- Tempat Pemrosesan Akhir Berbasis Lingkungan dan Edukasi (TPA BLE) di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah, merupakan tempat pengolahan sampah berbasis ekonomi sirkular. Sekitar 70 KSM berperan langsung dalam pengumpulan, pemilihan, hingga pengolahan akhir.
- Suksesnya pengelolaan sampah di Banyumas, bukan tanpa persoalan. Kabupaten ini pernah mengalami darurat sampah, pada Januari-Juli 2018.
- Sadewo Tri Lastiono, Bupati Banyumas, mengungkapkan pihaknya berhasil menekan beban anggaran daerah untuk pengelolaan sampah. Semula Rp30 miliar per tahun, kini hanya Rp5 miliar.
- Data terbaru menunjukkan, dari 600 ton sampah yang dihasilkan setiap hari di Banyumas, sekitar 493 ton telah dikelola. Namun, dengan jumlah penduduk mencapai 1,8 juta jiwa, potensi timbulan sampah bisa menembus 900 ton per hari.
Sejumlah truk mengangkut sampah ke Tempat Pemrosesan Akhir Berbasis Lingkungan dan Edukasi (TPA BLE) di kawasan jauh permukiman di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah. Ini merupakan tempat pengolahan sampah yang tidak bisa dikelola di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST).
Ada beberapa tempat di TPA BLE ini yang digunakan dengan fungsi berbeda. Misalnya, ada ruangan besar untuk pemilihan sampah organik yang dimasukkan ke ruangan budidaya magot atau larva lalat Black Soldier Fly (BSF). Di tempat ini, ada budidaya ayam dengan pakan magot.
Ada pula ruangan yang memproses sampah anorganik menjadi RDF (Refuse Derived Fuel), sebagai bahan bakar pabrik semen. Juga, ruangan pirolisis dan pembuatan paving dari residu sampah yang sudah tidak dapat diolah.
Suksesnya pengelolaan sampah di Banyumas, bukan tanpa persoalan. Kabupaten ini pernah mengalami darurat sampah, pada Januari-Juli 2018.
“Waktu itu, ada demonstrasi penutupan tempat pembuangan akhir (TPA) permanen. Sampah ada di seluruh kota, sehingga diletakkan sementara di GOR Satria. Inilah krisis yang pernah dialami Banyumas,” ungkap Widodo Sugiri, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Banyumas, Sabtu (19/4/2025).
Baca: Sampah jadi Energi, Bagaimana Dampak Lingkungan?

Kondisi tersebut membuat Pemkab Banyumas melaksanakan akselerasi penanganan sampah dari hulu hingga hilir.
Dari hulu, masyarakat menjadi pilar utama pemilahan sampah di sumber. Ada aplikasi yang mendorong partisipasi masyarakat dan pemkab memberikan insentif uang sebagai motivasi.
Di tengah, pengoperasian oleh kelompok swadaya masyarakat (KSM) memproses sampah organik maupun anorganik menjadi produk bernilai ekonomi seperti kompos, magot, paving sampai RDF. Proses pemilahan menggunakan teknologi seperti conveyor dan mesin pencacah.
Di hilir dikendalikan TPA BLE, yang mempunyai teknologi pirolisis dengan sistem pirolisis non-insinerator ramah lingkungan untuk mengolah residu sampah.
Keunggulan metode yang diterapkan Banyumas adalah pengurangan gas metana (CH4). Metana merupakan gas rumah kaca penyebab pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida (CO2).
“Pada sistem landfill konvensional, sampah organik akan membusuk dan menghasilkan gas metana. Banyumas telah meninggalkan pola ini,” jelasnya.
Baca: Sasaran Limbah Impor, Indonesia Tong Sampah Dunia?

Sadewo Tri Lastiono, Bupati Banyumas, mengungkapkan pihaknya berhasil menekan beban anggaran daerah untuk pengelolaan sampah. Semula Rp30 miliar per tahun, kini hanya Rp5 miliar.
“Target kami, pengelolaan sampah tak lagi bergantung APBD. Harapannya, bisa menghasilkan pendapatan bagi daerah.”
Pemerintah pusat merespons dengan dukungan, seperti pinjaman lunak untuk KSM dan penyediaan alat dari Kementerian PUPR. Namun, tantangan terbesar masih di wilayah hulu, yang sebagian warga masih buang sampah ke sungai.
“Bila masyarakat sadar dan sistem TPS merata, saya yakin Banyumas bisa mencapai nol sampah, bahkan meraih surplus,”katanya.
Baca juga: Emisi Gas Metana dari Tempat Sampah Kian Nyata

Banyumas jadi rujukan nasional
Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup, ketika mengunjungi TPA BLE menyebut Banyumas patut menjadi rujukan nasional dalam pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular. Sekitar 70 KSM berperan langsung dalam pengumpulan, pemilihan, hingga pengolahan akhir.
“Sampah organik sudah dipilah dari sumbernya oleh kelompok masyarakat. Ini membuat TPA tidak menimbulkan bau tak sedap,” ujarnya, Sabtu (19/4/2025).
Banyumas telah mengisi dua dari tiga pilar pengelolaan sampah, yakni pemilahan di tingkat tengah dan proses akhir. Namun, Hanif mengingatkan pentingnya memperkuat segmen hulu yakni perubahan perilaku masyarakat dalam mengurangi timbulan sampah sejak dari rumah.
“Hulu membentuk karakter konsumsi. Bila di titik ini kuat, kita tidak hanya menyelesaikan masalah, tapi juga membangun masyarakat lebih bijak menggunakan sumber daya.”
Baca juga: Cerita dari Banyumas: Kelola Sampah Jadi Berkah, Sekaligus Kurangi Emisi

Pemerintah Pusat menargetkan penyelesaian persoalan sampah nasional hingga 100 persen pada 2029, sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 12 Tahun 2025. Target sebesar 50 persen harus dicapai pada 2025, namun masih stagnan pada 39 persen.
“Ini bukan sekadar angka, tapi menyangkut tanggung jawab kepala daerah.”
Data terbaru menunjukkan, dari 600 ton sampah yang dihasilkan setiap hari di Banyumas, sekitar 493 ton telah dikelola. Namun, dengan jumlah penduduk mencapai 1,8 juta jiwa, potensi timbulan sampah bisa menembus 900 ton per hari.
Dengan capaian pengelolaan mencapai 80 persen, Banyumas tak hanya unggul di tingkat provinsi, tetapi juga menjadi simbol perubahan paradigma.
“Sampah perlu biaya, tapi bila ditata baik bisa menjadi peluang. Banyumas membuktikannya dan bisa jadi percontohan nasional,” paparnya.
Dampak Mengerikan Sampah Plastik: Ekosistem Hancur, Manusia Terancam