi mengenai itu dengan mengundang korporasi, akademisi hingga aktivis.

Saldi Isra, Hakim Mahkamah Konstitusi lantas menyinggung soal partisipasi publik senyap yang Kementerian Kehutanan selenggarakan.

Dari 20 kegiatan menyoal RUU Konservasi, hanya dua saja yang terbuka. Itu terungkap saat sidang lanjutan Uji Formil UU Konservasii beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan presiden pada 25 April 2025.

“Saya gak mau juga menyebut tertutup, karena terbuka sedikit, ada yang terbuka banyak gini. Tapi yang diakui terbuka itu kemarin cuma dua. Makanya kami perlu melihat ini,” katanya.

Saldi meminta, Kemenhut dan pemerintah yang terlibat dalam pembentukan UU Konservasi menyerahkan bukti dokumen terkait partisipasi publik pada sidang selanjutnya. Hal itu penting bagi Mahkamah Konstitusi dalam menilai perkara ini.

Dia menyinggung tabiat pemerintah yang kerap mengabaikan permintaan hakim. Menurut dia, pemerintah justru memberikan dokumen ketika sidang sudah putus.

Sebelumnya, organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mengajukan permohonan pengujian formil UU Konservasi.

Koalisi terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),), Walhi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai NTT, Mikael Ane.

Muhammad Arman, Kuasa Hukum dan Tim Advokasi Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan menyampaikan, pentingnya Mahkamah Konstitusi menghadirkan dan mendengarkan keterangan DPD.

DPD, katanya,  memiliki peran penting dalam pembahasan RUU yang menyangkut sumber daya alam.

Perempuan Suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua. UU Konservasi dan Sumber Daya Alamnya hadir minim mengakomodir praktik-rapkrik konservasi masyarakat adat. Hingga berbagai organisasi masyarakat sipil dan perwakilan masyarakat adat ajukan gugatan ke Mahkamah Agung.   Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

*********

Kala Masyarakat Adat Gugat UU Konservasi ke Mahkamah Konstitusi

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|