Menyoal Kebijakan Peta Jalan Transisi Energi

18 hours ago 6
  • Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10/2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, April lalu. Berbagai kalangan  organisasi masyarakat sipil pun beri banyak catatan.
  • Permen ini melarang pengembangan PLTU baru kecuali yang sudah masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan PLTU terintegrasi dengan industri (captive). Juga, PLTU yang berkomitmen mengurangi 35% emisi sejak 10 tahun beroperasi melalui teknologi carbon offset atau bauran energi terbarukan. Poin lain, ada juga soal PLTU beroperasi paling lama sampai 2050.
  • Berdasarkan kajian IESR, untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sekitar 72 PLTU batubara dengan kapasitas 43,4 GW perlu pensiun periode 2022–2045. Periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional 18 PLTU berkapasitas 9,2 GW, terdiri dari delapan milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU pembangkit swasta (4,2 GW).
  • Kajian Greenpeace dan CELIOS yang terbit akhir April menyimpulkan,  kebijakan transisi energi di Indonesia kurang ambisius. Sejumlah solusi palsu mulai dari penggunaan teknologi CCS/CCUS, bioenergi dari sawit, serta gas dan nuklir akan menimbulkan kerugian ekonomi. Selain itu,  juga penurunan serapan tenaga kerja, dampak kesehatan dan lingkungan serta potensi peningkatan emisi.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10/2025 tentang Peta Jalan (Road Map) Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan, April lalu. Peraturan  ini amanat dari Peraturan Presiden No. 112/2022  Pasal 3 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik demi mencapai target net-zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.  Kalangan  organisasi masyarakat sipil pun beri banyak catatan.

Bahlil Lahadalia,  Menteri ESDM mengatakan,  permen ini terbit sebagai syarat mendapatkan pinjaman dari Asean Development Bank (ADB) untuk pensiun dini PLTU Cirebon 1.

Dalam Bab 2 Pasal 2 menyebutkan,  transisi energi melalui implementasi co-firing biomassa di PLTU, akselerasi pengurangan bahan bakar minyak melalui dedieselisasi, retrofitting pembangkit fosil dengan teknologi carbon capture storage (CCS), dan pembatasan penambahan PLTU. Juga, pengembangan variasi energi terbarukan, produksi green hydrogen atau green ammonia, pengembangan pembangkit tenaga nuklir, pengembangan smart grid serta percepatan pengakhiran masa operasional PLTU.

Dengan peta jalan ini perkiraan puncak emisi CO2 sektor kelistrikan terjadi pada 2037 sekitar 599 juta ton CO2 terdiri atas emisi jaringan sekitar 433 juta ton CO2 dan emisi captive sekitar 166 juta ton CO2.

Syaharani,  Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), menyoroti,  peta jalan ini tujuh tahun lebih lambat dari  kerangka Persetujuan Paris rekomendasikan.

Sedang, beberapa strategi pengurangan emisi yang pemerintah andalkan seperti co-firing dan carbon capture and storage (CCS) berisiko memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil dan bisa menjadi jalan memutar upaya transisi.

“KESDM perlu meninjau kembali strategi transisi agar memprioritaskan strategi pengembangan energi terbarukan, bukan memperpanjang masa pakai energi fosil,” katanya.

surya mecan 14. Rizwan (baju biru) memperlihatkan atap panel surya PLTS komual di Pulau Mecan, Belakang Padang.PLTS komual di Pulau Mecan, Belakang Padang, Kepulauan Riau. Seharusnya, pemerintah lebih jelas keberpihakan terhadap pengembagan energi skala kecil di komunitas dalam kebijakan peta jalan yang baru saja rilis. Foto: Yogi ES/Mongabay Indonesia

Amalya Reza Oktaviani,  Program Manajer Biomassa Trend Asia menyayangkan, tetap memasukkan biomassa dalam agenda transisi energi nasional.

“Permen 10/2025 masih didasarkan pada perspektif biomassa merupakan sumber energi terbarukan, terlepas dari implikasi penggunaan biomassa, terutama kayu yang telah mengakibatkan deforestasi dan penghilangan biodiversitas,” kata Amel, sapaan akrabnya.

Dalam Pasal 6 ayat 2 huruf b, masih bisa bangun PLTU baru asalkan berkomitmen pengurangan emisi gas rumah kaca minimal 35% dalam waktu 10 tahun sejak beroperasi.

Dalam dokumen Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, PLTU baru setelah 2025 wajib co-firing setidaknya 30%.

Dalam penjelasan permen ini, porsi PLTU co-firing dan PLTU CCS mencapai 12,2 %. Porsi ini lebih besar dibanding semua strategi energi terbarukan kecuali PLTA.

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kebijakan Energi Nasional (KEN), biomassa akan menjadi bauran energi terbarukan paling didorong hingga 2045.

“Namun melihat PLTU co-firing akan didorong hingga 2060, menunjukkan Indonesia sangat bergantung pada co-firing dalam agenda transisi energinya,” kata Amel.

Padahal,  selain mengakibatkan deforestasi, penyediaan biomassa co-firing juga akan menyingkirkan biodiversitas dan memperparah konflik dengan masyarakat adat karena ada keperluan lahan buat penanaman.

“Ditambah dengan teknologi CCS yang belum diketahui efektivitasnya. Double down greenwashing di PLTU, ” katanya.

Selain itu, meningkatnya PLTU co-firing dari 18 gigawatt ke 54 gigawatt atau tiga kali kapasitas awal berdampak pada kebutuhan biomassa, semula 8-10 juta ton, bakal meningkat hingga tiga kali lipat, 30 juta ton.

Kondisi ini, katanya, akan meningkatkan risiko deforestasi, tadinya setidaknya 1 juta hektar jadi 3 juta hektar. Kebutuhan lahan juga meningkat, setidaknya jadi 6,9 juta hektar. Dia perkirakan, risiko emisi lepas bisa jadi naik hampir 80 juta ton.

“Aneh sebenarnya dengan ketergantungan Pemerintah Indonesia pada teknologi co-firing dalam transisi energi. Jelas ini akan menghambat pensiun PLTU tua karena banyak PLTU tua tetap beroperasi dengan co-firing.”

Tak hanya co-firing, permen ini juga memberikan porsi 1,9% atau 4,5 gigawatt untuk PLTBio.

“Dari mana bioenergi  menyerap emisi? Penanaman feedstock? ESDM perlu menyelaraskan dengan rencana folu net sink kalau begitu. Saya tidak yakin tidak ada deforestasi akibat perluasan penanaman feedstock untuk PLTBio,” katanya.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Beberapa waktu lalu. Masyarakat menggugat perihal izin PLTU II yang akan dibangun tahun ini ke PTUN Bandung. Gugatan tersebut dilatarbelakangi akibat dampak yang ditimbulkan PLTU I terhadap lingkungan dan ekonomi masyarakat setempat. Foto : Donny Iqbal

Pensiun dini PLTU

Mengenai PLTU, permen ini melarang pengembangan PLTU baru kecuali yang sudah masuk Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dan PLTU terintegrasi dengan industri (captive). Juga, PLTU yang berkomitmen mengurangi 35% emisi sejak 10 tahun beroperasi melalui teknologi carbon offset atau bauran energi terbarukan. Poin lain, ada juga soal PLTU beroperasi paling lama sampai 2050.

Ada beberapa syarat untuk pensiun dini PLTU yakni dengan memperhatikan kapasitas, usia pembangkit, utilisasi, emisi gas rumah kaca PLTU, nilai tambah ekonomi, dukungan dana dan teknologi. Selain memperhatikan keandalan sistem ketenagalistrikan, dampak kenaikan tarif listrik, dan aspek transisi energi berkeadilan.

Untuk pensiun dini PLTU harus ada kajian PLN enam bulan sejak penugasan dari menteri. Dalam kajian harus ada aspek teknis, hukum, komersial, keuangan termasuk pendanaan, serta prinsip tata kelola yang baik dan prinsip bussines judgement rules. Kajian ini boleh menggunakan yang sudah ada sebagai referensi tambahan.

PLN bikin kajian lantas evaluasi oleh tim kerja gabungan yang terdiri dari menteri terkait, akademisi dan PLN. Evaluasi ini jadi bahan pertimbangan menteri untuk menyetujui pensiun dini PLTU, termasuk Menteri Keuangan dan Menteri BUMN.

PLN kemudian menjalankan pensiun dini dan membangun pembangkit penggantinya.

Bella Nathania,  Deputi Direktur Program ICEL, mengatakan, penerapan doktrin business judgement rule sebagaimana dalam Pasal 12 ayat 3 memberikan dasar hukum kuat untuk mengambil keputusan strategis. Juga sejalan dengan pengaturan Pasal 9F dan Pasal 9G Undang-undang Nomor 1/2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU  Nomor 19/2003 tentang  BUMN.

“Dengan dijaminnya penugasan kepada PLN untuk pemensiunan dini PLTU serta penerapan business judgement rule dalam kajian pemensiunan, seharusnya sudah jadi landasan hukum kuat untuk mendorong proses pemensiunan PLTU,” katanya.

Analisa ICEL juga menunjukkan,  risiko hukum terhadap pemensiunan PLTU, terutama terkait kerugian negara, hanya relevan apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Karena itu, seharusnya KESDM segera menetapkan keputusan pemensiunan dini.

Setidaknya,  bagi dua PLTU yang sudah dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yakni Cirebon 1 dan Pelabuhan Ratu.

Penetapan ini, katanya,  sangat penting agar PLTU terdampak bisa mulai menyiapkan proses transisi, bukan hanya teknis, juga menyangkut kehidupan para pekerja dan masyarakat di sekitar pembangkit yang menggantungkan hidup pada aktivitas PLTU.

Selain itu, Permen ESDM No. 10/2025 juga memasukkan aspek just energy transition dalam kriteria pemilihan PLTU yang akan pensiun lebih awal. Kendati demikian, aspek just energy transition dalam regulasi ini belum terjabar lebih lanjut.

“Perlu dipastikan, aspek transisi energi berkeadilan dalam pemilihan PLTU yang akan dipensiunkan tidak hanya mencakup pertimbangan teknis dan kalkulasi ekonomi, juga mempertimbangkan aspek kesehatan, lingkungan, sosial, dan aspek-aspek lainnya yang dapat berimplikasi pada masyarakat, khusus masyarakat terdampak.”

Kawasan industri nikel  dan kepulan asap pabrik dan PLTU batubara lepas ke udara. PLTU baru PLN tak boleh bangun lagi, tetapi tidak dengan PLTU captive.  Foto: Rifki Anwar/ Mongabay Indonesia

Yang bisa pensiun PLTU swasta dan PLN. PLN melakukan perjanjian kerja sama dengan pemberi dana. Setelah itu evaluasi berkala setiap enam bulan atau dalam waktu yang diperlukan. Kalau ada biaya tambahan,  menteri menunjuk lembaga independen untuk tambahan referensi kajian setelah pembangkit pengganti selesai.

Untuk PLTU yang sudah agenda pensiun sebelum ada aturan ini, yakni Cirebon 1 dan Pelabuhan Ratu, tetap jalan dengan pengawasan dari pemerintah dan ada dananya.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR,  mengatakan, permen ini menjadi dasar hukum penting dari sekarang akan memandu pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan.

Dia juga menekankan, regulasi ini membuka peluang percepatan pensiun PLTU dengan tetap mempertimbangkan keandalan sistem ketenagalistrikan, biaya listrik, serta prinsip transisi energi berkeadilan.

Keputusan Menteri ESDM, katanya,  menyetujui rencana pensiun dini PLTU Cirebon I dengan fasilitas Energy Transition Mechanism (ETM) juga menjadi bukti pengakhiran operasi PLTU lebih awal dari masa kontraknya layak secara teknis, ekonomis dan legal.

Proses keputusan ini, kata Fabby,  sudah sejak 2021 tetapi belum sepenuhnya mencapai akhir. Dalam 10 tahun mendatang, PLN dan PT Cirebon Electric Power (CEP), di bawah supervisi pemerintah, masih harus merencanakan pembangunan pembangkit energi terbarukan sebagai pengganti kapasitas PLTU yang akan setop.

Selain itu, perlu penguatan jaringan listrik untuk mengintegrasikan pembangkit energi terbarukan, terutama yang bersifat variable.

“Tanpa langkah-langkah ini, rencana pensiun dini PLTU berisiko batal karena potensi kekurangan pasokan listrik pada 2035,” kata Fabby.

Berdasarkan kajian IESR, untuk mendukung upaya mitigasi krisis iklim agar suhu bumi tidak melebihi 1,5°C, sekitar 72 PLTU batubara dengan kapasitas 43,4 GW perlu pensiun periode 2022–2045.

Periode 2025–2030, IESR merekomendasikan penghentian operasional 18 PLTU berkapasitas 9,2 GW, terdiri dari delapan milik PLN (5 GW) dan 10 PLTU pembangkit swasta (4,2 GW).

Kajian IESR ini juga mempertimbangkan faktor yang sesuai dengan yang tercantum dalam Permen No. 10/2025 dalam mempercepat pengakhiran operasional batubara, seperti usia dan kapasitas pembangkit, keekonomian proyek, serta dampak lingkungan, terutama keluaran emisi gas rumah kaca.

Dalam permen itu, pemerintah juga mempertimbangkan ketersediaan dukungan pendanaan dalam negeri dan luar negeri dalam mempercepat pengakhiran operasional PLTU batubara.

IESR memperkirakan,  biaya pensiun dini PLTU mencapai US$4,6 miliar hingga 2030 dan US$27,5 miliar sampai 2050. Sekitar  dua pertiga atau US$18,3 miliar dari PLTU swasta, dan sepertiga atau US$9,2 miliar PLTU PLN.

Meski biaya awal pensiun PLTU tergolong besar, manfaat jangka panjang dari penurunan biaya kesehatan, dan subsidi PLTU mencapai US$96 miliar pada 2050.

Dukungan pendanaan untuk pensiun dini PLTU PLN yang tak efisien, mahal dan menyebabkan polusi udara akut, katanya,  bisa dari APBN.

“Namun,  dana yang ditambah dengan penyertaan modal negara harus untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan dan penguatan jaringan listrik. Ini serupa dengan memindahkan dana dari kantong kiri ke kanan,” kata Fabby.

Dia jelaskan, sembari menunggu pensiun PLTU, bisa lakukan pengoperasian fleksibel untuk mendukung integrasi energi terbarukan, khusus surya dan angin.

Pendekatan ini, katanya,  akan mengubah sistem operasi tenaga listrik, PLTU akan beroperasi mengikuti pola pembangkit intermiten, dalam batas teknis aman bagi sistem. Dengan cara ini, katanya, penetrasi energi terbarukan dalam sistem kelistrikan dapat meningkat signifikan.

Kajian Greenpeace dan CELIOS yang terbit akhir April menyimpulkan,  kebijakan transisi energi di Indonesia kurang ambisius. Sejumlah solusi palsu mulai dari penggunaan teknologi CCS/CCUS, bioenergi dari sawit, serta gas dan nuklir akan menimbulkan kerugian ekonomi. Selain itu,  juga penurunan serapan tenaga kerja, dampak kesehatan dan lingkungan serta potensi peningkatan emisi.

“Dari segi dampak kesehatan, pembangkit gas fosil dengan skenario 22 GW memberikan beban biaya kesehatan hingga Rp89,8–Rp249,8 triliun dalam 15 tahun kedepan”, kata Leonard Simanjuntak,  Kepala Greenpeace Indonesia.

“Selain itu, ekspansi pembangkit gas fosil dalam skenario 22 gigawatt akan mengakibatkan lonjakan emisi CO2 hingga 49,02 juta ton per tahun, dan emisi Metana (CH4) hingga 43.768 ton per tahun,” katanya.

Dari sisi ekonomi angka juga tak kalah fantastis. Kajian ini menyebutkan, pembangkit gas fosil justru akan menurunkan output ekonomi Rp941,4 triliun secara akumulatif hingga 2040. PLTG siklus gabungan  akan menurunkan output hingga Rp280,9 triliun.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS menjelaskan, dari sisi serapan tenaga kerja, pembangkit turbin gas berisiko menurunkan serapan tenaga kerja hingga 6,7 juta orang. Angka ini mempertimbangkan gangguan pada pendapatan masyarakat di sektor terdampak seperti sektor kelautan dan perikanan.

“Dampak kesehatan dari pembangkit gas fosil dengan skenario 22 gigawatt memberikan beban hingga Rp89,8–Rp249,8 triliun dalam 15 tahun kedepan.”

Menurut perhitungan CELIOS, kalau Indonesia fokus dan beralih pada pengembangan energi terbarukan justru akan berkontribusi positif terhadap perekonomian Rp2.627 triliun pada 2040. Jumlah serapan tenaga kerja bila pembangkit terbarukan skala komunitas dikembangkan secara masif bisa mencapai 20 juta orang pada 2040.

********

Transisi Energi Indonesia di Persimpangan Jalan?

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|