- Pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan revisi kilat UU Pertambangan Mimeral dan Batubara. Organisasi masyarakat sipil pun merespons pengesahan ini lewat seri dokumenter berjudul Bloody Nickel terbaru dengan tajuk ‘Republik Rente.’ Film ini menggambarkan siapa yang mendapatkan keuntungan dari perizinan nikel, terutama di Halmahera, Maluku Utara.
- Film “Republik Rente” hasil kerjasama Jatam, Trend Asia, YLBHI, Transparency International Indonesia, dan Greenpeace ini mengulit dugaan peran dan keterlibatan tokoh penting negara dalam industri nikel Maluku Utara.
- Muhammad Sridipo, Sutradara Republik Rente dari Watchdoc menyebut, film ini merupakan bentuk perlawanan dan kontra narasi terhadap ide hilirisasi yang digagas pemerintah. Dengan menunjukkan fakta di lapangan, maka publik bisa tahu ruang-ruang yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam pemberitaan.
- Edy Kurniawan, Staf Advokasi YLBHI, mengatakan, kekerasan terhadap masyarakat bergeser ke wilayah proyek strategis nasional (PSN), terutama hilirisasi, dalam tiga tahun terakhir, antara lain, tindakan kriminalisasi, penangkapan, dan penuntutan semena-mena.
Pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan revisi kilat UU Pertambangan Mimeral dan Batubara. Organisasi masyarakat sipil pun merespons pengesahan ini lewat seri dokumenter berjudul Bloody Nickel terbaru dengan tajuk ‘Republik Rente.’ Film ini menggambarkan siapa yang mendapatkan keuntungan dari perizinan nikel, terutama di Halmahera, Maluku Utara.
Dengan mengambil kasus mantan Gubernur Maluku Utara, yang terjerat kasus suap dan gratifikasi, Abdul Gani Kasuba. Film hasil kerjasama Jatam, Trend Asia, YLBHI, Transparency International Indonesia, dan Greenpeace ini mengulit dugaan peran dan keterlibatan tokoh penting negara dalam industri nikel Maluku Utara.
Mantan Presiden Joko Widodo dan keluarga, Presiden Prabowo Subianto dan partainya, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia berada di dalam pusaran tersebut. Data yang dipaparkan berasal dari kajian JATAM dan fakta persidangan Abdul Gani kasuba.
“Film ini dengan jelas tunjukkan investasi di nikel ini rentan dengan praktik koruptif. Tidak hanya di hulu, dengan korupsi politik dan regulasi yang berikan karpet merah. Juga di lapangan korupsi berjalan cepat, tapi tidak ditangani penegak hukum,” kata Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam, dalam diskusi selepas skrining, di Jakarta, Senin (17/01/25).
Percepatan tambang nikel, katanya, berlangsung kebut-kebutan di tapak. Sementara, tidak ada satu elit politik pun dan mantan aktivis yang saat ini masuk ke pemerintahan, peduli kondisi di tingkat tapak.
“Situasi saat ini melampaui kata rumit dan genting… Pertambangan ini hanya memperkaya pelaku usaha dan elit politik di Jakarta. Tapi mengindahkan masyarakat di tempat pertambangan.”
Keberadaan orang berpengaruh membuat industri nikel seakan mendapat impunitas terhadap setiap praktik buruk yang mereka lakukan. Dalam film itu, data Trend Asia memperlihatkan soal insiden di smelter nikel.
“Negara tidak melakukan apa-apa. Perjanjian seperti apa yang mereka buat sampai diizinkan terus-terusan kecelakaan dan kehilangan jiwa ini?” kata Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, dalam film itu.
Muhammad Sridipo, Sutradara Republik Rente dari Watchdoc menyebut, kehadiran film ini merupakan bentuk perlawanan dan kontra narasi terhadap ide hilirisasi gagasan pemerintah. Dengan menunjukkan fakta di lapangan, publik bisa tahu ruang-ruang yang selama ini tidak mendapatkan tempat dalam pemberitaan.
“Kami berusaha berikan gambaran seperti apa situasi pertambangan dari politik ekonomi dan sosial di masyarakat. Bahwa, kita lihat pemilu pun tidak merubah kondisi hilirisasi kita.”

Ongkos kerusakan
Film juga memperlihatkan kerusakan lingkungan dan sosial nikel dan industri hilirisasinya timbulkan. Beberapa tangkapan kamera memperlihatkan banjir yang menimpa Halmahera di Maluku Utara dan Morowali di Sulawesi Tengah.
Ashov mengatakan, pemerintah tak pernah memperhitungkan hal ini. “Kita rugi banyak. Banjir yang meluas dengan dampak panjang, lapisan subur tanah terbawa erosi,” katanya.
Kalau terus jor-joran, industri nikel akan terus melahap kawasan penting.
Pembuka film Republik Rente bahkan memperlihatkan potensi kehilangan bukit kawasan lindung Watowato, Halmahera Timur.
Berdasarkan Peraturan Daerah Halmahera Timur Nomor 6/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Halmahera Timur 2010-2019, Watowato sebagai sumber mata air. Namun, ada upaya mengubah RTRW demi mengakomodir pertambangan nikel di sana.
Kalau Watowato tereksploitasi, kerusakan lingkungan bakal masif dan merugikan masyarakat dan lingkungan. “Inilah yang tidak dilhitung pemerintah. Ongkos kerusakan lingkungan dan sosial, di mana warga yang mengalaminya,” ucap Melky.
Pemerintah, katanya, hanya memikirkan eksploitasi nikel dari aspek ekonomi. “Kalau di timah, ada kerusakan lingkungan hingga Rp300 triliun. Apa kabar dengan nikel dan hilirisasinya yang mengepung indonesia timur?”
Edy Kurniawan, Staf Advokasi YLBHI, mengatakan, kekerasan terhadap masyarakat bergeser ke wilayah proyek strategis nasional (PSN), terutama hilirisasi, dalam tiga tahun terakhir. Antara lain, tindakan kriminalisasi, penangkapan, dan penuntutan semena-mena.
Catatan YLBHI, ada 216 kasus serangan di wilayah PSN atau wilayah hilirisasi. “Aktornya akan bertambah 2025,” katanya.
Dia menggarisbawahi militerisasi di era Pemerintahan Prabowo. Sebelumnya, rezim Joko Widodo (Jokowi) lebih banyak mengandalkan polisi untuk mengawal proyek-proyek ini.
Dengan keterlibatan militer, Edy memprediksi, berisiko terjadi eskalasi konflik. “Bukan lagi kekerasan, mungkin akan ada penculikan seperti orde baru. Karena kalau lihat kekerasan militer ini, eskalasinya lebih tinggi dari polisi.”

Jaga integritas kampus
UU Minerba baru sudah disahkan. Beleid pemberian izin pengelolaan kampus memang luruh, tetapi pemerintah tetap memberi jalan institusi pendidikan tinggi menikmati uang kotor industri ekstraktif ini sebagai penerima manfaat.
Sementara, diskusi dokumenter Republik Rente justru mengingatkan pentingnya kampus menjaga integritas agar perguruan tinggi tetap menjalankan fungsi sebagai pendidik.
“Ketika kampus ikut-ikutan, mereka memfabrikasi kebodohan,” kata Melky.
Dengan menerima tambang, maka kampus menjadi salah satu simpul oligarki. Masyarakat, katanya, akan kehilangan kepercayaan terhadap mereka.
Dunia kampus, katanya, memiliki banyak profesor dan doktor yang bisa menunjukkan daya rusak tambang. Bloody Nickel, bisa jadi satu rujukan mematahkan konsep ekonomi berkelanjutan di dalam pertambangan.
“Karena nikel picu kemiskinan ekstrem di wilayah sentra. Perguruan Tinggi jangan tutup mata dan memunggungi kenyataan negara.”
Dari Kompas.com, Bahlil menyatakan, kemungkinan kampus sebagai penerima manfaat pertambangan untuk membantu mereka dalam mekanisme yang baru.
Menurut Edy, alasan membantu perekonomian perguruan tinggi menunjukkan kalau negara lari dari tanggung jawab. Pasalnya, Pasal 31 ayat 4 Undang-undang Dasar 1945 dengan tegas mewajibkan alokasi 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Daerah (APBD) untuk pendidikan.
Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan dunia pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Bukan elit politik, ataupun kampus itu sendiri.
“Pemberian tambang pada perguruan tinggi sama saja dengan tentara disuruh bertani,” kata Edy.
Dia bilang, memperbolehkan kampus menerima tambang sama saja dengan merubah wajah humanis dunia pendidikan menjadi represif. Pendidikan tinggi, akan menjadi lawan dan aktor baru perampasan lahan dan ruang hidup.
Selain itu, katanya, revisi UU Minerba miskin naskah akademik. Dengan kampus menerima regulasi baru itu tanpa kritik, maka ciri khas akademisi di perguruan tinggi akan tercoreng.
“Karena kampus harusnya rasionalisasi sebuah kebijakan.”

*****