Energi Surya dari Masjid Syafii Maarif di Pedalaman Sijunjung

11 hours ago 5
  • Byar pet listrik di Masjid Buya Syafii Maarif di Nagari Sumpur Kudus Selatan, Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar) akhirnya teratasi. Itu setelah  pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 5.500 watt. 
  • Pemasangan PLTS itu merupakan bantuan dari Koalisi Muslim for Shared Action on Climate Impact (Mosaic) Indonesia. Sebelumnya, koalisi ini juga memasang PLTS di sejumlah tempat. Seperti di Nusa Tenggara Barat (NTB), Yogyakarta, dan juga Jawa Barat (Jabar).
  • Taufiq Adi Kurniawan, kader Muhammadiyah yang juga pengelola masjid katakan, penggunaan energi bersih di masjid ini sekaligus sebagai simbol membangun kesadaran pentingnya mewujudkan energi bersih. Ia berharap pemasangan ini meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya mewujudkan kemandirian energi.
  • Muhammad Syahdiladarama, Project Lead Umat untuk Semesta, yang tergabung dalam Mosaic, mengatakan organisasinya bergerak untuk melakukan aksi mitigasi atau pun adaptasi perubahan iklim dengan program yang bernama sedekah energi. Salah satu bentuknya adalah pemasangan PLTS i masjid-masjid. 


Dua jam sebelum salat Jumat Danif sudah berada di atas atap Masjid Buya Syafii Maarif di Nagari Sumpur Kudus Selatan, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat (Sumbar) untuk memasang panel surya. Kegiatan itu merupakan bantuan dari Koalisi Muslim for Shared Action on Climate Impact (Mosaic) Indonesia. 

Di atap masjid itu, Danif bersama  warga lain yang menyodorkan lembaran panel surya itu dari bawah. Ia pun terlihat berhati-hati melangkahi rel dudukan panel yang sudah dipasang sehari sebelumnya. 

Khairul Basri, Wali Nagari Sumpur Kudus Selatan mengatakan, masjid tersebut resmi berdiri sejak 2004 dan dapat menampung 500 jamaah. Masalahnya, listrik di masjid sering byar pet, terutama saat musim hujan.  

“Sering padam. Kadang bisa sampai dua hari,” katanya. Dia pun  mengapresiasi pemasangan panel surya tersebut. “Paling tidak, dengan adanya solar panel ini, kami tidak perlu risau lagi kalau mati lampu.”

Masjid Sumpur Kudus Selatan, Sijunjung yang telah terpasang PLTS. Foto: Jaka Hendra Baittri/Mongabay Indonesia.

Sumpur Kudus Selatan,  berada di bawah Kecamatan Sumpur Kudus. Dari pusat pemerintahan Kabupaten Sijunjung sekitar 42,6 kilometer. DI Sijunjung, listrik bisa menyala 24 jam penuh, meski dalam kondisi hujan sekalipun. 

Ada 10 lembar panel surya jenis monocrystalline terpasang di atap sisi kanan masjid dengan kapasitas mencapai 5.500 watt. Energi yang terserap tersimpan di dua baterai jenis LifePo4 yang masing-masing berkapasitas 4.800 watt. Proses penyimpanan didukung sistem inverter otomatis.

“Dengan baterai yang penuh alat ini mampu beroperasi satu setengah hari,” kata Delta Prayoga Nugraha,  teknisi panel surya. 

Menurut dia, switching energi dari jaringan listrik utama ke panel surya secara otomatis menggunakan automatic transfer switch atau ATS. Sistem kerjanya, ketika cuaca mendung atau gelap beberapa hari, sumber listrik otomatis beralih ke jaringan utama. 

Sebaliknya jika cuaca cerah, seluruh kebutuhan daya akan terpenuhi dari energi panas cahaya matahari. “Sistem ini bernama sistem hybrid atau campuran yang memposisikan energi surya sebagai sumber utama dan daya dari PLN sebagai cadangan.” 

Untuk mendukung operasional panel surya ini optimal, tim Mosaic juga melatih empat warga. “Jadi meskipun kami tidak lagi di sini perawatan akan tetap berjalan,” katanya. 

Kiki, teknisi panel surya lainnya mengatakan, konsumsi energi masjid itu sekitar 7 Kwh per hari. “Kalau ada kegiatan bisa 13 Kwh per hari dengan kapasitas listriknya dari PLN 3500 VA,” katanya.

Novia,  ibu rumah tangga menyambut positif pemasangan panel surya di masjid. Dia berharap, beberapa informasi penting yang biasa mereka umumkan melalui masjid tak lagi terkendala gara-gara listrik yang kerap padam. 

“Karena kan beberapa kali informasi orang meninggal atau pengumuman kegiatan lain tidak sampai ke warga karena listriknya padam,” ucap perempuan 35 tahun ini. 

Melihat cara kerja listrik tenaga surya ini, Novia pun tertarik untuk memasang di rumahnya biar lebih hemat. Terlebih, tiap bulan, ia harus mengeluarkan Rp50 ribu untuk membeli token listrik. 

Di rumahnya, Novia menggunakan listrik untuk berbagai peralatan. Seperti kulkas, kipas angin, blender, grejo atau alat untuk parut kelapa, sound system dan juga lampu. Ia pun sering kelabakan saat menanak nasi, listrik tiba-tiba mati. 

Martin, warga lain menyambut baik pemasangan panel surya di Masjid Buya Syafii itu.  Dia berharap program serupa bisa diterapkan di masjid-masjid lain yang kerap alami kendala serupa. 

Jamaah masjid di Sijunjung, Sumatera Barat bahu membahu memasang panel surya atap. Foto: Jaka Hendra/Mongabay Indonesia.

Leo Prima Weski, anggota Badan Musyawarah Desa (BMD) mengatakan, pemutusan daya yang sering terjadi cukup mengganggu aktivitas baik pribadi atau pun sosial di masjid. “Salat jamaah terganggu, pompa air tidak jalan dan menyulitkan kita untuk berwudhu juga.”  

 Kondisi geografis nagari  berbukit menjadi salah satu faktornya karena  tidak jarang terjadi longsor dan merusak jaringan listrik. Selain itu, debit air yang mengecil pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Solok atau Ombilin saat kemarau juga jadi kendala.

Khairul Basri, Wali Nagari Sumpur Kudus Selatan mengatakan,  dalam  sepekan, bisa terjadi lima sampai 10 kali gangguan daya bahkan sampai 24 jam. Karena itu pembangkit listrik tenaga surya ini dapat jadi solusi dan bermanfaat untuk lingkungan hidup yang lebih bersih.

Taufiq Adi Kurniawan, kader Muhammadiyah yang turut juga pengelola masjid katakan, penggunaan energi bersih di masjid ini sekaligus sebagai simbol membangun kesadaran pentingnya mewujudkan energi bersih. 

“Harapannya saya pribadi masyarakat bisa sadar ada nilai transisi energi yang harus kita kawal. Transisi ini mulai dari masjid dan mungkin saja tidak hanya dalam sisi energi tapi kesadaran lingkungan lainnya,” kata pria 23 tahun ini.

Masjid Buya Syafii Maarif, katanya,  berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat seperti pengajian seminggu sekali, kuliah tujuh menit atau kultum, seminggu sekali hingga kegiatan masyarakat lain seperti tempat pengajian anak atau rapat-rapat.

Kegiatan-kegiatan itu  setiap bulan memakan biaya lebih dari Rp200.000. Penggunaannya untuk sound system dan lampu-lampu. Aksi ini menurutnya bisa menghemat penggunaan energi dari PLN dan terfokus ke adaptasi perubahan iklim.

Sejumlah warga memasang panel surya di atap masjid Buya Syafii Maarif di Sijunjung, Sumatera Barat. Foto: Jaka Hendra Baittri/Mongabay Indonesia.

Atasi keterbatasan pasokan

Muhammad Syahdiladarama, Project Lead Umat untuk Semesta, yang tergabung dalam Mosaic, mengatakan organisasinya bergerak untuk melakukan aksi mitigasi atau pun adaptasi perubahan iklim dengan program yang bernama sedekah energi. Salah satu bentuknya adalah pemasangan PLTS di masjid-masjid. 

“Kami punya harapan masjid jadi pionir transisi energi berkeadilan atau just energy transition di Indonesia. Karena masjid jadi pusat peradaban, jadi akan punya manfaat langsung, mungkin kepada masjidnya dan khususnya jamaahnya,” katanya.

Dia mengatakan, sedekah energi sudah mulai sejak 2022 dan dilakukan di banyak tempat. Sebelumnya, kegiatan serupa dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat (NTB), Yogyakarta, Jawa Barat.  

Syahdil mengatakan, terpilihnya masjid Buya Syafii Maarif ini setelah sebelumnya dilakukan survei. “Jadi ada penelitian teknis dan penilaian bagaimana tingkat cahaya matahari di sini dan bagaimana peran masjid di masyarakat. Kemudian bagaimana influence dari tokoh masyarakatnya.” 

Dia berharap,  PLTS yang terpasang membawa banyak manfaat bagi jamaah masjid. Terlebih, berdasar amatannya, listrik di nagari banyak keterbatasan. Bahkan, saat pelatihan teknis sebelumnya, listrik juga sempat padam. Karena itu, pemasangan PLTS tersebut dinilai sebagai langkah tepat.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), mengatakan, sampai saat ini, ketersediaan listrik di daerah terpencil memang masih jadi masalah. Faktor utama,  karena biaya pemasangan jaringan yang relatif mahal. 

Sebagai solusinya, dia mendorong pengembangan pembangkit skala kecil atau komunal berdasar potensi yang dimiliki. “Misalnya ada potensi air, itu bisa dimanfaatkan untuk pembangkit skala kecil seperti mikro hidro,” katanya.

Pemanfaatan energi terbarukan juga dinilai paling cocok untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil ketimbang listrik konvensional. Dengan pembangkit fosil, akan perlu biaya untuk angkut solar atau sumber energi lainnya. Di Papua, katanya, PLN melistriki rumah-rumah di desa dengan PLTS dengan baterai, talus atau tabung listrik.

*****

Belajar Peduli Lingkungan dari Masjid Energi Surya di Yogyakarta

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|