- Rahayu Oktaviani, pendiri Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA), mendapat penghargaan Whitley Awards 2025.
- Rahayu merupakan konservasionis yang 17 tahun mendedikasikan hidupnya untuk penyelamatan owa jawa (Hylobates moloch) di hutan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).
- Kiara punya tiga program utama konservasi owa jawa, yaitu riset, pendidikan konservasi, dan pengembangan masyarakat. Kiara berusaha berkontribusi lebih banyak mendukung upaya konservasi pemerintah, masyarakat, dan komunitas.
- Indonesia merupakan rumah besar bagi sembilan spesies owa. Semuanya tergolong satwa dilindungi, sehingga pemeliharaan, perdagangan, dan perburuan merupakan kegiatan ilegal. Dapat dikenakan sanksi pidana.
Di tengah kabut pagi yang menyelimuti Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), terdengar suara merdu memecah kesunyian. Bukan burung, bukan angin, melainkan suara uwek atau owa jawa (Hylobates moloch), kera kecil endemik yang hidup di hutan-hutan Pulau Jawa.
Suara itu, membuat Ayu jatuh cinta pada pendengaran pertama. Rahayu Oktaviani, nama lengkapnya, merupakan konservasionis yang telah 17 tahun mendedikasikan hidupnya untuk penyelamatan spesies terancam punah ini.
“Saya dengar suara itu setiap kali masuk hutan,” ungkapnya kepada Mongabay, dalam sebuah perjumpaan di Jogjakarta beberapa waktu lalu.
Suara owa jawa yang ritmis dan meditatif, mampu membangkitkan ingatan kita akan hutan sebagai ruang kehidupan. Hadirnya owa, menandakan ekosistem hutan yang sehat, harmonis, dan damai.
Baca: Unik, Owa Ternyata Pandai Menari

Pada Sabtu, 3 Mei 2025, Mongabay menghubunginya kembali. Ayu lagi di London, Inggris. Dia di sana dalam rangka menerima penghargaan dari lembaga amal Inggris, Whitley Fund for Nature. Putri Anne dari Kerajaan Inggris, menyerahkan langsung Whitley Awards 2025 kepada Ayu, pada Rabu, 30 April 2025.
Ayu dinilai berjasa melindungi kehidupan owa jawa, di habitatnya di pulau terpadat di dunia dengan sisa luas hutan kurang dari 10 persen.
Apa yang dikerjakan Ayu bersama masyarakat Desa Citalahab memantau owa, dinilai memberi wawasan penting kepada masyarakat luas, terlebih menjaga kelestarian owa dan hutan sebagai rumahnya.
“Yang paling berkesan adalah, kami bisa melihat perkembangan hidup mereka, belajar tentang social bonding dan interaksi mereka. Melihat kelahiran bayi owa jawa di alam, yang tergolong jarang, juga luar biasa. Itu jadi motivasi tim kami untuk terus bekerja,” paparnya.
Baca: Perdagangan Ilegal Siamang Lintas Negara Meningkat, Namun Kurang Dapat Perhatian

Terinspirasi Trimates
Di ruang kelas Institut Pertanian Bogor (IPB) University pertengahan 2000-an, Ayu, seorang mahasiswa konservasi sumber daya hutan, menemukan panggilan hidupnya. Buku-buku tentang The Trimates —trio perempuan ahli primata Birute Galdikas, Jane Goodall, dan Dian Fossey— telah menginspirasinya. Terutama Galdikas, yang mempelajari oran utan di Kalimantan sejak 1971.
Ayu bertekad, menjadikan orangutan sebagai bahan penelitian skripsinya. Namun karena biaya terbatas, rencana yang telah disusun itu urung dilakukan.
“Jadinya beralih ke owa jawa. Ternyata, tidak banyak yang tahu tentang mereka. Owa jawa hidup di bawah bayang-bayang spesies karismatik lain. Saya merasa penting untuk memperkenalkan bahwa Indonesia punya kera kecil ini,” ungkapnya dari London.
Habitat orangutan di Kalimantan terlalu jauh dan mahal untuk dijangkau seorang mahasiswa seperti dirinya. Mau tidak mau, Ayu memilih primata lebih dekat, yang nyanyiannya menghiasi hutan Jawa. Keputusan ini, justru menjadi takdir yang membawanya menjadi penjaga salah satu spesies yang terancam punah.
Baca: Satwa Langka di Ibu Kota Baru Indonesia

Pada 2020, Ayu mendirikan Yayasan Konservasi Ekosistem Alam Nusantara (KIARA). Mengambil Kampung Citalahab, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, sebagai basecamp, Kiara punya tiga program utama, yaitu riset, pendidikan konservasi, dan pengembangan masyarakat. Ayu berharap, Kiara bisa berkontribusi lebih banyak untuk mendukung upaya konservasi pemerintah, masyarakat, dan komunitas.
“Misi utama saat ini adalah menyebarluaskan data dari penelitian jangka panjang di Hutan Citalahap kepada masyarakat dan pengelola kawasan. Terutama, di area kunci perbatasan permukiman dengan habitat owa jawa.”
Tak mudah menjadi seperti Ayu. Sebagai seorang perempuan sekaligus konservasionis, Ayu melihat dirinya menghadapi tantangan ganda. Pertama, dia harus bisa membagi waktu antara pekerjaan dan ranah domestik. Beruntung, orang-orang terdekatnya sangat mendukung, baik dari keluarga, teman, maupun tim kerja.
Kedua, sebagai perempuan, kadang dia harus membuktikan diri dua kali lebih keras agar didengar.
“Sayangnya lalu timbul stigma, ketika perempuan berbicara tegas dianggap galak,” selorohnya.
Baca: Masa Depan Surili dan Owa Jawa di Tangan Generasi Muda

Melindungi owa jawa bersama masyarakat
Sebagai penerima Whitley Awards atau sering disebut “Green Oscar” ini, Ayu membawa pulang hadiah sebesar 50 ribu Poundsterling atau sekitar Rp1 miliar. Dengan pendanaan itu, Ayu akan fokus pada lima desa di dalam kawasan yang tumpang tindih dengan habitat owa jawa.
Ayu tengah menggandeng masyarakat lokal untuk bersama melakukan konservasi serta pemantauan keanekaragaman hayati di sana. Dia juga menginisiasi pembentukan kelompok perempuan bernama Ambu Halimun. Sebanyak 15 perempuan setempat dilatih untuk bisa menghasilkan karya ecoprint.
Mereka dibekali pelatihan literasi keuangan. Tujuannya, menciptakan aliran pendapatan berkelanjutan. Maklum, kebanyakan dari mereka tidak memiliki pendapatan tetap. Warga umumnya bekerja sebagai buruh di perkebunan teh, menanam padi, atau bekerja di bidang pariwisata.
Mengutip pernyataan untuk media, Ayu juga memiliki program pendidikan dan sosialisasi yang melibatkan siswa dan anggota masyarakat. Tujuannya, menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan terhadap keberadaan owa jawa dan perannya dalam ekosistem. Tim Kiara akan memperluas sosialisasi ke sekolah-sekolah dan masyarakat setempat, yang melibatkan sedikitnya 300 siswa dan 100 rumah tangga.
“Penghargaan ini adalah platform untuk membuat owa jawa lebih dikenal, bukan tentang sosok saya pribadi. Saya bisa digantikan kapan saja,” ungkap perempuan 38 tahun merendah. Dia bersyukur owa jawa kini menjadi perhatian global.
Foto: Hidup Owa Memang Seharusnya di Hutan

Owa jawa dan kerabatnya di Indonesia
Owa jawa adalah primata endemik yang hanya ditemukan di Jawa Barat dan sebagian kecil Jawa Tengah. Tubuhnya ramping, dengan lengan panjang yang digunakan untuk berayun antarpohon. Seperti kera lainnya, owa jawa tak memiliki ekor. Bulunya abu-abu keperakan, dengan kepala atas lebih gelap dan wajah kehitaman. Itu sebabnya dia juga dinamakan Silvery Gibbon.
Owa jawa adalah makhluk monogami, yang berarti setia pada satu pasangan seumur hidup. Betina melahirkan 2-3 tahun, dengan masa kebuntingan 7-8 bulan. Anak-anak mereka bergantung induknya hingga dewasa dan siap membentuk keluarga sendiri.
Setengah dari populasi owa jawa terkonsentrasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) seluas 87 ribu hektar. Owa jawa rentan terhadap fragmentasi hutan dan degradasi habitat karena mereka bergantung pada kanopi hutan. Nijman (2006), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar empat ribu hingga empat ribu lima ratus individu.
Primata ini berkomunikasi melalui vokalisasi. Dalam cerita rakyat, owa jawa diyakini membawa hujan dengan nyanyiannya.
Di Indonesia, owa jawa bukanlah satu-satunya penyanyi hutan.
“Jadi ada empat spesies di Kalimantan, empat spesies di Sumatera, tapi hanya satu yang ada di Pulau Jawa,” kata Ayu. “Sementara keberadaan owa jawa ini sangat bergantung pada kanopi yang tertutup rapat karena dia bergerak secara branchicy, yang artinya bergerak secara berayun di atas kanopi hutan,” ujarnya, kepada BBC Indonesia.
Baca juga: Kisah Mong, Owa Ungko yang Selamat dari Peluru Senapan Angin

Arif Setiawan dan kolega dalam tulisan “The future of Indonesian gibbons: challenges and recommendations” di Jurnal Oryx edisi 6 September 2021, menjelaskan bahwa Indonesia merupakan rumah besar bagi sembilan spesies owa.
Semuanya tergolong satwa dilindungi, sehingga pemeliharaan, perdagangan, dan perburuan merupakan kegiatan ilegal. Dapat dikenakan sanksi pidana.
Di Sumatera, ada siamang (Symphalangus syndactylus) dengan kantong suara besar, owa ungko (Hylobates agilis), owa serudung (Hylobates lar), dan owa bilau (Hylobates klossii) dari Kepulauan Mentawai.
Di Kalimantan, owa jenggot putih (Hylobates albibarbis), owa kelaweit (Hylobates muelleri), owa kelempiau utara (Hylobates funereus), dan owa kelempiau barat (Hylobates abbotti) menghuni hutan yang kian terfragmentasi. Di Jawa, hanya ada owa jawa (Hylobates moloch).
Owa berperan penting dalam ekosistem hutan. Mereka merupakan penebaran biji yang membantu meregenerasi hutan.