Menanti Aksi Satgas Penetapan Hutan Adat Kementerian Kehutanan

13 hours ago 6
  • Kementerian Kehutanan (Kemenhut) baru saja membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat (PPSHA).  Berbagai kalangan akan terus memantau dan mengawal  supaya satgas ini bisa berjalan efektif dan tak keluar jalur.
  • Abdon Nababan, aktivis lingkungan dan masyarakat adat juga  penerima penghargaan Ramon Magsaysay ini, mengatakan, Satgas PPSHA harus jadi pengingat Satgas PKH ihwal penanganan terhadap masyarakat adat. Saat ini, Satgas PKH memang sibuk di penanganan perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan. Namun, keniscayaan gesekan dengan masyarakat adat di masa depan sangat tinggi. Sementara, masyarakat adat belum memiliki pengakuan yang legal. Satgas PPSHA,  bisa menjelaskan pendekatan legalistik formal terhadap masyarakat adat justru berbahaya. 
  • Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN memandang, Satgas PPSHA sebagai hal baik. Harapannya, satgas gerak cepat dan membereskan kasus-kasus yang merugikan masyarakat adat tetapi tidak pernah ada penyelesaian. Dalam hal ini, satgas harus merujuk pada Inkuiri Nasional Komnas HAM 2016
  • Laksmi Savitri, peneliti agrari dan pangan, menyebut, masyarakat adat lebih membutuhkan perlindungan, sebagaimana yang harusnya ada dalam Undang-undang Masyarakat Adat. Sudah belasan tahun rencana pengesahan UU ini mandek di DPR. Sementara, SK yang dikeluarkan Menhut sangat bersifat teknis. Bukan payung hukum regulasi yang lebih besar.

Kementerian Kehutanan (Kemenhut) baru saja membentuk Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penetapan Status Hutan Adat (PPSHA).  Berbagai kalangan akan terus memantau dan mengawal  supaya satgas ini bisa berjalan efektif dan tak keluar jalur.

Dasar hukum satgas ini berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) 144/2025. Sementara, ada Satgas Percepatan Investasi dan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dengan dasar hukum lebih tinggi, Keputusan Presiden 11/2021, serta Peraturan Presiden 5/2025.

Anggi Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, dan Media Forest Watch Indonesia (FWI), menyebut, SK Menhut tidak sejajar dengan perpres. Meski bentuk sama-sama satgas dan objek kerja di kawasan hutan, keduanya tak memiliki kedudukan sama.

Secara kinerja, Satgas PPSHA bisa saja adu cepat dan kuat dengan Satgas PKH. “Ini harus dilakukan sebelum masyarakat adat dieksklusi dari kawasan hutan (oleh Satgas PKH),” katanya pada Mongabay.

Abdon Nababan, aktivis lingkungan dan masyarakat adat, juga penerima penghargaan Ramon Magsaysay, mengatakan, Satgas PPSHA harus jadi pengingat Satgas PKH ihwal penanganan terhadap masyarakat adat.

Saat ini, Satgas PKH memang sibuk di penanganan perkebunan yang masuk dalam kawasan hutan.

Namun, keniscayaan gesekan dengan masyarakat adat di masa depan sangat tinggi. Sedang, masyarakat adat belum memiliki pengakuan  legal. Satgas PPSHA, katanya, bisa menjelaskan pendekatan legalistik formal terhadap masyarakat adat justru berbahaya. 

“Bahwa urusan masyarakat adat ini tidak bisa ditangani secara legalistik formal. Kalau pendekatannya legalistik formal, maka PKH itu justru akan membahayakan. Malah akan menimbulkan pelanggaran hak konstitusional masyarakat adat yang lebih masif,” kata pria yang namanya juga tercantum sebagai tim ahli satgas. 

Senada dengan Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional. Menurut dia, perbedaan hierarki hukum yang mendasari Satgas PKH, PPSHA dan percepatan investasi akan memengaruhi politik anggaran.

Satgas PPSHA dengan lingkup hanya di satu kementerian akan memiliki anggaran lebih kecil ketimbang satgas lain yang banyak melibatkan kementerian/lembaga. Apalagi, pemerintah sedang efisiensi anggaran.

Kementerian Kehutanan tahun ini hanya menganggarkan Rp3,941 triliun. Hasil efisiensi sekitar Rp1,217 triliun dari anggaran awal.

“Jangan sampai kinerjanya tidak maksimal hanya karena anggarannya yang kecil,” kata Uli.

Dia berharap, Satgas PPSHA tidak jadi alat untuk menarik simpati negara atau lembaga donor di tengah terbatasnya anggaran Kementerian Kehutanan. Seharusnya, ada keseriusan dalam menjalankan komitmen baik ini, bukan hanya berujung di atas kertas dan jadi alat memengaruhi donor.

Selain itu, katanya,  juga harus bisa pastikan  penetapan hutan adat bukan untuk kepentingan jual karbon. Dia melihat gelagat ambisi dagang karbon pemerintah tunjukkan.

Dilansir dari Tempo.co, Kemenhut akan melibatkan masyarakat adat dalam perdagangan karbon. Pelibatannya dalam bentuk skema perhutanan sosial, khusus hutan adat, sebagai basis kegiatan karbon.

Jangan sampai ini kayak milestone. Hutan adatnya oke ditetapkan, tapi muaranya itu bukan nolong masyarakat untuk dapatkan hutan adatnya. tapi bagaimana karbon di dalam sana bisa diperdagangkan,” kata Uli.

Sebelumnya, Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dalam Rakernas AMAN VIII, menyinggung perdagangan karbon. Dia bilang, banyak koboi karbon datang ke kampung-kampung adat. Mereka memberi janji, seolah duit itu turun dari pohon.

“Sementara karbon adalah hak kita. Sama seperti air, udara.”

Menurut dia, tidak boleh ada karbon dari wilayah adat yang menjadi alat justifikasi perusahaan-perusahaan jahat. Misal, Toba Pulp Lestari (TPL) yang berkonflik dengan Masyarakat Adat Tano Batak, tetapi membeli karbon di daerah lain yang masyarakat adat jaga.

“Itu kita sama saja dengan minum darah saudara kita sendiri.”

Maman Sajao, Kuncen Adat Kampung, mengatar para penziarah masuk kawasan hutan karamat (keramat) di Kampung Adat Kuta, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, awal Juli lalu. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Gerak cepat

Rukka memandang Satgas PPSHA sebagai hal  baik. Dia berharap,  satgas gerak cepat. “Ini legacy yang baik. Karena selama ini Kemenhut selalu jadi momok buat masyarakat adat. Harus dipastikan apa yang terjadi di masa lalu tidak terulang. Harus gerak cepat untuk melihat di mana hutan-hutan adat itu bisa segera diakui.”

Juga, membereskan kasus-kasus yang merugikan masyarakat adat tetapi tidak pernah ada penyelesaian. Dalam hal ini, Satgas harus merujuk pada Inkuiri Nasional Komnas HAM 2016

Menhut, katanya, pernah mengonsultasikan ihwal pembentukan satgas ini pada AMAN. Menurut dia, akan ada pertemuan dalam waktu dekat untuk membahas kerja yang lebih teknis.

Untuk itu, AMAN akan terus mengawal kerja satgas. “Ini belum bekerja. Tapi kalau tidak serius, kita akan bersikap lagi.” 

Abdon mengatakan, akan mendorong kerja satgas sesuai putusan MK 35. Kemampuan mengimplementasikan putusan MK ini akan jadi pembeda satgas saat ini dengan kelompok kerja serupa era Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Kala itu, Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri LHK 83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Di dalamnya, tercantum Pokja Percepatan Perhutanan Sosial, ada soal hutan adat.

“Waktu itu relatif manfaatnya tidak banyak. Saya juga tidak di dalamnya,” kata  Abdon.

Meskipun demikian, belum ada pembicaraan dengan Kemenhut, sekalipun namanya tercantum sebagai tim ahli. 

Senada dengan Laksmi Savitri, peneliti agraria dan pangan. Dia mengaku kaget ketika tahu namanya ada di dalam SK Menhut 144/2025 itu.

Meski akhirnya rekan-rekan masyarakat sipil lain memberitahu soal proses  itu, kata Laksmi,  semestinya ada komunikasi dan permintaan pendapat dari tiap nama. “Alangkah baiknya kalau ada komunikasi dulu.”  

Dia justru berpendapat masyarakat adat lebih membutuhkan perlindungan, sebagaimana yang harusnya ada dalam Undang-undang Masyarakat Adat. Sudah belasan tahun masuk bahasan, tetapi pengesahan UU ini tak kunjung terealisasi.

Sedang SK yang  Menhut keluarkan sangat  teknis, bukan payung hukum regulasi yang lebih besar.

“Kita tau di masa pemerintahannya Jokowi (Presiden Joko Widodo), hal-hal yang sebetulnya membutuhkan payung Undang-undang yang lebih besar, Itu diakali dengan mengeluarkan aturan-aturan yang lebih teknis.”

Pengakuan atas hutan adat, lanjutnya, memang perlu. Tapi itu hanya sebagian kecil dari seluruh kebutuhan dan perlindungan masyarakat adat sebagai subjek hukum.

Dia menganalogikan nasib masyarakat adat laiknya tubuh manusia yang sudah terpotong-potong, tetapi hanya mendapat obat merah sebagai pertolongan. Seharusnya, kondisi luka parah itu dengan penanganan intensif dan kamar operasi.

“Jadi, seperti itulah kemampuan pemerintah kita meng-address persoalan masyarakat adat. Gap-nya sangat besar antara persoalan yang dihadapi dengan solusi yang ditawarkan.”

Sudah berpuluh tahun AMAN dan Konsosium Pembaruan Agraria (KPA) maupun lembaga lain yang konsen, membuat laporan tahunan yang memuat beragam konflik agraria yang menyangkut masyarakat adat dan komunitas lokal. Sayangnya, belum ada penyelesaian  berarti. 

Malahan, pemerintah main hajar jutaan hektar hutan di berbagai daerah. “Menurutku, sudah lebih banal daripada sebelumnya. Dampaknya pun jadi panjang, Ada dampak kemiskinan, dampak malnutrisi anak-anak, pendidikan, dan akses terhadap pendidikan.”

 Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), saat Mongabay mengatakan, pembentukan Satgas PPSHA berdasarkan hasil diskusi antara Kemenhut, BRWA, HuMa, AMAN, dan JKPP, Januari 2025.

Kala itu, BRWA juga memberikan policy brief mereka yang menganalisis kebijakan dan tantangan dalam penetapan hutan adat. Pembicaraan mengarah pada rekomendasi ihwal anggaran, dan teknis kerja dalam percepatan penetapan hutan adat. Salah satunya, pembentukan satgas.

“Itu langsung ditindaklanjuti dengan pertemuan di BRWA. Dari situ nama kawan-kawan muncul,” katanya. 

Satgas ini, katanya, menjadi forum komunikasi penting untuk mempercepat pengakuan hutan adat. Di dalamnya, kelompok masyarakat sipil yang bekerja dengan masyarakat adat akan mempersiapkan dokumen usulan hutan adat, melihat mana yang jadi prioritas untuk segera mendapat pengakuan, termasuk komunikasi verifikasi di lapangan.

Selain itu, satgas dan forum kerja bersama  ini akan mengonsolidasi anggaran, mengingat pemerintah sedang melakukan efisiensi. “Di dalamnya,  ada CSO dan bisa konsolidasikan filantropi untuk support anggaran itu. Salah satunya dari Norway,” kata  Dodo, sapaan akrabnya.

Menurut dia, ada beberapa komunikasi mereka lakukan di dalam satgas. Pertama, satgas akan memiliki peta kerja untuk mengidentifikasi hutan-hutan adat. 

Peta kerja ini akan mengklasifikasi kesiapan kawasan berdasarkan regulasi yang ada, misal,  sudah ada SK Bupati, perda atau peraturan teknis. 

“Nah, itu di mana saja, akan ada dokumen usulannya nanti. Yang bisa di-follow-up oleh Kemenhut dan CSO.”

Kedua, melihat kembali tata kelola hutan adat yang sudah negara tetapkan. Menurut dia, Rencana Kerja Perhutanan Sosial (RKPS) masih sedikit. BRWA saja baru membantu di dua kabupaten, Jayapura dan Gunung Mas.

Dengan melihat kembali dokumen RKPS, katanya,  tindak lanjut pasca penetapan akan jadi terarah. Juga penatan batas yang belum kelar oleh planologi. 

“Supaya definitif deliniasinya.”

Ketiga, menyelesaikan pengakuan terhadap wilayah yang sudah mengusulkan dan berkonflik. Menurut dia, skema penyelesaian konflik masyarakat di sekitar hutan harus melalui penetapan hutan adatnya.

“Ini yang penting. Kalau tidak ada satgas ini kita tidak memiliki saluran komunikasi. Memang ada tantangan, tapi kita akan coba pengaruhi cara kerja (Kemenhut), supaya capaian penetapan hutan adat lebih besar.”

Hutan Adat Pikul Pengajid seluas 100 hektar berada di Kecamatan Seluas, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

*****

Jongot, Hutan Adat dan Masyarakat Penukal

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|