Laudato Si’ dan Pertobatan Ekologis: Spirit Profetik Paus Fransiskus untuk Bumi yang Satu

2 days ago 8

Ketika keheningan di bumi yang penuh sayatan dan langit yang semakin terasing dari bintang-bintang, petuah Paus Fransiskus pernah menggema laksana “Nabi” di abad modern. Seruannya tak semata-mata menyangkut ekologis, melainkan jeritan spiritual dari seorang gembala yang menyentuh luka dunia dan menyebutnya suci.

Untuk mengenang kepergiannya (17 Desember 1936-21 April 2025), sepatutnya kita mengenang pula ajaran yang tak hanya untuk menghidupkan pikiran, lebih dari itu menggerakan iman dan perbuatan.

Salah satu yang cukup mendalam dan reflektif dari legasi Jorge Mario Bergoglio–nama asli Padre Fransiskus, adalah Ensiklik Laudato Si’ (Terpujilah Engkau; 2015). Ensiklik–surat gembala, yang diterbitkan dua tahun setelah Ensiklik Lumen Fidei (Terang Iman; 2013) merupakan sebuah nyanyian kasih dan keadilan untuk bumi yang terluka dan bagi mereka yang rapuh.

Paus Fransiskus memulai Laudato Si’ (LS) dengan mada pujian kepada Sang Pencipta melalui syair Santo Fransiskus dari Assisi; “Pujian bagimu, Tuhanku, bersama segala makhluk-Mu.”

Sedari awal, kita sudah diajak untuk menyadari jika bumi bukanlah sumber daya yang dapat dieksploitasi, melainkan selayaknya saudara dan saudari kita dalam rumah bersama.

Namun hari-hari ini dunia kita kian retak. Retak oleh logika kapitalisme yang rakus, oleh keserakahan sistemik, oleh budaya hedonis yang meniadakan batas.

Paus Fransiskus (1936-2025). Dok: Wikimedia/ Creative Commons Attribution-Share Alike 2.0 Generic license.

Papa Francesco dalam sebuah kritiknya atas kapitalisme menegaskan, sesungguhnya “penyembahan terhadap pasar dan mengejar keuntungan di atas segalanya, dapat mengakibatkan pengabaian atas martabat manusia dan lingkungannya.”

Pada kerangka ini, Sri Paus menyebut, bahwa “pasar sendiri tidak dapat menjamin pembangunan manusia yang inklusif dan berkelanjutan (LS, 109).”

Ia menggambarkan kapitalisme sebagai bentuk “kolonialisme baru”, yang melanggengkan ketidakseimbangan kekuasaan dan eksploitasi di negara-negara selatan global.

Kritik ini salah satu gema dari semangat Teologi Pembebasan yang berpihak kepada kaum papa dan marjinal—mereka yang teramat menderita akibat krisis ekologis dan banalitas modernisasi.

Seperti yang disuarakannya dengan begitu lantang: “Dampak dari pelanggaran terhadap lingkungan hidup terutama dirasakan oleh kaum miskin paling rentan….Mereka tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim atau untuk menghadapi bencana alam yang kian sering terjadi (LS, 25).”

Dari dogma ini, patut dilihat bukan sekadar pemikiran ekologis, tetapi teologi pembebasan dalam wajah barunya, sebuah teologi yang memperjuangkan keadilan ekologis sebagai bentuk nyata dari cinta kepada sesama.

Paus Fransiskus membaca krisis lingkungan sebagai krisis relasional—antara manusia dan Tuhan dan antara sesama makhluk ciptaan. Pandangan ini secara komprehensif menyiratkan bahwa degradasi ekologis tak bisa dipisahkan dari degradasi spiritual manusia itu sendiri.

Ada satu bagian yang dengan tajam Ia menekankan: “Kita telah lupa bahwa diri kita sendiri terbentuk oleh elemen-elemen bumi; kita menghirup udaranya dan menerima kehidupan serta kesegarannya dari airnya (LS, 2).”

Pandangan ini menyerukan kembali filosofi relasional eko-teologi maupun kritik atas antroposentrisme yang berlebihan, di mana manusia selalu menempatkan dirinya seperti pusat, seolah-olah semua ciptaan merupakan milik dan budaknya.

Pope Francis mengilhaminya sebagai akar persoalan ekologis kita sejauh ini: “Sebuah penyimpangan antropologis…ketika manusia tidak lagi mengakui tempatnya yang sejati sebagai makhluk, dan bukan pencipta (LS, 116).”

Ia turut mengajak seluruh masyarakat internasional untuk menyadari apabila kita bukan tuan atas bumi, tetapi pelindung; bukan pemilik, namun sahabat dan bagian dari jalinan kehidupan yang saling bergantung.

Paus Fransiskus. Foto: Claude Truong-Ngoc/Wikimedia Commons – cc-by-sa-3.0

Ekologi Integral: Sebuah Pendekatan Holistik

Visi utama Paus Fransiskus melalui Laudato Si’ yaitu konsep “ekologi integral”—sebuah pendekatan holistik yang menggabungkan lingkungan hidup, keadilan sosial, ekonomi, dan spiritualitas.

Memakai bahasa yang penuh empati, pria kelahiran Buenos Aires ini menyerukan: “Tidak ada dua krisis terpisah; satu lingkungan dan satu sosial. Melainkan satu krisis kompleks yang bersifat sosial dan lingkungan (LS, 139).”

Hakikatnya setiap penggundulan hutan pun, bagian dari penindasan terhadap komunitas Masyarakat Adat; bilamana pencemaran sungai juga bentuk ketidakadilan bagi kaum miskin yang bergantung pada air itu untuk bertahan hidup.

Maka dari itu, aksi ekologis sejatinya bukan semata-mata urusan para akademisi dan aktivis lingkungan semata. Itu menekankan format paling konkret dari iman yang hidup. Iman yang menolak diam di tengah penderitaan bumi dan mereka yang dilupakan oleh kekuasaan.

Bersama Laudato Si’, Fransiskus mengungkapkan: “Spiritualitas Kristiani mengusulkan suatu cara hidup yang ditandai oleh kemampuan untuk menikmati secara mendalam tanpa harus menjadi konsumen berlebihan. Ia mengusulkan gaya hidup profetis dan kontemplatif, yang mampu bersukacita tanpa tergila-gila akan konsumsi (LS, 222).”

Kiranya inti spiritualitas ini, mengajak untuk mengalami Tuhan dalam setiap makhluk hidup; melalui deru angin yang lembut, dalam benih-benih yang tumbuh di tanah, melalui ikan yang berenang di sungai nan jernih.

Semua itu bagi Fransiskus menjadi sarana perjumpaan dengan Yang Ilahi. Semua menjadi liturgi semesta. Pertobatan ekologis bukan sekedar “mengembalikan kehijauan.”

Ia merupakan suatu metanoia–perubahan hati, arah, dan cara hidup yang menuntut kejujuran untuk mengakui jika gaya hidup kita, sering kali telah bertentangan dengan ayat-ayat kehidupan.

Fransiskus tidak malu untuk menyentil ketidakadilan tersebut, seperti; “Kaum miskin dan bumi sedang menangis (LS, 49).” Dan tangisan ini hanya bisa dijawab dengan pertobatan.

Pertobatan yang nyata, namun membebaskan dengan cara mengurangi watak konsumerisme, memutus hubungan dari budaya instan dan plastik, memilih keberpihakan pada mereka yang tak bersuara.

Maka dengan spirit ini, aksi kecil seperti menanam pohon, memilah sampah, atau menolak membeli barang yang tak perlu, menjadi bentuk spiritualitas ekologis untuk menghormati bumi dan sesama yang hidup dan bernafas.

Penutup: Warisan dan Harapan

Kini, Paus Fransiskus telah tiada di usia 88 tahun. Akan tetapi warisannya tidak terkubur bersama jasadnya—ia justru menyala-nyala. Lebih terang bagaikan lilin di tengah dunia yang semakin remang. Atau seperti bara di hati kita yang nyaris padam.

Ia mewariskan nilai-nilai kerohanian yang bersifat profetik; sebuah visi iman yang menyatu dengan bumi, berpihak kepada yang lemah, miskin dan marjinal, dan berani menentang sistem yang meluluhlantakkan kehidupan.

Membaca semangat Laudato Si’, setidaknya Paus tidak serta-merta memberi solusi ekologis, melainkan menunjukkan, bilamana keberlanjutan ekologis adalah panggilan eksistensial dan spiritual umat manusia di dunia.

Warisannya menekankan metanoia ekologis—pertobatan mendalam yang menyentuh akar identitas kita sebagai makhluk hidup. Suatu ajakan yang relevan bagi dunia modern yang sudah memisahkan manusia dari tanah, dari ritme semesta, dan dari Tuhan yang hadir dalam ciptaan.

Dan di tengah realitas krisis dunia yang multidimensi—perubahan iklim, ketimpangan sosial, penghancuran peradaban Masyarakat Adat, dan eksodus ekologis—Ia tidak bergema dengan nada putus asa, melainkan senarai bahasa harapan yang radikal.

Bagi Fransiskus, harapan bukanlah pelarian dari kenyataan, melainkan keberanian untuk bertahan di tengah kondisi yang menyakitkan, sembari terus percaya sudi kiranya kasih, itu memiliki “kata terakhir.”

“Kita tidak boleh menyerah pada pikiran bahwa situasi dunia tidak dapat berubah. Harapan mengundang kita untuk mengenali bahwa selalu ada jalan keluar (LS, 61).”

Suatu keinginan yang mendambakan kesembuhan dunia—bukan semata mengandalkan kekuatan manusia, sebaliknya karena karunia Allah yang ikut bergerak dan bekerja bersama kita.

* B. Mario Yosryandi Sara, Peneliti di TIKAR Institute dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik di Universitas Nasional. Tulisan ini adalah opini penulis.

***

Foto utama: Paus Fransiskus (1936-2025), Wikimedia – Creative Commons Attribution 2.0 Generic license

Bumi Makin Terbebani Kala Pembangunan Terus Eksploitasi Alam

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|