Founder’s Briefs: Sebuah seri yang terbit secara berkala, menampilkan analisis, sudut pandang, dan ringkasan cerita dari pendiri Mongabay, Rhett Ayers Butler.
Upaya global untuk merestorasi hutan kini semakin meningkat, didorong oleh janji-janji untuk mengatasi perubahan iklim, melestarikan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, sebuah tinjauan terbaru yang diterbitkan di Nature Reviews Biodiversity memperingatkan bahwa manfaat restorasi hutan terhadap keanekaragaman hayati sering kali dilebih-lebihkan — bahkan dalam beberapa kasus, sama sekali tidak ada.
Restorasi hutan menjadi inti dari Target 2 dalam Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework, yang menargetkan 30% ekosistem yang terdegradasi agar direstorasi secara efektif pada tahun 2030. Namun, kesenjangan antara ambisi dan hasil nyata masih sangat besar.
“Keanekaragaman hayati akan tetap menjadi sekadar istilah yang samar-samar, bukan hasil yang nyata, jika proyek-proyek restorasi tidak secara eksplisit memprioritaskannya,” tulis para penulis yang dipimpin oleh Pedro Brancalion, peneliti dari University of São Paulo.

Selama ini, restorasi lebih sering memprioritaskan tujuan-tujuan pragmatis seperti produksi kayu, penyerapan karbon, atau pengendalian erosi. Kecenderungan ini tercermin dalam penggunaan luas perkebunan monokultur atau agroforestri dengan keanekaragaman rendah.
Hampir setengah dari komitmen restorasi hutan dalam Bonn Challenge, sebuah inisiatif global untuk memulihkan lahan terdegradasi dan hutan yang gundul, justru dilakukan dengan penanaman perkebunan komersial dengan spesies eksotik. Tren ini berisiko merusak keanekaragaman hayati alih-alih meningkatkannya.
Bukti ilmiah menunjukkan bahwa pemulihan keanekaragaman hayati memerlukan lebih dari sekadar penanaman pohon. Metode seperti regenerasi alami yaitu membiarkan hutan pulih dengan sendirinya, sering kali menghasilkan keanekaragaman hayati yang lebih baik, meski sering menghadapi hambatan sosial dan ekonomi.
Sebaliknya, menanam beberapa spesies yang tumbuh cepat mungkin dapat menyerap karbon dengan cepat, tetapi tidak banyak memberikan manfaat bagi tumbuhan dan hewan yang terancam punah.
Pemulihan keanekaragaman hayati dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: intensitas penggunaan lahan sebelumnya, lanskap sekitar, dan spesies yang dipilih untuk restorasi.
Proses pemulihan ini lambat, sering kali memakan waktu beberapa dekade, dan cenderung tertinggal untuk spesies langka dan spesialis. Yang mengkhawatirkan, sebagian besar proyek berhenti melakukan pemantauan hanya dalam beberapa tahun, jauh sebelum ekosistem itu mencapai kestabilan.
Namun, para penulis mengatakan ada alasan untuk tetap optimis. Pasar keanekaragaman hayati, termasuk skema kredit keanekaragaman hayati yang baru muncul dan kredit karbon dengan perlindungan keanekaragaman hayati, dapat menggerakkan pendanaan baru.
Sementara itu, teknologi seperti pengambilan sampel DNA lingkungan, bioakustik, dan penginderaan jauh menjanjikan untuk meningkatkan pemantauan dalam skala besar.
Untuk mengubah niat baik menjadi kenyataan, studi ini berpendapat, proyek restorasi hutan harus mendefinisikan tujuan keanekaragaman hayati yang jelas, memilih metode yang tepat, dan berkomitmen pada pemantauan jangka panjang. Keadilan sosial pun harus menjadi fokus utama.
“Meningkatkan hasil keanekaragaman hayati dari restorasi hutan dapat berkontribusi untuk mengurangi ketimpangan kekuasaan dan ketidaksetaraan,” tulis para penulis, dengan mengutip contoh dari Madagaskar dan Brasil.
Jika dirancang dengan baik, restorasi hutan dapat membantu mengatasi dua krisis besar: kehilangan keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Namun tanpa perubahan yang jelas, miliaran dolar berisiko habis sia-sia untuk proyek-proyek penanaman pohon, dan tidak lebih dari itu.
Artikel ini dipublikasikan perdana di sini pada tanggal 31 Maret 2025 oleh Mongabay Global. Tulisan ini diterjemahkan oleh Akita Verselita.
***
Foto utama: Tampak aerial kawasan Hutan Harapan di Jambi yang bersebelahan dengan konsesi perkebunan sawit. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay
Berapa Dana yang Diperlukan untuk Merestorasi Lahan Terdegradasi di Seluruh Dunia?