Perda Tata Ruang Sumbar Minim Perspektif Lingkungan?

3 days ago 8
  • DPRD Sumatera Barat baru saja mengesahkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumbar periode 2025-2045. Organisasi masyarakat sipil pun berikan catatan dari proses pembahasan  relatif singkat ampai  minim perspektif perlindungan lingkungan
  • Tommy Adam, dari Walhi Sumbar katakan, pengesahan raperda itu cacat lantaran minim partisipasi publik yang bermakna. Masuknya Lembah Anai sebagai kawasan pariwisata juga riskan mengingat daerah tersebut berisiko bencana tinggi. Rencana pengembangan udang juga dinilai sebagai legalisasi tambak-tambak udang ilegal yang banyak bertebaran di sepanjang pesisir Sumbar. 
  • Rifai Lubis dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan, krisis iklim yang berdampak pada berbagai bidang seharusnya menjadi pemantik kesadaran Pemprov Sumbar dalam menyusun perda RTRW, sekaligus memandu mitigasi dan adaptasi. Tapi sayang, perda yang telah disahkan beberapa hari lalu itu tidak mencerminkan hal tersebut. 
  • Muhidi, Ketua DPRD Sumbar klaim pembahasan rapaerda RTRW cukup akumulatif karena melibatkan banyak tokoh masyarakat dan 13 instansi pemerintahan. Namun, ia mengakui bila proses pembahasan berlangsung maraton hingga larut malam.  

DPRD Sumatera Barat baru saja mengesahkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumbar periode 2025-2045. Organisasi masyarakat sipil pun berikan catatan dari proses pembahasan  relatif singkat ampai  minim perspektif perlindungan lingkungan

Tommy Adam, dari Walhi Sumbar mengatakan, secara prosedural, pengesahan raperda itu cacat lantaran minim partisipasi publik. “Secara substansial juga banyak persoalan,” katanya saat unjuk rasa bersama koalisi masyarakat sipil di Dinas Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang (BMCKTR) Sumbar, Senin (15/4/25).

Dia menyoroti, Lembah Anai dalam perda itu sebagai kawasan pariwisata. Padahal, kawasan di kaki Gunung Singgalang,  Tanah Datar itu termasuk daerah risiko  tinggi bencana. 

Juga,  wilayah pengembangan tambak udang di pesisir Sumbar juga menjadi catatan Tommy. Alih-alih menyelesaikan persoalan, keputusan itu sama saja dengan melegalisasi tambak-tambak udang ilegal yang banyak bertebaran di sepanjang pesisir. Padahal, selain menjadi biang pencemar, tambak-tambak udang ilegal itu menyebabkan dua anak tenggelam. 

“Artinya (RTRW) ini tidak menyelesaikan masalah-masalah yang sudah ada. Seperti pencemaran laut hingga menyebabkan tangkapan nelayan berkurang,” kata  Tommy. 

Indah Suryani Azmi dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Sumbar menyoroti lemahnya perlindungan masyarakat adat dalam perda  itu. Ruang hak tanah masyarakat adat hanya terakomodir pada Paragraf 7 Pasal 98 yang menyatakan, hutan adat hanya ada di Dharmasraya seluas 35 hektar.

“Mentawai tidak masuk. Padahal, Masyarakat Adat Mentawai memiliki sistem pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal yang telah terbukti menjaga keseimbangan ekologis,” katanya.

Pemprov Sumbar, seharusnya tidak memberi perlakuan berbeda antara masyarakat adat di pulau utama dengan masyarakat di Kepulauan Mentawai.

Malin, perwakilan warga menyampaikan aspirasinya jelang pengesahan raperda RTRW. Foto: Dokumen LBH Padang/Mongabay Indonesia.

Calvin, dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang sepakat,  perda itu minim partisipasi publik berarti. Dalam konteks rencana pemanfaatan energi panas bumi di Gunung Tandikek, Nagari Singgalang, misal, tak ada melibatkan masyarakat terdampak sama sekali. 

“Jadi, kami menilai ini cacat substansi. Kami sudah memverifikasi,  masyarakat tidak tahu menahu tentang rencana ini,” katanya, seraya meminta, tinjau ulang perda itu. 

Calvin juga mengkritik proses pembahasan raperda  hanya 19 hari. Waktu itu tidak cukup untuk menampung dan mendengar  aspirasi masyarakat.

Muhidi, Ketua DPRD Sumbar,  tak mempersoalkan berbagai kritik dari kalangan masyarakat sipil. Menurut dia, perda RTRW ini akan menjadi acuan pemerintah daerah dalam menyusun raperda serupa di masing-masing kabupaten dan kota.

“Kita menganut sistem demokrasi dan perbedaan pendapat itu biasa. Tapi kami berharap kawan-kawan yang menolak mempelajari dulu isi perdanya,” katanya.

Dia berdalih, saat pembahasan rapaerda telah melibatkan banyak tokoh masyarakat dan 13 instansi pemerintah. “Kami memang tidak bisa melibatkan semua, tapi proses ini sudah akumulatif,” klaimnya. Namun, dia mengakui bila proses pembahasan berlangsung maraton hingga larut malam.  

Material banjir bandang berupa kayu dan sampah yang ikut hanyut dalam banjir bandang di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar. Foto : Vinolia/ Mongabay Indonesia.

Harusnya jadi instrumen ekologi dan sosial

Rifai Lubis dari Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) mengatakan,  penyusunan RTRW Sumbar dalam situasi tidak baik-baik saja.

“Ada situasi sosial dan ekologi yang tidak baik-baik saja. Sehingga tidak bisa diposisikan sebatas business as usual. Hanya karena provinsi lain bikin kita juga bikin, harusnya nggak kayak gitu,” katanya.

 Perubahan iklim, katanya,  berdampak di berbagai sektor. Bencana meningkat, cuaca tak menentu, sistem pertanian terganggu, hingga memburuknya ekonomi di masyarakat karena para petani gagal panen. 

Situasi itu, kata Rifai, seharusnya menjadi pemantik kesadaran Pemerintah  Sumbar dalam menyusun perda RTRW, sekaligus memandu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sayangnya, perda  RTRW tidak mencerminkan hal itu. 

“RTRW seharusnya betul-betul bisa menjadi penyelamat warga dan ekologi. Seperti kemarin ada lahar dingin dari Marapi dan banyak yang terdampak. Seperti pemandian di Silaing atau di Anai. Seharusnya pemerintah sudah akrab dengan ancaman bencana ekologis. Maka jadikan itu sebagai parameter agar bisa merekomendasikan pola ruang. Jangan jadikan budidaya atau pariwisata, tetapi perlindungan,” katanya.

Dia berharap, DPRD dan gubernur betul-betul sadar tentang konteks ekologi dan sosial yang Sumbar hadapi.

“Kalau tidak berdasar konteks ekologi dan sosial, RTRW tidak kontekstual dan tidak akan bisa menjadi instrumen pengendalian lingkungan. Apakah membuat RTRW itu sebatas basa-basi saja ?”

Koalisi Masyarakat Sipil saat menolak pengesahan Raperda RTRW Sumatera Barat (Sumbar) 2025-2045. Foto: Dokumen LBH Padang/Mongabay Indonesia.

Berwatak ekstraktif

Koalisi masyarakat sipil  juga mengkritik sikap Pemprov Sumbar yang cenderung berwatak ekstraktif terbukti dari perda RTRW masih memberi ruang pertambangan, bahkan di hutan lindung. Sebagaimana Pasal 89A dengan dalih untuk tujuan strategis.

Walhi menyebut, keputusan itu  akan memperparah ancaman bencana di Sumbar. 

Catatan Walhi, bencana di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batahan dan Pasaman Barat tahun 2022 adalah konsekuensi dampak penambangan emas ilegal di hulu sungai. Dampaknya,  lahan pertanian terendam dan ekonomi warga menurun. Perkiraan total kerugian pun capai Rp3,1 miliar.

“Dalam konteks keadilan ekologis hal ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural di mana masyarakat harus menanggung dampak dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, sementara korporasi justru lepas tanggung jawab,” kata Wengky, Direktur Eksekutif Walhi Sumbar.

Alokasi ruang industri seluas 30.000 hektar di Nagari Air Bangis untuk mengejar pertumbuhan ekonomi juga mendapat sorotan. Menurut koalisi, kebijakan itu berisiko  merampas ruang hidup masyarakat, merusak ekosistem pesisir dan mengancam aktivitas para nelayan. “Alokasi ruang ini tidak mempertimbangkan mata pencaharian dan keberadaan masyarakat lokal.”

Parahnya lagi, saat industri mendapat alokasi ruang begitu besar, tidak ada alokasi ruang untuk pemukiman baru di Nagari Air Bangis. Dengan 72% lahan berupa HGU sawit dan kawasan hutan, praktis hanya 28% lahan di Sumbar yang bisa termanfaatkan. Padahal, penduduk terus bertambah. 

*****

Catatan Awal Tahun: Bencana Hantui Warga, Lingkungan Hidup Sumbar Makin Krisis

Read Entire Article
Apa Kabar Berita | Local|