Upaya Masyarakat Adat di Rimbang Baling Pulihkan Ekonomi

3 weeks ago 32
  • Masyarakat Adat Tanjung Belit, Muara Bio, Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai dan Subayang Jaya  bergantung hidup dari menyadap karet,  damar, dan buah-buahan hutan. Mereka hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. 
  • Hasil kebun yang banyak mereka jual ke pasar itu karet. Harga karet dari Rp22.000, sempat anjlok ke Rp3.000 per kg. Kini, dalam empat bulan belakangan, harga mulai naik Rp10.000 per kilogram.Selama masa-masa sulit itu, warga banyak tak garap kebun karet sampai berselimut semak bahkan ada yang coba tanam sawit.
  • Kenaikan harga, sejalan upaya masyarakat adat meningkatkan kualitas dan produktivitas perkebunan.  Hal ini antara lain karena upaya perbaikan pengolahan tanaman karet, seperti cara menukik sampai pemberian pupuk organik hasil buatan masyarakat. 
  • Meski petani karet perlahan terbiasa dengan teknik produksi dan peralatan baru, masih punya tantangan bagaimana menjamin harga benar-benar berpihak dan menguntungkan petani.  Hingga kini, petani maupun di pengumpul (induk semang) masih bisa alami harga yang berfluktuasi.

Masyarakat Adat Tanjung Belit, Muara Bio, Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai dan Subayang Jaya  bergantung hidup dari menyadap karet,  damar, dan buah-buahan hutan. Mereka hidup di sekitar dan dalam kawasan hutan, Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling.

Hasil kebun yang banyak mereka jual ke pasar itu karet. Harga karet dari Rp22.000, sempat anjlok ke Rp3.000 per kg. Kini, dalam empat bulan belakangan, harga mulai naik Rp10.000 per kilogram.

Selama masa-masa sulit itu, warga banyak tak garap kebun karet sampai berselimut semak bahkan ada yang coba tanam sawit.

“Sekarang, harga Rp10.000. Ada juga Rp10.200. Kurang Rp10.000 tak ada. Segitu mulai lumayanlah,” kata Satar, warga Aur Kuning, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Desember lalu.

Satar mulai bantu orangtua menderes atau menyadap karet sejak tamat sekolah dasar. Setelah menikah, sekitar 16 tahun lalu, dia mulai buka kebun sendiri sebanyak tiga hektar. Kini, usia karet sekitar  14 tahun dan belum sadap sama sekali karena lokasi terlalu jauh.

“Mungkin kalau harga naik lagi baru panen. Kalau bisa minimal Rp20.000 baru layak.”

Menurut dia, karet lokal jarang mati walau tak kena sadap. Untuk keperluan harian, dia mengelola satu hektar kebun karet yang dekat rumah. Ada 400 pohon yang dia sadap (menakik).

Satar dan petani lain, menakik tiga hari seminggu. Hari keempat mengumpulkan hasil. Libur hanya Jumat.

Dia dan istri terkadang bersama anak, kerja mulai pukul 7.00-1.00 siang. Kalau kerja sendiri hanya menyelesaikan 200 batang pohon.

Dasmawati, dan Jusmaida,  dua saudara , warga Aur Kuning antusias dan senang dengan harga karet, saat ini. Kala itu, harga karetnya tembus Rp11.000 perkg.

Kenaikan harga sedikit demi sedikit itu sangat penting bagi Dasmawati dan Jusmaida yang menjadi kepala rumah tangga pada usia makin senja. Suami tak lagi bekerja karena sakit. Keduanya bersama-sama noreh getah dari 400 batang, . Mulai pukul 6.00 sampai pukul 10.00.

Jadi petani karet serba salah salah kalau cuaca tak menentu. Meski menghindari hujan saat menakik, petani juga tak ingin kemarau berkepanjangan. Kondisi itu,  akan menyebabkan produksi getah berkurang.

Jusmaida berharap hujan turun sekali dalam satu minggu dan panas tak terlalu lama. Kalau tidak, petani tak dapat berbuat banyak apalagi ketika musim hujan. Umumnya, petani karet panen tiap empat hari. Kalau kena hujan, bisa tujuh hari.

Perempuan usia lanjut seperti Jusmaida dan sepupunya Dasmawati, jadi tumpuan ekonomi rumah tangga, tak punya pilihan pekerjaan pengganti atau cuaca tak mendukung.

“Diam saja di rumah. Kalau tak bekerja, berutang dulu ke induk semang. Kalau sudah dapat karet langsung potong utang. Sekarang, masih ada utang belum bayar,” kata Dasmawati.

Beruntung, Dasmawati dan Jusmaida termasuk dalam daftar penerima program keluarga harapan (PKH), semacam bantuan sosial bagi keluarga tak mampu Rp200.000 per bulan. Mereka terima tiap dua bulan, sejak 10 tahun belakangan.

Rata-rata petani berutang pada induk semang sebagai pengumpul karet. Setidaknya,  ada tujuh induk semang di Aur Kuning. Mereka juga pemilik kedai harian yang memasok kebutuhan pokok rumah tangga.

Satar mengatakan,  petani kerap menjual getah lebih awal atau berapa adanya jika punya utang. Sebaliknya, kalau tak ada utang, petani lebih baik mengumpulkan karet sampai waktu jual. Bahkan menunggu sampai dua minggu. Per minggu, dia biasa menjual 75-76 kilogram getah dengan uang Rp760.000.

Belum hasil tanaman lain, cukup buat sampai menakik tiba. Damar Rp15.000 per kilogram. “Petai Rp40.000 per kilogram, kadang turun jadi Rp15.000.”

Buah-buahan hutan mereka jual ke Desa Gema, pusat Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Damar jual hampir di setiap desa, terutama Terusan, pusat pembuatan piyau dari generasi ke generasi.

Kalau tak ke hutan, masyarakat cari ikan di Sungai Subayang dengan jala dan jaring. Hasil tangkapan mereka jual dari rumah ke rumah. Musim banjir biasa paling rutin cari ikan. Bisa sampai malam.

Petani dan induk semang bersama-sama menimbang karet. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia.

Pupuk

Kembali naiknya harga karet, sejalan upaya masyarakat adat meningkatkan kualitas dan produktivitas perkebunan.

Yapeka, organisasi nirlaba yang memiliki perhatian terhadap konservasi, pendidikan pelestarian alam dan pemberdayaan masyarakat, ikut mendampingi petani dalam upaya peningkatan produktivitas dan kualitas kebun.

Melalui Integrated Tiger Habitat Conservation Program (ITHCP) Fase I yang mulai sejak 2015, mulanya Yapeka bersama konsorsium: WWF dan Indecon, fasilitasi masyarakat adat produksi pupuk cair organik dari limbah kotoran sapi (slurry). Pada tahap awal, belum semua desa mereka dampingi.

Masyarakat adat di Rimbang Baling umumnya tidak memupuk pohon-pohon karet mereka, sejak awal tanam hingga produksi. Kalau pun ada sebagian, justru gunakan pupuk kimia yang biasa untuk tanaman sawit.

Pilihan pupuk kimia khawatir membahayakan ekosistem Sungai Subayang karena kebun sawit dekat atau di pinggir sungai yang kaya ikan. “Program dengan uji coba penggunaan pupuk organik sekaligus mengurangi ketergantungan pupuk kimia,” kata Agustinus Wijayanto, Direktur Program ITHCP.

Fasilitas pengolahan kotoran sapi dan kerbau menjadi pupuk cair dibangun di Desa Tanjung Belit, sempat menyuplai kebutuhan pupuk di desa-desa dalam kawasan konservasi itu. Secara berurutan antara lain, Muara Bio, Batu Sanggan, Tanjung Beringin, Gajah Bertalut, Aur Kuning, Terusan, Pangkalan Serai sampai Subayang Jaya.

Fasilitas serupa juga sempat dibangun di Aur Kuning tetapi tidak berfungsi lagi karena terkena longsor.

Agustinus mengatakan, pupuk organik olahan masyarakat juga buat sayuran dan segala macam tanaman di pekarangan.

“Penggunaan pupuk organik bukan semata menambah pendapatan tapi mengurangi pengeluaran. Apalagi pupuk cair gratis atau diterima dari tempat pengolahan.”

 Suryadi/ /Mongabay IndonesiaSatar, belajar menakik karet searah di Palembang. Sebelumnya, kulit pohon dikupas dari segala arah. Beda cara, beda hasil. Foto: Suryadi/ /Mongabay Indonesia

Pembelajaran

Masalah kualitas karet petani tidak hanya soal pemupukan. Cara-cara menakik getah juga turut mempengaruhi hasil. Dalam Program ITHCP Fase III, Yapeka juga bersama Forum HarimauKita, mulai mendampingi para petani karet dalam proses produksi.

Yapeka memfasilitasi perwakilan petani tiap desa untuk belajar cara menakik karet agar lebih produktif di Palembang dan Bogor. Di sana, para petani juga dikenalkan dengan peralatan modern buat mengambil getah namun tetap ramah lingkungan.

Setelah mendapat pembelajaran, petani mengedukasi yang lain. Setidaknya, 15-40 petani tiap desa sudah mempraktikkan cara serupa. Para petani itu juga menjadi pemandu dalam sekolah lapang di desa lain.

“Walau belum semua petani karena kemampuan juga terbatas. Tapi siapa (petani) tertarik tetap kita bantu. Saling perkuat,” kata Agustinus.

Satar, salah satunya. Dia bersama petani lain latihan di Palembang. Dia  dapat ilmu antara lain cara menakik lebih efektif, cara tanam karet yang lebih baik juga mengatur keseragaman jarak.

“Sekarang lumayan. Kerja jadi lebih mudah dan cepat. Segi kualitas 50% tambah lebih bagus,” ujar Satar.

Melepas karet. Foto: Suryadi/Mongabay Indonesia

Tantangan

Meski petani karet perlahan terbiasa dengan teknik produksi dan peralatan baru, Agustinus merasa masih punya tugas pendampingan dan pemberdayaan untuk menjamin harga benar-benar berpihak dan menguntungkan petani.  Karena hingga kini, petani maupun di pengumpul (induk semang) masih bisa alami harga fluktuatif.

Marzai, induk semang mengatakan,  setelah karet bawa ke Gema, tak jarang harga di sana turun jadi Rp9.000 padahal sudah ambil dari petani Rp10.000. Padahal, mereka hanya mendapat keuntungan Rp300-Rp500 per kilogram.

Dari penambahan harga itu untuk menutupi biaya ongkos pengangkutan ke Gema. Transportasi piyau 15 liter bensin dengan harga Rp14.000 per liter. Tambah upah satu orang yang bantu mengantar Rp150.000.

“Begitulah perjalanan (harga) karet. Kadang untung. Kadang rugi. Turun harga, habis semua. Sekarang, harga masih batas sedang dari tahun-tahun lalu,” kata Marzai.

Awal jadi induk semang, dia masih menikmati harga Rp15.000, sebelum turun ke Rp4.000.

Menurut Agustinus, petani dan induk semang di Kampar Kiri Hulu perlu membentuk asosiasi agar terorganisir. Terlebih memiliki nilai dan kekuatan daya tawar atas hasil produksi sendiri.

Beberapa kali Yapeka mengajak petani dan induk semang melihat proses lelang karet di Kuantan Singingi. Di sana, ada Asosiasi Petani Karet Kuantan Singingi (Apkarkusi).

Mereka melelang karet dengan mengundang sejumlah perusahaan untuk datang langsung. Harga menjadi kompetitif dan transparan. Juga mengurangi rantai distribusi penjulan karet dan biaya.

“Menarik untuk diadopsi. Kita tidak memutus tauke tapi merangkul mereka untuk mempelajari aspek seperti itu termasuk perniagaan,” kata Agustinus.

*******

Cerita Dubalang, Para Kader Konservasi Rimbang Baling

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|