-
Semangka kotak asal Jepang kembali viral karena bentuknya yang unik dan harganya yang fantastis, mencapai puluhan juta rupiah per buah.
-
Meski bisa ditanam sendiri dan secara teknis bisa dimakan, semangka ini sengaja dipanen sebelum matang sehingga lebih cocok untuk pajangan daripada konsumsi.
-
Di balik estetikanya, muncul kritik tentang pemborosan sumber daya dan ketimpangan pangan, menjadikan semangka kotak simbol absurditas konsumsi modern.
Beberapa tahun lalu, media sosial kembali diramaikan oleh semangka berbentuk kotak yang terlihat begitu sempurna—dengan sudut presisi dan sisi-sisi yang rata seperti hasil desain komputer. Foto-foto dan videonya viral di TikTok, Instagram, dan YouTube, memicu rasa penasaran publik global terhadap buah yang tampak mustahil ini. Entah dari mana asalnya, foto-foto tersebut kembali muncul dan viral beberapa minggu belakangan. Di kolom komentar postingan-postingan terkait dengan semangka kotak tersebut, banyak yang bertanya-tanya: apakah ini benar-benar nyata? Dan jika iya, untuk apa dibuat seperti itu?
Jawabannya: ya, buah ini nyata, asal muasalnya dari Jepang, dan dijual dengan harga yang tidak main-main—bahkan bisa mencapai puluhan juta rupiah per buah. Tapi pertanyaan yang lebih dalam kemudian muncul: apakah semangka kotak ini benar-benar bisa dimakan?
Lahir dari Inovasi Praktis di Zentsuji, Jepang
Semangka kotak pertama kali diperkenalkan di Kota Zentsuji, Prefektur Kagawa, Jepang, pada akhir 1970-an. Ide ini berasal dari Tomoyuki Ono, seorang desainer grafis yang melihat masalah praktis pada bentuk semangka konvensional: sulit disimpan di dalam kulkas dan cenderung menggelinding ke mana-mana. Ia kemudian bereksperimen dengan menanam semangka muda di halaman rumahnya, dan buahnya diletakkan di dalam cetakan transparan berbentuk kubus. Hasilnya adalah semangka dengan bentuk geometris sempurna yang tetap tumbuh secara alami mengikuti bentuk wadahnya.

Inovasi ini kemudian dikenal sebagai Shikaku Suika—secara harfiah berarti “semangka kotak.” Meski awalnya ditujukan sebagai solusi fungsional, keunikan bentuk ini segera menarik perhatian pasar dan media. Semangka kotak pun berubah dari buah sehari-hari menjadi ikon budaya, dan barang koleksi mewah.
Banyak petani Jepang yang mulai ‘membudidayakan’ semangka kotak ini. Selain bentuk kotak, para petani Jepang kini juga mengembangkan semangka dalam bentuk piramida dan hati, yang menarik pasar konsumen eksentrik dan pemburu hadiah eksklusif. Beberapa waktu lalu, salah satu semangka berbentuk piramida dijual seharga ¥212.000—setara dengan sekitar Rp21,9 juta—dan menjadi salah satu buah semangka dengan harga tertinggi di dunia.
Baca juga: Melon Hitam dan Varietas Buah Unggul Indonesia
Bisakah Kita Menanam Semangka Kotak Sendiri?
Pertanyaan ini membuka pintu bagi praktik menarik di seluruh dunia: orang-orang dari berbagai negara kini mencoba bereksperimen dengan menanam versi mereka sendiri. Meskipun identik dengan Jepang, sebenarnya siapa pun bisa menanam semangka kotak di halaman rumahnya. Prosesnya tidak memerlukan teknologi canggih—cukup lahan terbuka yang terkena sinar matahari penuh, tanah yang kaya nutrisi, dan tentu saja… kesabaran. Setelah bibit ditanam dan semangka mulai tumbuh, buah muda yang berukuran sebesar bola kasti bisa dimasukkan ke dalam kotak transparan, biasanya terbuat dari kaca, akrilik, atau kayu berlubang. Selama buah tetap terhubung ke batangnya dan terus dirawat dengan air serta sinar matahari, ia akan membesar dan mengikuti bentuk cetakan tersebut, menghasilkan semangka berbentuk kubus secara alami.

Banyak petani dan penghobi tanaman di seluruh dunia mulai mencoba membuat cetakan sendiri dari bahan murah seperti akrilik bekas atau kayu daur ulang. Ada pula yang memodifikasi bentuk cetakan untuk menciptakan semangka dengan desain personal—seperti inisial nama atau wajah kartun. Bahkan, di internet sudah banyak forum, blog, dan panduan DIY (Do It Yourself) yang membahas cara menanam semangka kotak dengan biaya rendah, mulai dari teknik dasar pertanian hingga trik melubangi kotak agar buah tidak “terpanggang” di dalam kotak.
Namun di balik ketertarikan dan semangat bereksperimen itu, tetap ada pertanyaan mendasar yang tidak kalah penting: apakah buah ini tetap bisa dinikmati sebagaimana mestinya?
Baca juga: Semangka Termasuk Jenis Buah atau Sayur?
Apakah Semangka Kotak Masih Layak Dikonsumsi?
Pertanyaan utama yang banyak diajukan publik adalah: apakah semangka kotak ini bisa dimakan seperti semangka biasa? Jawabannya: secara teknis, bisa. Namun, sebagian besar semangka kotak dipanen sebelum matang sempurna untuk menjaga bentuknya tetap stabil. Hal ini berdampak langsung pada kualitas rasa: daging buahnya menjadi kurang manis, lebih keras, dan tidak memiliki kesegaran khas semangka yang matang penuh.
Akibatnya, walaupun dapat dimakan, semangka kotak tidak dirancang untuk itu. Konsumennya pun lebih memilih menyimpannya sebagai dekorasi ruang VIP, pajangan hotel mewah, ataupun hadiah formal kepada relasi penting. Seringkali, buah ini akhirnya tidak pernah dimakan sama sekali.

Semangka kotak adalah representasi nyata dari bagaimana estetika dapat menggeser fungsi dasar suatu produk. Di dunia pertanian, semangka menjadi sumber pangan bergizi yang mudah diakses. Namun dalam bentuk kotak, semangka berubah menjadi objek seni yang hanya dikonsumsi secara visual. Semangka kotak tidak dijual karena rasanya, tetapi karena bentuknya yang estetis dan “instagramable”.
Pertanyaan ini lalu membawa kita pada dimensi lain dari semangka kotak: bukan hanya soal rasa, tapi juga soal dampak dan nilai sosial dari kehadiran buah ini.
Kritik Terhadap Semangka Kotak
Di balik kekaguman terhadap kreativitas pertanian Jepang, muncul pula berbagai kritik yang semakin lantang disuarakan oleh akademisi, aktivis lingkungan, dan pengamat etika pangan. Mereka menilai bahwa semangka kotak, meskipun terlihat mengesankan secara visual, mencerminkan persoalan yang lebih besar dalam sistem pangan global saat ini—yakni ketimpangan antara nilai estetika dan nilai gizi.
Salah satu kritik utama adalah soal pemborosan sumber daya alam. Untuk menghasilkan satu semangka kotak, petani tetap menggunakan air, pupuk, dan tenaga kerja yang sama seperti menanam semangka biasa. Namun karena buah ini dipanen sebelum matang agar bentuknya tetap sempurna, rasa dan kualitas nutrisinya menjadi rendah—dan dalam banyak kasus, buah ini akhirnya tidak dikonsumsi sama sekali. Artinya, energi dan sumber daya yang seharusnya menghasilkan pangan, justru hanya berakhir sebagai pajangan.
Selain itu, proses produksi semangka kotak juga menimbulkan persoalan lingkungan dari sisi material. Cetakan berbahan plastik keras atau akrilik yang digunakan untuk membentuk semangka umumnya tidak ramah lingkungan dan sulit terurai. Dalam skala besar, penggunaan cetakan ini menambah beban limbah yang berpotensi mencemari lingkungan, terutama jika tidak dikelola dengan sistem daur ulang yang baik.
Kritik berikutnya menyasar ketimpangan distribusi pangan secara global. Di saat sebagian besar populasi dunia masih menghadapi tantangan akses terhadap makanan bergizi, fakta bahwa sebuah buah bisa dijual seharga belasan hingga puluhan juta rupiah hanya untuk fungsi dekoratif dinilai tidak etis. Ini memperlihatkan bagaimana sistem pangan modern telah bergeser dari pemenuhan kebutuhan dasar menjadi pemenuhan simbolik yang tidak selalu berpihak pada keseimbangan dan keadilan.
Dalam konteks ini, Profesor Hiroshi Saito dari Kyoto University menyampaikan pandangannya yang cukup menggugah. Ia berkata, “Semangka kotak adalah contoh estetika yang melampaui fungsi. Dalam konteks global saat ini, kita harus bertanya: Apakah bentuk lebih penting daripada manfaat?”
Pernyataan ini menjadi semacam pengingat, bahwa di balik inovasi yang mengesankan sekalipun, selalu ada ruang untuk refleksi—tentang arah yang sedang kita tempuh sebagai konsumen, sebagai produsen, dan sebagai manusia.