Rekor Suhu Panas Bumi dan Krisis Iklim yang Kian Nyata

3 days ago 9

Tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah manusia. Data yang dirilis World Meteorological Organization (WMO) menunjukkan, situasi ini merupakan kondisi terpanas dalam satu dekade terakhir, sementara kadar karbon dioksida di atmosfer mencapai titik tertinggi dalam 800.000 tahun terakhir.

Fenomena ini tidak sekadar angka dalam laporan ilmiah, tetapi juga cerminan kenyataan yang kita hadapi. Dunia sedang terbakar, secara harfiah dan metaforis.

Satu dampak nyata dari pemanasan global yang semakin parah adalah cuaca ekstrem yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada 2024, tercatat sekitar 151 peristiwa cuaca ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyebabkan perpindahan penduduk dalam jumlah tertinggi dalam 16 tahun terakhir.

Banjir besar di Asia Selatan, kebakaran hutan yang melahap Amerika Utara, serta gelombang panas yang melumpuhkan Eropa dan Afrika, menjadi peringatan keras bahwa perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan. Ini merupakan bencana yang sedang berlangsung.

Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak luput dari dampak ini. Curah hujan yang tidak menentu menyebabkan banjir bandang di berbagai wilayah, seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan.

Sementara itu, musim kemarau yang lebih panjang berkontribusi terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang kembali mencemari langit Sumatera dan Kalimantan dengan asap pekat. Fenomena El Niño pada 2023 hingga 2024, turut memperparah kondisi lingkungan dengan meningkatkan suhu global dan mengurangi curah hujan secara signifikan.

Bumi yang kita huni semakin hangat temperaturnya. Foto: Unsplash/Louis Reed/Free to use

Upaya menangani krisis iklim

Upaya global untuk menanggulangi krisis ini masih jauh dari kata cukup. The Paris Agreement yang menargetkan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2 °C atau idealnya 1,5 °C, masih menjadi tantangan besar.

Pada 2024, suhu bumi telah melampaui batas 1,5 °C untuk pertama kalinya, meskipun secara teknis hanya dalam satu tahun. Namun, ini merupakan indikasi bahwa batas tersebut semakin sulit untuk dipertahankan, terutama masih dominannya penggunaan bahan bakar fosil di berbagai sektor.

Amerika Serikat, sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar sepanjang sejarah, kembali menjadi sorotan setelah Presiden Donald Trump mengeluarkan kebijakan yang menghambat komitmen iklim negaranya. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran bahwa negara lain akan mengikuti jejak yang sama, memperlambat transisi energi bersih yang sangat diperlukan untuk menahan laju pemanasan global.

Di sisi lain, negara-negara berkembang seperti Indonesia berada dalam dilema antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Ketergantungan pada batubara sebagai sumber energi utama masih menjadi kendala besar dalam upaya transisi energi ke sumber yang lebih ramah lingkungan.

Petani memanen padi yang roboh akibar angin kencang dan anomali cuaca yang terjadi di Malang, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Studi terbaru pemanasan global

Studi terbaru yang dilakukan Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK) mengungkapkan bahwa risiko pemanasan global bisa jauh lebih besar dibandingkan perkiraan sebelumnya, akibat umpan balik siklus karbon.

Studi ini menunjukkan bahwa pencairan permafrost, peningkatan kadar metana, serta perubahan dalam siklus karbon dapat mempercepat pemanasan global hingga tingkat yang tidak pernah diprediksi sebelumnya. Dengan kata lain, bahkan dalam skenario emisi rendah, kenaikan suhu bisa jauh melampaui ambang batas 2 °C.

Kondisi ini seharusnya menjadi peringatan bagi para pemimpin dunia bahwa tindakan cepat harus segera diambil. Perubahan iklim bukan lagi isu lingkungan, tetapi juga krisis kemanusiaan dan ekonomi yang dapat mengancam stabilitas global.

Ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan iklim dapat menyebabkan bencana kemanusiaan lebih besar, mulai dari kelangkaan air dan pangan, peningkatan angka kemiskinan, hingga konflik sosial akibat migrasi iklim.

Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin dalam transisi energi bersih di Asia Tenggara. Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah seperti tenaga surya, hidro, dan panas bumi, Indonesia seharusnya dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Namun, investasi energi terbarukan masih jauh tertinggal dibandingkan dengan eksploitasi sumber daya fosil. Pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar bagi pengembangan energi bersih serta menerapkan regulasi yang lebih ketat terhadap industri yang masih bergantung pada bahan bakar fosil.

Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap isu perubahan iklim juga perlu ditingkatkan. Pendidikan lingkungan sejak dini, kampanye kesadaran publik, serta keterlibatan komunitas dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim harus menjadi prioritas.

Program penghijauan, pengelolaan sampah yang lebih baik, serta efisiensi energi di sektor rumah tangga dapat memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi jejak karbon negara ini.

Hutan perbukitan di sekitar Teluk Kelabat, Pulau Bangka, Bangka Belitung, yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat setempat. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

Krisis iklim nyata

Krisis iklim adalah realitas yang tidak dapat diabaikan. Setiap tahun yang berlalu tanpa aksi nyata adalah satu langkah lebih dekat menuju bencana lebih besar. Kita tidak memiliki kemewahan untuk menunggu lebih lama lagi. Komitmen iklim yang telah disepakati harus diimplementasikan.

Ini sebagaimana yang diungkapkan aktivis iklim Uganda, Vanessa Nakate, “Menghentikan penggunaan bahan bakar fosil bukanlah pilihan. Namun, respons darurat terhadap krisis yang terjadi di depan mata kita.”

Krisis iklim harus diatasi. Waktu untuk bertindak adalah sekarang, sebelum terlambat dan kita hanya bisa menyaksikan bumi semakin panas. Semakin sulit untuk dihuni.

* Randi Syafutra, Dosen Program Studi Konservasi Sumber Daya Alam, Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung. Tulisan ini opini penulis.

Referensi:

Arasu, S. (2025, March 19). Last decade was Earth’s hottest ever as CO2 levels reach an 800,000-year high, says UN report. MSN. https://www.msn.com/en-us/weather/topstories/last-decade-was-earth-s-hottest-ever-as-co2-levels-reach-an-800-000-year-high-says-un-report/ar-AA1BeJPe?ocid=TobArticle

Clark, A. (2025, March 19). Extreme weather in 2024 forced most people to flee in 16 years. Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/articles/2025-03-19/extreme-weather-in-2024-forced-most-people-to-flee-in-16-years

Hanifa, R., & Wiratmo, J. (2024). ENSO and IOD influence on extreme rainfall in Indonesia: historical and future analysis. Agromet, 38(2), 78–87. https://doi.org/10.29244/j.agromet.38.2.78-87

Hansen, J. E., Kharecha, P., Sato, M., Tselioudis, G., Kelly, J., Bauer, S. E., Ruedy, R., Jeong, E., Jin, Q., Rignot, E., Velicogna, I., Schoeberl, M. R., von Schuckmann, K., Amponsem, J., Cao, J., Keskinen, A., Li, J., & Pokela, A. (2025). Global warming has accelerated: Are the United Nations and the public well-informed? Environment: Science and Policy for Sustainable Development, 67(1), 6–44. https://doi.org/10.1080/00139157.2025.2434494

Kaufhold, C., Willeit, M., Talento, S., Ganopolski, A., & Rockström, J. (2025). Interplay between climate and carbon cycle feedbacks could substantially enhance future warming. Environmental Research Letters, 20(4), 044027. https://doi.org/10.1088/1748-9326/adb6be

Milman, O., & Noor, D. (2025, March 12). Trump officials decimate climate protections and consider axeing key greenhouse gas finding. The Guardian. https://www.theguardian.com/environment/2025/mar/12/epa-trump-climate-rules

Syaufina, L., Sitanggang, I. S., Purwanti, E. Y., Rahmawan, H., Trisminingsih, R., Ardiansyah, F., Wulandari, Albar, I., Krisnanto, F., & Satyawan, V. E. (2024). Forest and land fires policies implications in Indonesia: Technological support needs. Journal of Tropical Silviculture, 15(01), 70–77. https://doi.org/10.29244/j-siltrop.15.01.70-77

WMO. (2025, March 19). WMO report documents spiralling weather and climate impacts. World Meteorological Organization. https://wmo.int/news/media-centre/wmo-report-documents-spiralling-weather-and-climate-impacts

Hari Bumi 2025: Energi Bersih untuk Masa Depan Umat Manusia

Artikel yang diterbitkan oleh

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|