- Pemerintah Indonesia mencanangkan swasembada garam pada 2027, sekaligus puncak produksi garam nasional. Sejumlah langkah pun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lakukan untuk mewujudkan swasembada garam di tengah berbagai tantangan.
- Umi Muawanah, Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan Badan Riset dan Inovasi Nasional katakan, ada sejumlah tantangan untuk mewujudkan ambisi ini, terutama dari faktor alam (cuaca).
- Berdasarkan data KKP, kebutuhan garam mengalami kenaikan menjadi 4,9 juta ton pada 2025. Atau, mengalami kenaikan 2,25 persen per tahun, karena terjadi pertumbuhan penduduk dan sektor industri. Tahun ini, produksi garam diproyeksikan 2,25 juta ton.
- Makhfud Effendi, Guru Besar Teknologi Pergaraman Universitas Trunojoyo sebut, mayoritas garam di Indonesia diproduksi secara tradisional yang andalkan terik matahari untuk evaporasi. Sering terganggu akibat hujan. Ia pun tawarkan produksi garam dengan metode close system sehingga garam tertap bisa diproduksi meski sedang musim hujan.
Pemerintah Indonesia mencanangkan 2027 sebagai tahun puncak produksi garam nasional. Sejumlah langkah pun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) lakukan untuk mewujudkan swasembada garam di tengah berbagai tantangan.
Umi Muawanah, Kepala Pusat Riset Ekonomi Industri, Jasa, dan Perdagangan Badan Riset dan Inovasi Nasional katakan, ada sejumlah tantangan untuk mewujudkan ambisi ini, terutama dari faktor alam (cuaca).
Menurut Umi, Indonesia termasuk sebagai negara dengan curah hujan tinggi. Kondisi itu akan mempengaruhi produksi garam nasional yang selama ini masih didominasi oleh cara kerja tradisional. Tantangan kedua, katanya, lahan terbatas.
“Juga, fakta bahwa petambak garam adalah pelaku tradisional dengan teknologi sederhana, itu menjadi tantangan lain ada sampai sekarang,” kata Periset Ekonomi Maritim itu.
Selama ini, katanya, total kebutuhan garam banyak didominasi sektor industri. Terutama industri petrokimia dan farmasi. Sejauh ini, upaya pemenuhan garam industri belum bisa terpenuhi dari pasokan lokal.
Fluktuasi harga juga menghadirkan tantangan tersendiri terhadap upaya swasembada garam. Selama ini, harga garam produksi nasional belum bisa bersaing dengan harga garam yang berasal dari produksi impor. Faktanya, harga garam impor memang jauh lebih murah dibandingkan dengan produksi lokal.
Penggunaan teknologi tepat guna Umi yakini bisa menjadi sisasat menekan biaya produksi agar garam lokal dapat bersaing dengan impor. Misal, teknologi desalinasi yang mampu menghasilkan garam lebih banyak dengan kualitas lebih baik. “Hanya memang tantangannya, teknologi desalinasi ini juga berbiaya besar,” katanya.
Melihat situasi saat ini, Umi pesimistis target swasembada garam 2027 bisa terpenuhi. Namun, dia tetap mendorong pemerintah membuat terobosan untuk mengurangi ketergantungan garam impor. “Harus ada terobosan yang benar-benar inovatif. Karena kalau tidak, sulit target itu tercapai.”
Ali Nurdin, Peneliti Pusat Riset Teknologi Industri Proses dan Manufaktur BRIN menjelaskan, target swasembada garam dilatari produksi garam nasional yang masih sangat terbatas setiap tahunnya. Dengan kebutuhan garam nasional yang capai 4,5 juta ton setiap tahun, hanya sekitar 1-1,5 juta ton saja garam nasional bisa memenuhi kebutuhan. Sisanya, dari impor.
Pemerintah, kata Ali, harus menyelesaikan berbagai persoalan pada fase produksi untuk bisa mengejar target tersebut. Misalnya saja, kapasitas produksi hamparan yang dia nilai masih rendah. Hal lain tak kalah penting, katanya, meningkatkan kualitas garam. Pasalnya, selama ini, produksi garam rakyat dinilai kurang memenuhi standar industri hingga tidak terserap.

Maksimalkan teknologi
Ali mengatakan, desalinasi bisa menjadi metode untuk memenuhi target swasembada garam secara cepat. Akan tetapi, pemerintah juga perlu melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi untuk meningkatkan produksi garam nasional. “Juga, dukungan kebijakan dan teknologi sangat diperlukan untuk mewujudkan target ini.”
Pemerintah, sebenarnya bisa memanfaatkan teknologi produksi garam melalui air buangan dari proses desalinasi air laut Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) karena berkadar garam tinggi. Air buangan PLTU atau biasa disebut rejected brine itu dari proses desalinasi yang menentukan karakteristik brine water yang dihasilkan melalui teknologi reverse osmosis (RO) dan multi-stage flash (MSF). “Ini potensial untuk bahan baku industri karena kandungan garam dan mineralnya tinggi.”
Dia mengatakan, potensi besar dari rejected brine bisa jadi sebagai sumber garam tanpa lahan. Dia menghitung, sedikitnya ada 1,8 juta ton garam dari rejected brine dari PLTU di Jawa. Jumlah itu dia nilai cukup signifikan untuk mengurangi impor garam.
KKP merilis informasi bahwa target swasembada garam pada 2027 akan didukung dengan teknologi, peningkatan kapasitas produksi, dan pengelolaan sumber daya berkelanjutan. Sebagai tahap awal, pemerintah juga akan mengurangi impor garam konsumsi pada tahun ini.
Kementerian menyebut, kebutuhan garam nasional pada 2024 dan 2025 mencapai 4,9 juta ton dan diasumsikan meningkat 2,5 persen per tahun karena pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan sektor industri.
Tahun ini, pemerintah menetapkan rencana produksi garam dalam negeri sebanyak 2,25 juta ton. Jumlah tersebut diyakini bisa mencukupi kebutuhan garam dalam negeri, karena masih ada sisa stok garam sebanyak 836 ribu ton.
KKP telah memetakan beberapa lokasi untuk mendukung swasembada garam. Beberapa daerah itu di antaranya Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang akan menjadi fokus utama pembangunan infrastruktur, pelatihan petambak, dan akses pembiayaan.
Di sana, terdapat luas lahan produktif seluas 1.445,65 hektar dengan total produksi sebesar 135.891,10 ton dengan asumsi produksi sebanyak 94 ton per hektar. Saat ini, Indramayu menyimpan stok garam sebanyak 25.000 ton yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Krangkeng, Losarang, Kandanghaur, dan Patrol.
Kementerian mendorong inovasi teknologi dalam proses produksi garam. Penggunaan metode geomembran, misalnya, telah terbukti meningkatkan kualitas dan kuantitas garam yang dihasilkan oleh petambak lokal. KKP juga akan melaksanakan ekstensifikasi tambak garam di Nusa Tenggara Timur. Targetnya adalah 2.500 ha dengan produksi menggunakan metode konvensional, namun dilengkapi dengan penerapan mekanisasi panen.

Jakfar Sodikin, Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) katakan, dengan laut yang begitu luas, Indonesia sebenarnya potensial sebagai produsen utama garam. Hanya saja, pemerintah seolah belum menyadari potensi ini secara utuh. Alih-alih mendorong peningkatan produksi lokal, pemerintah justru memilih jalur impor sebagai solusinya.
“Dampaknya, kebutuhan garam dalam negeri tidak bisa dipenuhi oleh sendiri dan memilih impor. Padahal, ini semakin menurunkan kemandirian produksi garam dalam dalam negeri.”
DIA katakan, produksi garam rakyat dan PT Garam pada 2024 mencapai 2,55 juta ton, dengan rincian garam rakyat 2,2 juta ton dan PT Garam 350 ribu ton. Tetapi, jumlah tersebut masih belum memenuhi kebutuhan dalam negeri yang pada 2025 mencapai 4,9 juta ton.
“Agar bisa mencapai swasembada pada 2027, maka kuncinya adalah melakukan pembangunan fasilitas pergaraman, salah satunya dengan ekstensifikasi,” katanya.
Agar kualitas dan kuantitas produksi garam rakyat bisa bagus, katanya, penggunaan geomembran menjadi pilihan yang tepat. Karena itu, sangat perlu dukungan pembiayaan.
Dia nilai, pemerintah tidak bisa memberikan perlindungan penuh, meskipun Undang-undang Nomor 7/ 2016 sudah berlaku hampir sembilan tahun. Kondisi itu membuat nasib petambak garam rakyat menjadi tak menentu setiap tahunnya.
“Kalau saja mendapat perlindungan, maka harga jual dan beli juga akan pasti. Minimal, pemerintah menjamin harga Rp1.000 untuk setiap kilogramnya.”
Persoalan harga jual dan beli, sampai sekarang masih terus berjalan tanpa ada upaya perlindungan dari Pemerintah. Padahal, jika saja ada jaminan harga, maka petambak garam rakyat akan semakin produktif, karena ada kepastian.
Selain kepastian harga, industri garam rakyat juga harus mendapat perlindungan melalui badan pengelola seperti Perum Bulog. Badan ini perlu, karena produksi garam rakyat sangat bergantung kepada cuaca.
“Jika cuaca sedang tidak kemarau, maka produksi bisa diserap oleh badan pengelola. Saat pasar membutuhkannya, stok bisa dikeluarkan dan akan menghasilkan uang bagi petambak garam.”

Siasati cuaca
Makhfud Effendi, Guru Besar Teknologi Pergaraman Universitas Trunojoyo, Madura mengatakan, mayoritas garam di Indonesia hasil para petambak dengan sistem tradisional yang sangat bergantung pada kondisi cuaca. Masalahnya, cuaca tak menentu imbas dari perubahan iklim pada akhirnya mempengaruhi proses produksi garam di lapangan.
Dulu, kala perhitungan musim masih terbagi rata; enam bulan hujan kemarau, petani dengan mudah menyusun jadwal. Tetapi, cuaca yang sulit ditebak karena dampak perubahan iklim, kalender produksi garam pun sedikit banyak terganggu. “Kalau dulu bisa imbang 6:6, sekarang kadang kemaraunya empat bulan, musim hujannya delapan bulan,” jelas Mahfud.
Dengan skema enam bulan kemarau, para petambak biasanya memanfaatkan dua bulan pertama untuk persiapan, empat bulan berikutnya untuk produksi. Selama kurun waktu itu, petambak bisa panen hingga enam kali. Namun, tidak seperti sekarang. Karena curah hujan relatif tinggi, petambak hanya memiliki empat bulan dalam setahun untuk memproduksi garam.
“Belum lagi saat kemarau basah, bisa dipastikan petambak kesulitan untuk memproduksi garam, seperti yang terjadi belakangan ini, imbas fenomena La Nina,” katanya.
Memang, perubahan iklim yang terjadi tidak hanya meningkatkan intensitas La Nina. Sekali waktu, juga terjadi El-Nino yang memicu kemarau berkepanjangan. Kalau itu yang terjadi, lanjut Mahfud, produksi garam mungkin surplus.
Selama ini, proses produksi garam memang banyak mengandalkan sinar matahari langsung untuk proses evaporasi. Imbasnya, produksi garam menjadi anjlok saat curah hujan tinggi atau musim kemarau basah. ”Maka, tidak mengherankan bila pemenuhan kebutuhan garam nasional, sebagian besar juga dipasok dari impor.”
Cuaca tak menentu sebagai dampak perubahan iklim akan terus terjadi. Situasi itu pun berdampak pada produksi garam berbasis hamparan yang andalkan terik matahari. Jika tidak ada upaya, dia khawatir ambisi mengejar swasembada garam bukan hanya meleset, tetapi gagal total.
Selama beberapa tahun meneliti pergaraman, Makhfud sukses melakukan uji coba produksi garam di area tertutup (close system). Kendati dari sisi kuantitas garam lebih sedikit dari sistem konvensional, teknologi ini sangat tepat untuk menyiasati curah hujan. “Artinya, produksi garam masih bisa dilakukan meski musim hujan.”
*****