- Bali kembali gelap (blackout). Gara-gara gangguan jaringan kabel bawah laut Jawa-Bali, listrik di hampir seluruh wilayah Bali padam total hingga malam. Padahal, Rabu (2/5/25) sekitar pukul 16.00 Wita itu, warga sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan Hari Raya Kuningan.
- Sejak 2019, pemerintah Bali mewacanakan dan menargetkan Bali mandiri energi dan bersumber pada energi bersih. Transisi ini dinilai belum berjalan sesuai target.
- Ketika Bali blackout, ada warga yang tidak terdampak karena sudah memiliki cadangan listrik dari energi terbarukan.
- Suriadi Darmoko, dari organisasi 350.org mengatakan, berdasar catatannya, blackout di Bali akibat gangguan sistem kelistrikan sudah empat kali terjadi. Potensi untuk kembali terjadi sangat terbuka jika terus tergantung pada pembangkit energi fosil.
Bali kembali gelap (blackout). Gara-gara gangguan jaringan kabel bawah laut Jawa-Bali, listrik di hampir seluruh wilayah Bali padam total hingga malam. Padahal, Rabu (2/5/25) sekitar pukul 16.00 Wita itu, warga sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan Hari Raya Kuningan.
PLN menyebut, listrik padam di hampir seluruh Bali itu terjadi akibat gangguan kabel bawah laut yang menghubungkan listrik Jawa-Bali. “Gangguan transmisi saluran bawah laut Jawa-Bali dan tegangan di sisi Bali menjadi nol voltase,” ujar Darmawan Prasodjo, Direktur PT PLN kepada sejumlah media ketika melakukan pengecekan. Sekitar 1,8 juta pelanggan PLN terdampak peristiwa ini.
Insiden blackout ini seolah mempertegas kembali upaya untuk mendorong pulau wisata ini mandiri secara energi. Terlebih, sebelumnya, sudah ada Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 45/2019 guna mendorong penggunaan energi bersih secara mandiri, ramah lingkungan, berkelanjutan dan adil.
Tidak hanya itu, dalam Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah (RPRKD) Bali bahkan menargetkan 100% pembangkit yang ada berasal dari pembangkit energi terbarukan. Juga, meningkatkan efisiensi energi menjadi 5% per tahun, pengalihan 100% LPG ke energi listrik pada 2045, serta adopsi 100% motor listrik dan 40% mobil listrik tahun 2045.
Masalahnya, saat pemprov mematok target yang begitu ambisius, di tingkat tapak, informasi mengenai transisi acapkali tak cukup. Anggara Mahendra, warga Denpasar ini, misal. Meski tertarik untuk beralih ke energi bersih, dia masih bingung mencari informasi instalasi energi terbarukan.
Di tengah informasi terbatas, Anggara akhirnya memutuskan membeli satu paket panel surya dan lampu di online shop seharga sekitar Rp200.000 . Dari satu titik lampu yang ia mulai dua tahun lalu, kini telah bertambah jadi sembilan titik.
Lampu-lampu energi surya itu terpasang di halaman rumah, kebun, teras, kamar mandi, dan lainnya. Total biaya Rp1 juta. Anggara senang dengan model tumbuh ini karena tidak memberatkan kantong. Setidaknya, saat Bali blackout masih 9 titik cahaya menyala di rumahnya.
“Pada awalnya bingung, informasi (soal surya atap skala rumah tangga) susah, tidak seperti jual murah dengan DP murah, itu yang membuat eksklusif rasanya. Nyari informasi ke mana ya? Misal ingin pasang setara 1300 watt, kalau upgrade gimana?” keluhnya terkait minimnya akses informasi dan pembiayaan transisi energi untuk rumah tangga. Sementara informasi yang ada menurutnya instalasi untuk perusahaan besar.
Anggaran bilang, meski beli sejak dua tahun lalu, lampu-lampu energi surya itu masih berfungsi dengan baik, kecuali saat mendung. Menyala dengan sensor otomatis pada malam hari, kecuali kabelnya dicabut saat Hari Raya Nyepi.

Nusa Penida tetap terang
Warga lain yang tidak panik saat Bali blackout adalah Nusa Penida. Ketika sebagian besar warga gelisah mati listrik beberapa jam di waktu sibuk, rumah-rumah warga di pulau ini tetap terang benderang, kontras dengan di pulau induk.
Kadek Yoga Kusuma, Camat Nusa Penida mengatakan, saat media sosial ramai Bali blackout, pulaunya menyala. Sebabnya, pulau ini mulai mandiri energi tidak tergantung pada pulau utama. Saat ini, Nusa Penida bahkan bersiap menuju transisi energi bersih 100% pada 2030.
Meksi begitu, seiring meningkatnya pembangunan fasilitas usaha pariwisata dan jumlah penduduk, pulau ini juga masih belum sepenuhnya terang setiap hari. “Masih ada pemadaman bergilir saat pemeliharaan,” katanya.
Untuk transisi energi bersih, menurut Yoga, sudah ada sosialisasi dari PLN untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Klumpu dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) baru di Suana. Tahun ini menurutnya dilanjutkan pengecekan lahan dan pembebasan jalan.
Kebutuhan listrik Kepulauan Nusa Penida saat ini disuplai oleh 13 Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dengan total kapasitas 12,412 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 3,5 MWp. Total listrik yang mampu disuplai kedua jenis pembangkit listrik di siang hari mencapai 14,06 MW.
Institute for Essential Service Reform (IESR) dalam riset transisi energi Nusa Penida menyebutkan, beban puncak tercatat sebesar 10,7 MW, dengan jumlah pelanggan 20.493 yang terdiri dari 14.226 rumah tangga, 5.065 bisnis dan 9 industri. Menurut organisasi ini, Bali punya potensi energi terbarukan hingga 143 Gigawatt (GW), yang didominasi PLTS dan tersebar di seluruh wilayah Bali.

Potensi terjadi lagi
Suriadi Darmoko, dari organisasi 350.org yang mengampanyekan transisi energi mengatakan, berdasar catatannya, blackout di Bali akibat gangguan sistem kelistrikan sudah empat kali terjadi. Potensi untuk kembali terjadi sangat terbuka jika terus tergantung pada pembangkit energi fosil.
“Transisi energi mandek, skala kecil dan skala besar tidak ada,” katanya.
Upaya kemandirian listrik ini, katanya, harus mulai pada pembangkit energi terbarukan dalam skala komunitas sesuai potensi wilayahnya, terdesentralisasi mulai dari komunitas, banjar, desa, kabupaten, dan provinsi.
Dia mencontohkan Dusun Manik Aji, Desa Ban di Karangasem yang membuat akses surya atap untuk menerangi 20 keluarga di desa terpencil di Bali ini. Untuk skala kabupaten ada PLTS Kayubihi Bangli sebagai model kepemilikan dan pengelolaannya yang melibatkan pemerintah setempat.
“Kuncinya adalah pembangunan pembangkit energi terbarukan terdesentralisasi, kita tidak bergantung pada energi skala besar yang rapuh dan rentan kolaps seperti saat ini.”
Bali, katanya, kurang agresif menggalang pendanaan untuk desentralisasi energi ini. Misal, saat konferensi G20, harusnya bisa memanfaatkan Just Energy Transition Partnership (JETP). Alokasi anggaran lain juga, misal, dari dana pemulihan ekonomi nasional pasca COVID19, menurut Suriadi malah dialokasikan untuk pembangunan pusat kebudayaan di Klungkung.
Memiliki cadangan listrik kini menjadi perhatian baru warga. Setelah blackout, di media sosial malah ada video warga membeli genset. Suriadi contohkan, di Lumajang pada 2021 ada erupsi di Gunung Semeru yang memutus sebagian besar listrik. Namun ada satu Kampung Gunung Saur sekitar 110 keluarga tidak blackout karena menggunakan juga pembangkit listrik mikrohidro selain PLN.
“Kemandirian energi terwujud ketika tidak perlu taransportasi. Gangguan ekternal tidak terjadi jika ada pemutusan,” kata Suriadi.
Bali dinilai sangat mungkin lepas dari ketergantungan energi fosil dengan model pembangkitan listrik terpusat. Center For Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana bersama Greenpeace Indonesia menemukan potensi energi surya di Bali paling tinggi, yaitu sekitar 98% dari total potensi energi terbarukan yang terdapat di Bali.
Potensi energi matahari di pusat kabupaten/Kota di Bali berkisar antara 4,01-6,13 kWh/m²/hari dengan rata-rata 4,89 kWh/m²/hari. Bali memiliki iradiasi solar berkisar 1,490 hingga 1,776 kWh/m²/tahun, atau melebihi standar yang diberlakukan di Eropa untuk kelayakan proyek energi surya, yaitu 900 kWh/m²/tahun.
*****
Bali Targetkan Pengurangan Emisi 5 Kali Lipat dengan Kendaraan Listrik