- Laporan Burung Indonesia menunjukkan, sepanjang 2024 terdapat 835 spesies yang tersebar di tujuh wilayah avifauna. Jumlah ini berkurang satu jenis dibandingkan 2023, menyusul penghapusan kapinis kecil (Apus affinis) dari daftar keterancaman.
- Dari total tersebut, sekitar 85 persen (1.559 jenis) merupakan burung residen (menetap), sementara sisanya jenis migran yang menjadikan Indonesia sebagai persinggahan dalam lintasan Jalur Terbang Asia Timur-Australasia dari berbagai belahan dunia.
- Laporan ini juga mencatat, 30 spesies mengalami perubahan status konservasi. Rinciannya, 18 spesies membaik dan 12 spesies menghadapi peningkatan risiko kepunahan.
- Pentingnya dibuat data sensus migrasi burung. Ini dikarenakan, ketidakhadiran data sering disalahartikan sebagai kepunahan atau status kritis suatu jenis.
Bagaimana status burung liar di Indonesia tahun 2025?
Laporan Burung Indonesia menunjukkan, sepanjang 2024 terdapat 1.835 spesies yang tersebar di tujuh wilayah avifauna. Jumlah ini berkurang satu jenis dibandingkan 2023, menyusul penghapusan kapinis kecil (Apus affinis) dari daftar keterancaman karena dianggap tidak lagi memiliki sebaran alami di Indonesia
Dari total tersebut, sekitar 85 persen (1.559 jenis) merupakan burung residen (menetap), sementara sisanya jenis migran yang menjadikan Indonesia sebagai persinggahan dalam lintasan Jalur Terbang Asia Timur-Australasia dari berbagai belahan dunia.
Laporan ini juga mencatat, 30 spesies mengalami perubahan status konservasi. Rinciannya, 18 jenis membaik dan 12 spesies menghadapi peningkatan risiko kepunahan.
Dua jenis menunjukkan perbaikan populasi nyata di alam (genuine change). Mereka adalah pecuk-ular asia (Anhinga melanogaster) dan ibis cucuk-besi (Threskiornis melanocephalus) berstatus Mendekati Terancam Punah (Near Threatened), yang sebelumnya Risiko Rendah (Least Concern).
Ria Saryanthi, Conservation Partnership Adviser Burung Indonesia, mengungkapkan status ini berpedoman pada data evaluasi Daftar Merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) oleh BirdLife Internasional.
“Penurunan status mencerminkan perbaikan populasi mereka di alam,” jelasnya melalui keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).
Baca: Burung Endemis di Indonesia Bertambah pada 2024

Sementara, perubahan status pada 16 spesies lain disebabkan ketersediaan data baru. Salah satunya, poksai kuda (Garrulax rufifrons), yang diturunkan dari Kritis menjadi Genting setelah ditemukan konsisten di 14 lokasi, di enam hutan pegunungan Jawa.
Begitu juga dengan celepuk banggai (Otus mendeni) dan walik banggai (Ptilinopus subgularis). Status keduanya turun karena masih umum dijumpai di Pulau Peling, termasuk di hutan kota dan lahan agroforestri.
Sedangkan mentok rimba (Asarcornis scutulata), statusnya meningkat menjadi Kritis. Ini akibat konversi hutan rawa dataran rendah menjadi perkebunan, serta adanya perburuan liar dan pengambilan telur. Begitu juga dengan nasib delapan burung pantai migran yang semakin terancam, karena kehilangan habitat di sepanjang Jalur Terbang Asia Timur-Australasia.
“Status burung 2025 ini menggambarkan kondisi terkini keanekaragaman hayati dan tingkat keterancaman burung di negeri kita,” jelas Ria.
Baca: Spesies Burung Hantu Ini Jadi Pahlawan Petani

Alih fungsi habitat burung
Iwan Febrianto, peneliti dari Burung Pantai Indonesia, menyayangkan adanya alih fungsi lahan basah yang merupakan lokasi persinggahan burung pantai migran. Sebut saja kawasan Wonorejo di Surabaya, yang dulunya habitat alami burung, kini menjadi perumahan padat, tambak, dan kawasan industri.
“Lahan basah seharusnya dibiarkan alami karena bermanfaat bagi burung dan manusia. Secara ekologi, lahan basah memiliki fungsi menjaga kualitas air, menimpan karbon, hingga mencegah terjadinya banjir,” terangnya Selasa (22/4/2025).
Lelaki yang akrab disapa Iwan Londo ini mengungkapkan, burung migran juga kerap menjadi korban perburuan liar. Terutama, di area yang belum terjangkau pengawasan.
“Perburuan sering dilakukan dengan jaring dan perangkap, biasanya saat air surut di area lumpur.”
Baca: Beluk Ketupa, Burung Penjaga Hutan Penelitian Soraya
Ancaman lain adalah pencemaran cahaya, terutama di kota-kota besar. Banyak burung migran yang terbang malam hari, menggunakan pola bintang sebagai panduan navigasi.
“Saat cahaya buatan dari gedung-gedung tinggi menyilaukan pandangan mereka, burung-burung ini bisa tersesat dan menabrak bangunan.”
Iwan menekankan pentingnya keterlibatan komunitas pencinta alam dari kalangan pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat umum. Gerakan konservasi akan lebih kuat jika dimulai dari akar rumput.
“Kita butuh lebih banyak mata di lapangan,” paparnya.
Baca juga: Teluk Kao, Bukan Lokasi Biasa Pengamatan Burung Migrasi

Pentingnya data migrasi burung
Mohammad Irham, peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menekankan pentingnya data sensus migrasi burung. Ketidakhadiran data sering disalahartikan sebagai kepunahan atau status kritis.
Dia juga menyoroti perlunya peningkatan kapasitas dan partisipasi pengamat burung, terutama di luar Pulau Jawa. Selain itu, penguatan database nasional melalui pelibatan komunitas juga mendesak dilakukan.
“Data spesies di lokasi tertentu, meskipun tidak mencakup populasi, tetap memberikan indikasi penting. Semakin banyak data yang masuk ke sistem nasional, semakin baik untuk evaluasi konservasi,” ujarnya, Rabu (23/4/2025).
Integrasi data lokal dalam penilaian status konservasi global, serta dokumen strategi dan rencana aksi konservasi (SRAK) pada jenis burung lain selain rangkong gading, perlu disusun lebih banyak.
“Perlu juga meningkatkan peran pemerintah daerah dalam upaya konservasi,” jelasnya.
Seribu Burung Hantu Atasi Hama Tikus di Majalengka, Efektif?