- Masyarakat kaki Gunung Salak di Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tak merasakan manfaat hadirnya pembangkit listrik panas bumi. Meski tenaga listrik panas bumi itu telah beroperasi puluhan tahun, warga tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk biaya makan sehari-hari saja bahkan sulit. Pembangkit panas bumi ini juga rawan terdampak bagi lingkungan dan meningkatkan kerentanan bencana.
- Imam Shofwan, Kepala Simpul & Jaringan Jatam menjelaskan, eksplorasi panas bumi mengambil magma dari perut bumi. Ketika itu dilakukan terdapat pergeseran lapisan bumi yang menyebabkan guncangan lokal.
- Riset Walhi dan Celios, pembangkit listrik panas bumi berdampak negatif terhadap ekonomi masyarakat. Penelitian itu mereka lakukan di tiga lokasi pembangkit listrik panas bumi, yakni, Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu di Nusa Tenggara Timur.Temuannya, proyek pembangkit listrik panas bumi itu menimbulkan kehilangan pendapatan petani Rp470 miliar pada tahap pembangunan. Sementara kerugian output ekonomi Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal.
- Dalam ekstraksi panas bumi, sumber air panas dan uap mengeluarkan gas Hydrogen sulfide atau H2S, senyawa kimia gas yang tidak berwarna dan sangat berbahaya, beracun, dengan bau khas “telur busuk.” H2S berdampak buruk bagi kesehatan.
Masyarakat kaki Gunung Salak di Desa Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tak merasakan manfaat hadirnya pembangkit listrik panas bumi. Meski tenaga listrik panas bumi itu telah beroperasi puluhan tahun, warga tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk biaya makan sehari-hari saja bahkan sulit.
Pembangkit panas bumi ini juga rawan terdampak bagi lingkungan dan meningkatkan kerentanan bencana. Pada 12 Oktober 2023, gempa mengguncang kaki Gunung Salak. Pusat gempa di koordinat 6.75 Lintang Selatan dan 106.65 Bujur Timur, 23 kilometer Barat-daya Kota Bogor, tepat di tengah instalasi PLTP Gunung Salak.
Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), gempa diduga terpicu aktivitas sumur-sumur geothermal PLTP Gunung Salak dengan operator PT Indonesia Power dan kegiatan Star Energy Geothermal Salak.
Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Cibeureum Parabakti dengan PLTP Salak yang berlokasi di Parakansalak dan Sukatani, Kecamatan Parakansalak, Sukabumi, pakai lahan seluas 102.200 hektar.
Wilayah itu berada di Kawasan Rawan Bencana (KRB) gempa tinggi dan KRB menengah, serta melintasi tiga patahan gempa aktif. Menurut Jatam, gempa serupa atau lebih parah akibat aktivitas panas bumi dapat terulang.
Imam Shofwan, Kepala Simpul & Jaringan Jatam menjelaskan, eksplorasi panas bumi mengambil magma dari perut bumi. Ketika itu dilakukan terdapat pergeseran lapisan bumi yang menyebabkan guncangan lokal.
“Di bawah tanah ini bergeser dua centimeter aja kita di sini (di atas) gempanya bisa besar,” katanya.
Secara natural, daerah pegunungan peristiwa vulkatiknya sering terjadi serta memang rawan bencana. Namun, kondisi itu makin parah ketika terjadi aktivitas penambangan panas bumi di daerah rawan bencana.
“Area itu sudah rentan sebelum ada geothermal. Secara logika jauh lebih rentan setelah dieksplorasi. Nggak dieksplorasi aja sering terjadi gempa.”
Gempa picuan karena aktivitas penambangan panas bumi sangat mungkin dengan cepat berubah menjadi gempa bumi mayor karena sebagian besar wilayah Indonesia sangat aktif secara tektonik.
Selain itu, penambangan panas bumi juga berdampak pada debit dan kualitas air menurun. Metode fracking dalam ekstraksi panas bumi sangat berbahaya, mengingat potensi panas berada di perut bumi dipaksa keluar dengan menyemburkan air dan zat kimia untuk membocori tanah.
Menurut penelitian Jatam, pencemaran kemudian terjadi akibat larutan hidrotermal mengandung kontaminan seperti arsenik, antimon, dan boron. Arsenik (As) adalah penyebab kanker pada manusia.
Antimon (Sb) memiliki tingkat beracun yang memperlihatkan karakter sama dengan As. Boron (B) dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan permasalahan pada kesehatan manusia seperti penurunan kesuburan.
“As, Sb, dan B, adalah material yang terdapat secara alamiah, namun proses ekstraksi panas dalam produksi energi di pembangkit geothermal, menyebabkan semua terimobilisasi dan mengkontaminasi perairan,” ujar Imam.
Fluida panas bumi (uap atau air panas) yang mengandung gas seperti karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), metana (CH4), dan sejumlah gas lain, serta bahan kimia terlarut. Sebagai contoh, natrium klorida (NaCl), boron (B), arsen (As), dan merkuri (Hg) akan berdampak polusi jika dibuang ke lingkungan.

Menurut riset Walhi Jawa Tengah, penambangan panas bumi memerlukan setidaknya 40 liter per detik, atau sekitar 6.500-15.000 liter air untuk menghasilkan 1 MWh listrik.
“Air terutama dibutuhkan dalam proses injeksi, di mana berkubik-kubik air bersih disemprotkan ke batuan panas di dalam perut bumi guna menghasilkan uap panas,” tulis penelitian Walhi.
Eko Cahyono, peneliti Sajogyo Institute mengatakan, kebutuhan air besar dari aktivitas tambang panas bumi dapat merusak sumber air warga. Terusannya, menimbulkan bencana kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih.
“Fungsi air itu kan nggak hanya untuk kepentingan industri, juga ada kepentingan sosial, ada kepentingan harian, kehidupan, ada kepentingan pertanian.”
Tambang panas bumi mengancam tata guna lahan pertanian dan hutan. Di banyak wilayah, catatan Jatam, lokasi ekstraksi panas bumi terdapat pemukiman penduduk, sumber-sumber air, kawasan hutan, tanah-tanah ulayat yang semuanya vital bagi kehidupan rakyat.
Alih-fungsi lahan untuk ekstraksi panas bumi menyebabkan warga kehilangan ruang produksi, juga rentan terpapar berbagai penyakit karena tercemar limbah ekstraksi panas bumi.
Tambang panas bumi juga berisiko merusak ekosistem hutan. Catatan Jatam menyebut, hampir seluruh wilayah kerja panas bumi di Indonesia masuk kawasan hutan.
Ekstraksi panas bumi di kawasan hutan itu berisiko besar kerusakan dan pencemaran ekosistem hutan.
Instalasi drilling rig dan seluruh peralatan memerlukan pembangunan jalan akses dan drilling pad. Operasi ini, katanya, akan mengubah morfologi permukaan (platform) dan dapat merusak struktur vegetasi dan mempengaruhi habitat satwa liar.
Instalasi pipa pengangkutan panas bumi dan pembangunan power plant juga memmerlukan pembukaan lahan yang akan mempengaruhi struktur vegetasi dan habitat satwa liar, serta morfologi permukaan.
Air limbah dari pembangkit panas bumi juga bersuhu lebih tinggi dari lingkungan. Organisme tumbuhan dan hewan yang paling sensitif terhadap variasi suhu secara bertahap bisa menghilang, yang dapat menyebabkan spesies ikan tanpa sumber makanan.

Berbagai daya rusak
Problem panas bumi terjadi terjadi di berbagai wilayah Indonesia, Pembangkit Panas Bumi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, dan PLTP Sorik Marapi di Mandailing Natal, Sumatera Utara.
Di lokasi-lokasi itu, pembangkit listrik panas bumi memiliki problem sama, mulai sisi ekonomi, sosial, hingga dampak kesehatan dan lingkungan sekitar.
Walhi dan Celios pada 2024 mencatat, mengubah panas bumi menjadi listrik harus melalui proses ekstraktif yang memerlukan sumber daya besar hingga dampak pun tak tanggung-tanggung.
“Cerita mengenai gempa bumi, pencemaran air tanah, gagal panen, hilangnya biodiversitas endemik, hingga kejadian tragis yang menewaskan warga yang disebabkan gas beracun dari ledakan pipa, menyingkap sisi gelap pembangkit listrik panas bumi,” tulis Walhi dan Celios dalam penelitiannya.

Dampak sosial ekonomi
Di banyak daerah termasuk di Gunung Salak, pembangkit listrik panas bumi tidak berdampak positif bagi ekonomi masyarakat, seperti klaim pemerintah selama ini.
Imam mengatakan, pembangkit listrik panas bumi tidak bermanfaat besar terhadap ekonomi masyarakat sekitar. Panas bumi, merupakan industri padat modal, bukan padat karya yang bisa membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya.
Dia bilang, semua operasional pembangkit listrik panas bumi menggunakan teknologi, hanya beberapa bidang perlu tenaga manusia. Dia mengkalkulasi, operasional pembangkit listrik panas bumi hanya butuh 10 tenaga manusia sebagai operator.
“Kalau sudah beroperasi praktis yang jalanin itu gak lebih dari 10 orang. Warga lokal itu paling jadi satpam: satu atau dua orang. Operator itu ahli semua, dan itu biasanya bukan warga lokal,” ujar Imam kepada Mongabay, Selasa (15/4/25).
Menurut riset Walhi dan Celios, pembangkit listrik panas bumi berdampak negatif terhadap ekonomi masyarakat. Penelitian itu mereka lakukan di tiga lokasi pembangkit listrik panas bumi, yakni, Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu di Nusa Tenggara Timur.
Temuannya, proyek pembangkit listrik panas bumi itu menimbulkan kehilangan pendapatan petani Rp470 miliar pada tahap pembangunan. Sementara kerugian output ekonomi Rp1,09 triliun pada tahun kedua proses ekstraksi geothermal.
Celios dan Walhi juga memperkirakan, tenaga kerja menurun 20.456 orang tahun pertama, dan 50.608 orang tahun kedua.
“Kehadiran PLTP tahun pertama akan menurunkan produktivitas pertanian, perikanan, dan perkebunan, yang selama ini menjadi denyut nadi bagi perekonomian masyarakat.”
Dampak negatif ekonomi itu sangat Odang rasakan. Warga Desa Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat ini, rumahnya hanya berjarak delapan kilometer dari pembangkit listrik panas bumi di Gunung Salak.
Odang dan warga lain dalam bayang-bayang kesulitan hidup. Dia berpenghasilan tak lebih Rp1 juta per bulan sebagai pekerja di penginapan.
Eko melihat, fenomena ini sebagai kutukan sumber daya alam. Ketika sumber daya alam melimpah di satu daerah, tetapi masyarakat hidup dalam kemiskinan.
“Ketika kekayaan sumber daya melimpah, tapi tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat. Nah, dalam perspektif ini, menurut saya geothermal itu patah janji-janjinya,” katanya kepada Mongabay, Rabu (16/4/25).
Kutukan sumber daya alam terjadi karena rencana pembangunan tersusun atas kemauan elite politik dan pengusaha semata, mengabaikan hak-hak masyarakat.
“Kena penyakit sociology of ignorance. Pembangunan disusun oleh nalar elit, menjauh dari nalar rakyat. Pembangunan mengabaikan keadilan sosial, memang sejak awal dia nggak mau tahu dengan situasi masyarakat.”
Pada aspek sosial, proyek pembangkit listrik panas bumi kerap mengabaikan hak rakyat hingga merampas ruang hidup. Menurut penelitian Celios dan Walhi, warga kerap tidak dilibatkan dalam pembangunan geothermal.
Kondisi ini, membuat warga protes dan keberatan. Penolakan warga Desa Karang Tengah, Banyumas atas PLTP Baturaden, misal. Warga protes karena proyek mengancam ruang hidup, berupa kerusakan lingkungan yang berdampak pada kebutuhan hidup dan usaha warga.
Imam mengatakan, warga kerap diadu domba antara pro dan kontra, yang menimbulkan konflik horizontal. “Di banyak tempat itu terjadi. (Hubungan) tetangga saling tidak baik, saling nggak sapa, saling nggak ngomong.”

Dampak kesehatan
Dalam ekstraksi panas bumi, sumber air panas dan uap mengeluarkan gas Hydrogen sulfide atau H2S, senyawa kimia gas yang tidak berwarna dan sangat berbahaya, beracun, dengan bau khas “telur busuk.”
H2S berdampak buruk bagi kesehatan. Dalam konsentrasi rendah, senyawa itu menyebabkan iritasi mata, hidung, tenggorokan, dan sistem pernapasan; dengan gejala penyakit: mata perih dan terbakar, batuk, serta sesak napas.
Terpapar secara berulang maupun jangka panjang dapat menimbulkan gejala: mata merah, sakit kepala, fatigue, mudah marah, susah tidur, gangguan pencernaan, dan penurunan berat badan.
Dalam konsentrasi sedang, H2S menyebabkan iritasi mata dan pernapasan berat—batuk, sesak napas, penumpukan cairan di paru—sakit kepala, pusing, mual, muntah, dan mudah marah.
Paparan dengan konsentrasi tinggi akan menyebabkan syok, kejang, tidak bisa bernapas, tidak sadar, koma, dan akhirnya kematian. Efek lethal tersebut bisa dalam beberapa hirupan ataupun hanya dalam satu hirupan.
“Di Mandailing Natal sampai puluhan orang keracunan dalam waktu yang sama. Itu biasanya situasi yang dihadapi warga,” ujar Imam.
Pencemaran senyawa H2S, katanya, juga berdampak stunting pada anak seperti terjadi di Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Warga menduga, anak-anak mereka tumbuh lebih kecil dari orang tuanya.
“Lebih kecil dari orang tuanya itu karena menghirup udara kotor. Jadi, mereka curiga itu juga dampak jangka panjang dari geothermal itu.”
Sri Palupi, peneliti The Institute for Ecosoc Right mengatakan, rentetan dampak buruk pembangkit listrik panas bumi ini harus jadi perhatian khusus. Negara, katanya, harus bertanggung jawab.
Negara, punya tanggung jawab menanggung biaya eksternal atas kerugian yang dialami masyarakat. “Negara (harus) pastikan tidak ada hak-hak masyarakat yang diambil begitu saja,” ujar Sri kepada Mongabay.
Dia mengatakan, pemerintah harus menjamin bahwa setiap proyek panas bumi tidak membuat kehidupan masyarakat merosot dan jauh lebih buruk. Setiap proses pembangunan pun, mesti memperhatikan hak asasi manusia dan melibatkan masyarakat.
“Supaya masyarakat terdampak itu tidak mengalami pelanggaran HAM dan kehidupannya tidak merosot.”

**********