- Hari Bumi jatuh pada 22 April. Ia jadi pengingat pentingnya tanggung jawab bersama menjaga bumi dari kerusakan. Saat ini, kondisi bumi tak baik-baik saja. Krisis iklim terjadi dan berdampak ke berbagai sektor di dunia termasuk Indonesia. Kekhawatiran berbagai kalangan muncul kala pola-pola pembangunan di Indonesia masih eksploitatif, bergantung hutan, lahan dan sumber daya alam.
- Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, menyatakan, dorongan pemerintah mengeksploitasi sumber daya alam melalui proyek-proyek besar seperti hilirisasi tambang, atau pengembangan pangan dan energi skala besar—termasuk di hutan alam—bisa memperparah krisis iklim. Alih-alih menjadi strategi pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek ini justru merusak lingkungan dan mengancam kesejahteraan masyarakat lokal.
- Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menilai, pendekatan pembangunan masih dominan paradigma ekstraktif membuat Indonesia rawan gagal memenuhi komitmen iklim global. Meski terus menggaungkan narasi “ekonomi hijau”, kenyataan lapangan memperlihatkan wajah lama pembangunan, yakni, penguasaan lahan skala besar oleh korporasi, pengabaian ekosistem, dan minim partisipasi masyarakat lokal.
- Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, tema Hari Bumi 2025—“Kekuatan Kita, Planet Kita”—semestinya menjadi seruan global untuk menyatukan manusia dalam upaya menyelamatkan rumah satu-satunya: bumi. Namun di Indonesia, tema itu justru mencerminkan paradoks.Kekuatan seolah terbajak, teralihkan dari tangan rakyat ke korporasi dan proyek-proyek negara yang mengabaikan batas ekologis.
Hari Bumi jatuh pada 22 April. Ia jadi pengingat pentingnya tanggung jawab bersama menjaga bumi dari kerusakan. Saat ini, kondisi bumi tak baik-baik saja. Krisis iklim terjadi dan berdampak ke berbagai sektor di dunia termasuk Indonesia.
Kekhawatiran berbagai kalangan muncul kala pola-pola pembangunan di Indonesia masih eksploitatif, bergantung hutan, lahan dan sumber daya alam.
Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara, menyatakan, dorongan pemerintah mengeksploitasi sumber daya alam melalui proyek-proyek besar seperti hilirisasi tambang, atau pengembangan pangan dan energi skala besar—termasuk di hutan alam—bisa memperparah krisis iklim.
“Alih-alih menjadi strategi pertumbuhan ekonomi, proyek-proyek ini justru merusak lingkungan dan mengancam kesejahteraan masyarakat lokal,” katanya.
Kondisi hutan dan lahan di Tanah Air memprihatinkan. Sejumlah proyek besar seperti pembangunan jalan tol, kawasan industri, dan food estate, membuka ribuan hektar hutan. Meski diklaim sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan pangan, banyak dari proyek ini justru berujung pada deforestasi masif, konflik agraria, dan kerusakan ekosistem sulit pulih.
Data Auriga Nusantara, luas deforestasi di Indonesia pada 2024 mencapai 261,575 hektar. Angka ini meningkat 4.191 hektar dibandingkan tahun sebelumnya, seluas 257,384 hektar.
Deforestasi tercatat terjadi di seluruh pulau besar di Indonesia, dengan peningkatan paling signifikan terjadi di Kalimantan dan Sumatera, dua pulau yang sejak lama menjadi medan laga antara kepentingan bisnis dan konservasi.
Sebagian besar hutan alam atau seluas 160,925 hektar hutan yang hilang pada 2024 merupakan habitat spesies langka dan dilindungi di Indonesia. Misal, 108,100 hektar merupakan habitat orangutan Kalimantan, dan 32,854 hektar adalah habitat Harimau Sumatera. Sisanya, habitat orangutan Sumatera (7,868 hektar), gajah Sumatera (6,546 hektar), badak Sumatera (3,910 hektar), badak Kalimantan (1,534 hektar), dan orangutan Tapanuli (114 hektar).
Kalau lihat status penguasaan lahan, 57% deforestasi 2024 terjadi di lahan yang dikuasai negara atau dalam kawasan hutan. Penyebabnya tak tunggal, tetapi pola kerusakan menunjukkan kecenderungan kuat: hutan untuk kepentingan korporasi.
Perusahaan kebun kayu menempati posisi pertama dengan 41.332 hektar deforestasi pada 2024, disusul tambang (38.615 hektar), sawit (37.483 hektar), dan logging (36.068 hektar)
Auriga memperkirakan, deforestasi oleh pembangunan kebun kayu akan berlanjut pada 2025.
Pembangunan kebun kayu sebagai penyebab utama deforestasi 2024 tak hanya oleh industri pulp, juga kebun kayu energi atau biomassa.
Tak hanya itu, kata Hilman, proyek hilirisasi tambang, seperti nikel juga mempercepat pembukaan lahan di kawasan hutan tropis, termasuk hutan primer.
Analisis Auriga Nusantara, lebih 450.000 hektar konsesi tambang nikel saat ini tumpang tindih dengan hutan alam. Akibatnya, proyek yang diklaim “hijau” itu justru memicu bencana ekologis.
Di Maluku Utara, misal, ekspansi industri nikel menyebabkan pencemaran serius di wilayah pesisir seperti Teluk Weda dan Pulau Obi. Dampaknya, terasa langsung terhadap ekosistem laut maupun kehidupan masyarakat lokal.
Kondisi ini, kata Hilman, menunjukkan transisi energi global yang bergantung pada mineral kritis tidak otomatis membawa dampak yang berkelanjutan di tingkat lokal.
Hilman juga menyoroti rencana pemerintah membuka 20,6 juta hektar hutan dan lahan untuk proyek pangan dan energi.
Dia mengingatkan, kebijakan ini berisiko melegitimasi deforestasi besar-besaran, melemahkan perlindungan hutan alam, dan melepaskan emisi karbon masif ke atmosfer.
Menurut dia, kombinasi proyek tambang, pangan, dan energi ini berisiko menyebabkan degradasi lingkungan yang signifikan, serta mengancam keanekaragaman hayati.
“Di Kalimantan Utara, misal, rencana pengembangan hutan tanaman energi berpotensi mengancam kawasan hutan alam yang masih tersisa dan memicu konflik lahan antara masyarakat adat dan korporasi,” ujar Hilman kepada Mongabay pada Senin, (21/4/25).
Anggi Putra Prayoga, Manajer Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyatakan, keprihatinan terhadap praktik bisnis yang memanfaatkan biomassa dari kayu hutan alam.
Dari riset FWI, banyak perusahaan masih menggantungkan pasokan kayu untuk biomassa dari hutan alam, alih-alih menggunakan kayu hasil rehabilitasi.
Praktik ini, kata Anggi, tidak hanya merampas habitat keanekaragaman hayati dan kawasan dengan nilai konservasi tinggi, juga memperburuk bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan.
“Yang lebih parah, beberapa perusahaan yang diizinkan membangun kebun energi malah meninggalkan konsesi mereka setelah menghabiskan sumber daya hutan alam, sementara masyarakat adat dan lokal harus menanggung dampaknya,” katanya, berbicara kepada Mongabay.
Dia menyoroti, proyek pangan dan energi saat ini penuh kontroversi. Banyak proyek besar yang korporasi jalankan dengan rakus mengeruk ruang dan merusak lingkungan. Kebijakan top-down ini, di atas kawasan hutan tanpa legitimasi dari masyarakat lokal dan adat.
Anggi katakan, pendekatan coba-coba seperti ini berisiko gagal total, karena tak melibatkan modal sosial dan mengabaikan kebutuhan serta hak-hak masyarakat yang berada di wilayah itu.
Dia juga menyoroti ketidakjelasan dalam kebijakan hilirisasi mineral yang memperburuk masalah. Banyak tambang beroperasi di kawasan hutan dengan berbagai fungsi, termasuk kawasan konservasi.

Mereka seringkali menggunakan dalih peruntukan pemanfaatan kawasan (PPK) untuk menghindari pembatasan. Padahal, tambang yang dalam PPK justru berisiko merusak lingkungan, ekosistem hutan, bahkan ekosistem pesisir.
“Awalnya, pembatasan izin tambang hanya berlaku pada 10% dari luas area, namun dengan adanya hilirisasi, pembatasan ini menjadi kabur dan tak terbatas. Ini sangat berbahaya dan mengancam kelestarian sumber daya alam,” katanya, seraya mengingatkan, kasus di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Di sana, tambang beroperasi tanpa izin pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH), namun tetap berjalan di kawasan PPK, merusak sumber daya alam secara masif.
Anggi juga menyoroti ambisi besar Presiden Prabowo Subianto yang ingin menjadikan Indonesia sebagai raja bioenergi dunia.
Menurut dia, ambisi ini makin tidak realistis, mengingat industri sawit yang jadi pilar utama bioenergi Indonesia, dalam masalah tata kelola kronis—mulai dari transparansi, partisipasi, hingga penegakan hukum lemah.
Anggi mengingatkan, kebijakan pemutihan kebun sawit ilegal di kawasan hutan justru akan memperburuk kondisi ini.
Dia juga mengkritik proyek ibu kota negara (IKN). Dia menilai proyek ini justru menjadi pemicu deforestasi di Kalimantan Timur, menghancurkan habitat keanekaragaman hayati, dan merusak ekosistem mangrove. Proyek itu, katanya, terang-terangan mengeksklusi masyarakat adat, dengan dampak kerusakan lingkungan yang tak terbayangkan.
“Jika proyek ini diteruskan, kerusakan akan makin tak terkendali. Minim integritas dalam menjaga keberlanjutan sumber daya alam hanya akan membawa bencana lebih besar bagi generasi mendatang,” kata Anggi.
Langkah keliru?
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menilai, pendekatan pembangunan masih dominan paradigma ekstraktif membuat Indonesia rawan gagal memenuhi komitmen iklim global.
Dalam dokumen nationally determined contributions (NDC), Indonesia menetapkan target ambisius: pengurangan emisi gas rumah kaca 31,89% pada 2030 secara mandiri, dan 43,2% dengan bantuan internasional. Namun, kata Rio, kalau proyek-proyek seperti 20,6 juta hektar pangan dan energi, maka target itu tinggal jargon tanpa pijakan.
Meski terus menggaungkan narasi “ekonomi hijau”, kenyataan lapangan memperlihatkan wajah lama pembangunan, yakni, penguasaan lahan skala besar oleh korporasi, pengabaian ekosistem, dan minim partisipasi masyarakat lokal.
“Kedaulatan pangan itu bukan soal membuka jutaan hektar hutan, tapi soal menguatkan petani,” kata Arie.
Dia menekankan, strategi kedaulatan pangan semestinya berpijak pada pelestarian alam dan memberdayakan petani lokal sebagai aktor utama. Caranya sederhana, berikan akses lahan, dukungan sarana produksi, dan teknologi sesuai.
“Petani kita punya kearifan lokal untuk bertani secara lestari. Tapi mereka malah ditinggalkan, digantikan oleh korporasi yang rakus lahan.”
Ancaman lain datang dari sektor industri, terutama hilirisasi nikel dan produksi biodiesel, yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi prioritas pemerintah. Alih-alih menjadi solusi energi bersih, keduanya justru menjadi pemicu baru kerusakan hutan.
Menurut dia, tanpa regulasi perlindungan lingkungan ketat, industri hilirisasi nikel akan terus mendorong pembukaan lahan di kawasan hutan tropis, bahkan hutan primer. Situasi ini diperparah dengan kebijakan ekspansi biodiesel yang masih mengandalkan sawit—komoditas yang lama terkait dengan deforestasi dan konflik lahan.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Laporan Global Carbon Project dalam Earth System Science Data akhir 2023 menunjukkan, emisi karbon global kembali mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah. Indonesia, dalam laporan itu, berada di posisi kedua sebagai penyumbang emisi terbesar dari sektor lahan.
“Jika program-program pembangunan terus menyasar kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan, maka kita akan melihat krisis iklim yang jauh lebih parah dari hari ini,” katanya.
Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, tema Hari Bumi 2025—“Kekuatan Kita, Planet Kita”—semestinya menjadi seruan global untuk menyatukan manusia dalam upaya menyelamatkan rumah satu-satunya: bumi. Namun di Indonesia, tema itu justru mencerminkan paradoks.

Menurut Uli, kekuatan seolah terbajak, teralihkan dari tangan rakyat ke korporasi dan proyek-proyek negara yang mengabaikan batas ekologis. “Hampir semua kebijakan hari ini justru memperparah krisis lingkungan,” katanya.
Dia menuding arah pembangunan Indonesia hari ini lebih banyak memberi ruang pada eksploitasi sumber daya alam ketimbang perlindungan lingkungan. Dia menyebut, program-program strategis seperti food estate, proyek strategis nasional (PSN), ekspansi sawit, tambang, hingga megaproyek infrastruktur, sebagai penyebab utama rusaknya bentang alam.
Dampaknya, bukan hanya pada hutan hilang, sungai tercemar, atau udara yang makin pengap. “Masyarakat yang hidup bergantung pada hutan juga ikut terpinggirkan,” kata Uli.
Dia menyoroti bagaimana proyek-proyek besar seringkali melangkahi hak-hak masyarakat adat dan lokal, menjadikan mereka korban dari pembangunan yang tak mereka kehendaki. Dalam pandangan Uli, inilah wajah nyata dari kekuatan yang keliru.
“Kekuatan manusia bisa menyelamatkan bumi. Tapi jika diarahkan untuk merusak, maka kehancurannya akan jauh lebih cepat dan menyeluruh.”

Harus bagaimana?
Di tengah situasi yang muram ini, Uli justru mengajak publik untuk menoleh pada satu kekuatan yang masih bisa menjadi tumpuan: kekuatan rakyat.
Bagi Walhi, kekuatan rakyat bukan sekadar retorika, melainkan energi politik yang bisa mengoreksi arah pembangunan, melawan kebijakan destruktif, dan menuntut perlindungan nyata terhadap alam.
“Kekuatan rakyatlah yang bisa melahirkan kebijakan-kebijakan baru, progresif, dan berpihak pada bumi,” kata Uli.
Dia menekankan, pentingnya konsolidasi gerakan rakyat untuk mengintervensi ruang-ruang pengambilan kebijakan. Tanpa itu, katanya, generasi masa depan akan hidup di planet yang lebih rusak dari hari ini.
“Kalau hari ini kita gagal menggerakkan kekuatan rakyat, maka generasi selanjutnya tak akan punya warisan selain krisis.”
Hilman memiliki harapan, di peringatan Hari Bumi 2025, harus menjadi momentum reflektif pemerintah untuk meninjau ulang arah pembangunan.
Indonesia, harus segera meninggalkan model pembangunan yang terlalu bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. “Pendekatan yang lebih berkelanjutan harus menjadi prioritas,” katanya.
Dia mendorong, pemerintah segera menetapkan zona larangan tambang (no-go mining zone) di wilayah-wilayah rawan seperti kawasan bencana, kawasan pangan berkelanjutan, konservasi, pulau-pulau kecil, hingga wilayah kelola masyarakat.
Bagi Hilman, proyek pembangunan tidak bisa lagi jalan tanpa penilaian dampak lingkungan yang menyeluruh dan partisipasi aktif masyarakat lokal.
Selain itu, kata Hilman, penilaian dampak lingkungan yang menyeluruh perlu diperkuat sebelum setiap proyek dijalankan serta memastikan partisipasi aktif masyarakat lokal dalam setiap tahap pembangunan.
Dia bilang, transisi menuju energi bersih dan ketahanan pangan seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan hutan dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam itu.
“Selain sekadar menjadi ajang seremonial untuk mengapresiasi luasnya hutan Indonesia, peringatan Hari Bumi tahun ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk meninjau kembali arah pembangunan yang semakin bergantung pada eksploitasi sumber daya alam.”
Berbeda Hilman. Anggi menyambut Hari Bumi dengan skeptisisme. “Saya tidak punya harapan apa-apa,” katanya.
Bukan karena pesimisme, tetapi karena melihat terlalu banyak kebijakan lingkungan yang berhenti di tataran retorika.
Dia hanya mendorong yang paling mendesak pemerintah lakukan saat ini adalah memperbaiki tata kelola sumber daya alam—mulai dari membuka keran transparansi. Menurut dia, tanpa transparansi, tak mungkin ada partisipasi bermakna. Tanpa partisipasi, kebijakan hanya akan jadi alat legitimasi kekuasaan.
Dia contohkan, rencana revisi UU Kehutanan sebagai ujian komitmen. “UU Kehutanan yang baru harus merefleksikan bahwa tanpa transparansi, kita hanya akan memproduksi kebijakan lemah yang tidak menyelesaikan masalah.”
Arie, Uli, Hilman dan Anggi sepaham, pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan tanpa menghitung biaya ekologis akan menghancurkan lebih banyak daripada yang bisa diselamatkan.
Kalau tidak koreksi, target pengurangan emisi Indonesia dalam NDC hanya akan menjadi angka mati di atas kertas.
“Tanpa transparansi, Indonesia tidak akan bisa mencapai target pengurangan emisi dan menciptakan keadilan sosial,” kata Anggi.

*******
Food Estate di Hutan Alam dan Gambut Rawan Perburuk Krisis Iklim